33. Office-Sial (1)

18 6 0
                                    

Masa lalu...

Gosip selalu menjadi konsumsi yang menarik untuk setiap orang, seolah membicarakan orang lain merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan dan tidak bisa untuk dilewatkan. Kehidupan mereka yang memiliki kepopuleran selalu menjadi bahan yang paling sesuai untuk menjadi gunjingan orang, begitupun dengan Jenisa dan segala hal yang dilakukan gadis itu selalu menjadi sorotan. Hanya karena terlihat dekat dengan seorang pria sederhana, berbagai rumor miring yang tidak masuk akal mulai terdengar. Saat itu Tetto baru menyadari alasan mengenai gadis itu yang menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk melarikan diri, karena tidak selamanya menjadi pusat perhatian banyak orang membawa pengaruh yang positif bagi orang tersebut. Untuk sesaat Tetto bersyukur dia pernah memiliki kehidupan yang biasa saja seperti kebanyakan orang, namun di saat bersamaan dia merasa bersalah karena menjadi penyebab gadis itu banyak dibicarakan orang. Karena hal tersebut, sang pemuda berkacamata sadar bila kedekatan di antara mereka memang tidak seharusnya ada sedari awal.

Hari itu tidak ada yang spesial, jadwal kuliah yang semakin padat dengan banyaknya tugas yang harus ditanggung mahasiswa seperti dirinya. Namun yang membedakan dari hari-hari biasa yang dijalani, di tengah jadwal kuliah yang padat Tetto menyempatkan diri untuk mengikuti sebuah seminar entrepreneur yang diadakan secara umum. Sekalipun disiplin ilmu yang digeluti tidak berkaitan dengan menjadi seorang wirausahawan, pemuda berkacamata tersebut tetap pergi karena harus bertemu salah satu tamu yang diundang sebagai pembicara. Namun yang tidak Tetto sangka niat yang sederhana justru membawanya pada suatu takdir yang tidak pernah pemuda itu minta, takdir yang mengubah kehidupan perkuliahannya.

"Tetto?" panggil seseorang dari kejauhan.

Tanpa perlu mengkonfirmasi siapa yang memanggil namanya, pemuda berkacamata tersebut sudah hapal betul jenis suara milik siapa yang barus saja di dengar telinganya. Saat membalikkan badan, matanya langsung mendapati seorang pria dengan setelan kemeja rapi tengah tersenyum lebar.

"Bang Rian." Sapa Tetto balik.

Rian Ardiansyah, pria yang tak lain ialah kakak sepupunya tersebut berjalan mendekat dengan senyum lebar, lelaki yang selalu menjadi teman juga kakak baginya yang hidup sebagai anak tunggal. Bisa di bilang sebagian masa kecil Tetto dihabiskan dengan bermain bersama pria itu mengingat Tetto kecil yang kesulitan mempunyai teman, setiap akhir pekan Tetto akan selalu mengunjungi rumah dari anak pamannya tersebut hanya untuk sekedar bermain play station bersama. Terkadang umur Rian yang memiliki selisih sepuluh tahun di atasnya tersebut kerap kali membuat mereka kesulitan untuk bertemu walau itu diakhir pekan, agenda seorang anak SMP lalu menginjak ke tingkat SMA membuat pria yang saat ini sudah sukses menjadi pemimpin dari sebuah perusahan rintisan tersebut kerapkali disibukkan dengan agenda sekolah, entah itu kerja kelompok, kegiatan ekstrakulikuler, atau bahkan sibuk menambah jam pelajaran dengan mengikuti les di luar jam sekolah. Meski begitu, Rian tetap sosok yang sama, pemuda yang sudah bersusah payah memeras otak untuk bisa masuk ke universitas ternama tersebut selalu saja meluangkan waktu guna mengajak Tetto yang sudah menunggu lama untuk bermain walau hanya sekedar satu atau dua jam. Namun agaknya kehangatan seorang Rian yang selalu menganggapnya adik karena mereka sama-sama anak tunggal masih belum berubah, bahkan tak ragu sang pemimpin perusahaan memperlakukannya seperti anak kecil di antara banyak orang yang berlalu lalang.

Menyadari dirinya jadi pusat perhatian karena Rian yang mengacak rambutnya dengan akrab membuat Tetto merasa sedikit kurang nyaman. "Bang, stop! Banyak orang lihat." Ungkap Tetto memperingati dan menjauhkan tangan pria itu dari merusak tatanan rambutnya. "Lagi pula gue udah gede." Lanjut Tetto menggerutu.

Bukannya tersinggung, Rian justru tersenyum. "Wah, nggak ke rasa adik abang udah gede aja sekarang." Puji Rian dengan senyum lebar. "Tapi gak bisa, kamu tetep aja masih kecil di mata abang." Tak kurang Rian juga menyekap wajahnya di bawah ketiak.

Meski tidak berbau keringat karena untuk ukuran seorang pemimpin perusahaan bukan hal sulit bagi Rian untuk membeli deodoran, hanya saja aksi yang pria itu lakukan kian memancing banyak perhatian hingga mereka menjadi sorotan orang-orang. Namun beruntung suara salah satu panitia yang menginterupsi berhasil menghentikan aksi Rian yang terus membuat Tetto harus menanggung rasa malu, terlebih panitia tersebut datang untuk menyampaikan informasi bahwa seminar yang diselenggarakan akan segera berlangsung.

"Tetto, nanti kita ngobrol lagi, ya. Tunggu abang selesai seminar, oke?" bahkan sebelum pergi Rian masih sempat mengacak-acak rambutnya kembali.

Meski tujuan awalnya datang ke sana hanya untuk bertemu Rian, namun mengingat kembali bila mereka bahkan belum banyak berbincang, di tambah mandat yang di dapat untuk menunggu pria itu setelah selesai seminar, membuat Tetto mau tak mau harus mengambil satu kursi dan ikut menjadi peserta. Entah karena tema seminar yang mengangkat tajuk 'wirausahawan muda di era digital' yang jelas-jelas tidak menarik untuk di dengar anak hukum seperti dirinya, karena yang pasti baru berselang beberapa menit seminar dimulai dan moderator masih membacakan CV dari pemateri yang tak lain kakak sepupunya, Tetto sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa membuat matanya tetap terjaga.

"Yak, kenapa juga sih ajak gue ke seminar ini? Mana paham anak seni soal beginian. Mending pulang rebahan di kostan." Keluh salah seorang yang tepat duduk di samping.

Meski tidak berniat menguping, jarak mereka yang terpisah hanya beberapa senti juga suara dari orang tersebut yang tidak bisa dikatakan pelan, membuat Tetto mau tak mau bisa ikut mendengar apa yang tengah dua orang itu bicarakan.

"Shttt... udah diem aja. Gue denger peserta seminar dapet konsumsi." Balas pria satunya.

"Palingan snack doang."

"Konsumsinya makan siang, pakai lauk rendang. Jadi mending diem simak aja sekalipun gak paham, masih untung diajak makan enak."

Meski tak berniat mendengar, nyatanya obrolan dua orang tersebut cukup untuk membuat Tetto terhibur. Mendengar alasan peserta seminar yang hanya mendaftar untuk mendapatkan makan siang terdengar sangat menggelikan. Meski begitu sedikit banyak Tetto dapat memahami penderitaan dua orang tersebut sebagai mahasiswa yang hidup di perantauan, masih terhitung beruntung para anak kost bisa makan walau hanya dengan mie instan, karena kerap kali di akhir bulan mereka harus menahan lapar untuk menghemat uang sehingga makan siang gratis merupakan suatu kesempatan emas yang tidak bisa dilewatkan. Setidaknya mendengar obrolan dua orang tersebut memberikan pemuda berkacamata tersebut sedikit motivasi untuk tetap bertahan mendengarkan. Bagaimana pun Tetto jugalah mahasiswa, dan kata gratis merupakan kata yang haram untuk dilewatkan.

Mencapai di pengujung acara, sesuatu yang Tetto yakini ditunggu oleh hampir sebagian besar peserta seminar akhirnya datang. Panitia yang datang dari arah belakang membawa banyak plastik besar berisi kotak makanan sukses membuat semangat setiap orang langsung kembali berkobar, namun yang tidak pernah pemuda berkacamata itu sangka ialah satu dari sekian banyak orang yang memakai seragam dengan id card yang dipakai sebagai tanda pengenal panitia merupakan seseorang tidak pernah pemuda itu pikirkan akan ditemui di acara tersebut. Dari arah sudut ruangan, matanya dapat melihat dengan jelas melalui lensa kacamata bila di sana Jenisa tengah sibuk membagikan kotak makanan dengan senyum ramah yang bisa membuat orang lain salah paham mengartikan kebaikannya, karena Tetto sadar dia sendiri sudah menjadi salah satu korban.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang