"Tetto?" pemuda itu harus mengerjap sadar saat Jenisa memanggilnya. Melihat gadis itu tengah mengerutkan alis dengan sorot mata menuntut membuat Tetto bingung apa yang sudah dia lewatkan hingga membuat gadis itu tampak terlihat geram sementara justru di sini Tetto lah yang berhak bersikap demikian setelah Jenisa menerobos kediamannya sembarangan.
"Apa?"
"Kamu makan apa tadi siang kalau gak ada apa pun di sini?" tanya Jenisa lagi.
"Mie instant."
"Astaga, mie instan? Kamu tahu kan junkfood kayak gitu gak baik buat kesehatan. Terlebih buat pemulihan alergi kamu."
Sang pengacara tak lantas menimpali, matanya menatap lurus Jenisa yang tengah mengomel dengan tangan terlipat persisi sekali seperti nyonya Tegar yang selalu memarahi-nya saat berbuat ceroboh. Terkadang Tetto masih tidak mengerti mengapa gadis itu terlihat begitu khawatir padanya, namun di saat sesaat kemudian Jenisa juga bisa menganggapnya tak lebih seperti virus yang harus dibasmi dan dihindari. Kenapa gadis itu harus khawatir saat alerginya kambuh, atau harus peduli saat dirinya yang diguyur hujan karena mobilnya mogok di pinggir jalan. Lalu sekarang, kenapa dia lagi-lagi harus peduli pada apa yang dirinya makan.
"Mie bukan makanan yang perlu dipandang rendah, mungkin bisa dibilang nggak sehat, tapi bagi sebagian orang yang lebih mengutamakan rasa lapar dari pada kesehatan mie instan jadi makanan sejuta umat. Aku lebih baik makan mie dari pada kelaparan menunggu sesuatu yang enggak pasti."
Tanpa sadar pemuda itu mengatakannya, kalimat yang sama yang dikatakan seorang gadis saat dia merasa rendah diri dengan mengajak makan malam di sebuah warung pinggir jalan. Tetto masih setia mengawasi gadis di depannya yang tengah terdiam dengan raut yang sulit diartikan. Sedari dulu Jenisa terlalu sulit untuk ditebak jalan pikirannya, sekalipun yang membuat gadis itu melamun ialah karena kalimat yang dia ucapkan mungkin pernah diucapkan gadis itu, hanya saja kejadian tersebut sudah berlalu hampir lima tahun lamanya dan untuk seseorang bisa mengingat apa yang pernah diucapkan diantara banyak kata yang pernah keluar dari mulutnya sendiri.
"Kalau begitu ayo kita belanja." Putus Jenisa kemudian.
"Gimana?"
"Kita belanja."
Tetto tak tuli saat gadis itu mengatakan hendak berbelanja, hanya saja dia tak habis pikir karena sikap keras kepala yang Jenisa tunjukkan dengan bersikeras pada pendiriannya bahkan setelah melihat kondisi dapurnya yang kosong tanpa ada bahan makanan yang bisa diolah, membuat Tetto harus menyiapkan persediaan cadangan kesabaran dengan hanya bisa menyugar rambut dan helaan napas yang terdengar sangat berat karena sadar dia harus ikut dilibatkan pada hal yang merepotkan.
"Sudahlah Jenisa, kamu nggak perlu sampai seperti itu. Kamu bisa pergi saja."
Memang kalimatnya terdengar mengusir tapi Tetto tak peduli, terlebih bila mengingat kembali jika sebuah isyarat, 'ia tak ingin di ganggu' yang sebelumnya dikatakan jelas-jelas diabaikan oleh gadis itu. Sadar bila pengusiran secara halus tidak pernah mempan untuk seorang Jenisa, maka pengusiran terang-terangan patut untuk dicoba.
"Nggak bisa. Pokoknya aku akan masak sesuai perjanjian kita di awal. Kalau kamu gak mau ikut, biar aku yang belanja sendiri."
Gadis itu pergi mengacuhkan pengusirannya. Caranya menghadapi orang lain dengan tetap bersikap abai selalu membuat Tetto speechless namun di saat bersamaan juga kagum. Ia tak tahu jika sikap acuh Jenisa itu tak hanya digunakan gadis itu untuk menghadapi banyak perhatian orang, karena pada kenyatanya sikap itu mungkin sifat permanen dari seorang Jenisa itu sendiri, Jenisa yang abai dan tak mengindahkan penolakan dan pengusiran yang Tetto tunjukkan. Suara pintu yang tertutup menyadarkan sang pemilik apartemen jika gadis itu memang bersungguh-sungguh dengan kalimatnya barusan.

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...