40. The Night (1)

19 7 0
                                    

Malam adalah saat yang menenangkan. Saat malam tiba, seseorang akan merenung tanpa sadar tentang apa yang dilaluinya seharian. Ada yang bilang malam itu seperti keheningan, atau mungkin lebih tepatnya keheningan hanya bisa didapat saat malam. Karena itu waktu malam ialah waktu yang istimewa, namun justru kebanyakan orang tak menyadari hal tersebut dengan terlelap dalam buaian bunga tidur karena kelelahan.

Tetto menjadi salah satu orang yang menikmati malam, lebih tepatnya terpaksa menikmati dengan hanya meratapi langit kelam. Pemuda itu tak punya banyak kenangan indah untuk dikenang saat malam namun juga tak punya banyak kesalahan untuk direnungkan, hidupnya datar tanpa banyak keistimewaan. Ia terpaksa menghadapi kenyataan jika dirinya memang kesepian, dan malam membuatnya terlihat begitu jelas seolah menamparnya dengan sangat telak jika ia memang seorang pria malang. Insomnia yang diderita menjadi penyebab kenapa terkadang Tetto harus berurusan dengan sang malam, terlebih beberapa hari ini sang pengacara memang sengaja mengambil cuti dari pekerjaan karena kondisi kesehatan. Siang juga malam tak ada bedanya, ia bahkan tak bisa sekedar menyibukkan diri dengan setumpuk berkas dan agenda persidangan.

Salah satu cara menikmati malam yang dilakukan Tetto ialah duduk di sofa balkon dengan menghadap langsung pada pemandangan gemerlap cahaya dari banyak bangunan juga ditemani secangkir the hangat yang bisa menenangkan pikiran. Kadang Tetto akan bersenandung, terkadang di saat menikmati malam dia juga hanya akan melamun. Di malam yang lain, sang pengacara juga bisa menangis seperti pria lemah dalam diam, atau di malam berbeda Tetto bisa berteriak seperti orang gila hanya untuk membuat orang lain kembali terjaga dan memarahi-nya guna menemani melewati malam dengan mendengar gerutuan. Setidaknya dengan begitu ia tidak benar-benar merasa sendirian.

Tetto yang tengah menyesap tehnya harus berhenti saat telinganya mendengar suara bel yang ditekan. Hanya tiga kemungkinan sebagai pelaku dari orang yang mengunjungi kediamannya di malam hari. Pertama, itu Dendi, yang kedua Tuan Tegar, dan yang ketiga ialah Nyonya Tegar. Memilih beranjak dari balkon dengan langkah gontai, Tetto membuka pintu unitnya tanpa minat untuk memastikan siapa sosok si tamu tak diundang. Namun tak berselang lama ekspresi gundah-nya langsung berubah dengan rasa terkejut saat pria melihat sang tamu tak diundang yang kini berdiri tidak lebih dari lima langkah di depannya. Pemikiran Tetto salah jika yang bertamu tidak lain dari tiga orang yang sebelumnya sempat dia pikirkan, ia tak tahu bila ada kemungkinan ke empat yaitu seorang gadis yang membuatnya muak pada diri sendiri karena terus dibuat berharap seperti orang bodoh tanpa ada kepastian namun di saat bersamaan gadis itu juga menjadi sumber keresahan-nya karena tidak bisa berhenti untuk memikirkan.

Sejujurnya Tetto cukup terkejut tapi tidak sampai membuat pria itu terkesiap, sang pengacara hanya mengangkat satu alisnya karena merasa heran. Sang pemilik rumah bahkan tidak memiliki niat untuk berbincang sekedar berbasa-basi, karena itu tanpa mengatakan sepatah kata pemuda tersebut lebih memilih untuk menutup kembali pintunya karena merasa tak memiliki urusan. Namun belum sempurna pintu kembali tertutup, gadis yang masih berada di luar tersebut justru balik mendorong, memberikan perlawanan hingga membuat Tetto menghentikan aksinya.

"Apa?" tanya pemuda itu sewot.

"Kamu enggak sopan main tutup pintu di saat ada tamu." Balas Jenisa dengan nada tak kalah garang.

"Aku gak punya banyak waktu Jenisa, dan ini bukan waktu yang tepat untuk bertamu. Jadi cepat bilang, ada urusan apa?" tanya Tetto kembali dengan mata menatap bosan.

Tidak langsung mengatakan niatnya, gadis itu tampak sedikit ragu terlihat dari gelagatnya yang terlihat sedikit gugup. Tetto tahu itu, tangan yang saling meremas, bibir bawah yang sengaja sedikit ditarik ke dalam. Itu semua kebiasaan Jenisa saat tengah gelisah, dan sayangnya Tetto mengetahui itu semua.

"Soal perjanjian kita, aku minta maaf karena hari ini nggak bisa menepatinya." Melihat Tetto yang masih diam di tempat menatap datar dengan tak segera memberi tanggapan, membuat Jenisa semakin menunduk menyesali kesalahannya.

"Gak masalah. Berhubung kamu sedang membahas hal ini, aku mau bilang kalau kamu gak perlu datang buat masak lagi ke depannya. Perjanjian ini kita akhiri saja sampai di sini. Kamu nggak perlu khawatir karena aku enggak bakal tuntut apa pun." Balas pria itu berbicara dengan nada santai tanpa emosi, seolah kalimat yang diucapkan bukan hal yang terlalu penting.

Namun bagi Jenisa sendiri yang hal tersebut secara langsung merasa sedikit terganggu dengan mengangkat wajahnya yang semula tertunduk secara spontan. Sorot matanya berusaha memindai, membaca isi pikiran dari sang lawan bicara terlebih bila mengingat kejadian terakhir kali dengan Tetto yang berhasil menjebaknyadengan permainan kata-kata, bagaimanapun pikiran pria itu terlalu rumit untuk sekedar ditebak dan itu yang membuat Jenisa harus selalu ekstra siaga.

"Kalau enggak ada lagi yang mau dikatakan, aku tutup pintunya." lagi sang pemilik apartemen yang hendak kembali menutup pintu unitnya harus kembali mengurungkan niat saat hal yang sama terulang kembali di mana Jenisa menahannya dari luar sebelum tertutup rapat.

"Aku belum selesai." Tolak gadis itu tegas.

Menarik napas pelan coba Tetto lakukan sekedar untuk meredam amarah dan tidak terpancing emosi dengan meluapkan rasa kekesalan yang menumpuk dalam hati.

"Ya gak bisa begini." balas Jenisa dengan nada yang sudah tak lagi santai.

"Kenapa enggak bisa. Bukan harusnya kamu senang lepas dari tanggung jawab tanpa ada tuntutan?"

"Itu, aku... Iya aku senang, tapi maaf aku bukan orang yang bisa dengan mudah tenang setelah merasa berhutang. Setidaknya biarkan aku membayar semua sampai selesai."

"Kamu bisa membayar ganti rugi seperti yang kamu bilang dulu sebagai bentuk kompensasi jalan kekeluargaan."

"NGGAK BISA!." Jenisa tidak tahu kenapa dia menjadi sedikit kehilangan kendali. Bahkan gadis itu tanpa sadar menolak tegas pernyataan pria di depannya dengan nada membentak. Mulutnya yang masih terbuka bahkan sedikit meringis menyadari suaranya yang terlampau di luar batas.

"Terserah kalau begitu." balas Tetto yang memilih mengalah.

Entah mengapa di sini Jenisa menjadi orang yang terkesan tidak ingin berpisah dengan Tetto melalui penolakan memutuskan kontrak perjanjian di antara mereka. Seperti apa yang dikatakan pria itu, akan lebih masuk akal bila Jenisa merasa senang karena terlepas dari jerat yang dibuat Tetto dengan pria itu sendiri yang membiarkannya pergi. Tapi sebaliknya, sang pemilik restoran Italia seolah memilih bodoh dengan menempuh jalan berputar dalam menyelesaikan suatu urusan dari pada memakai jalan pintas.

"Kalau begitu minggir."

"Mau apa?" tanya Tetto kebingungan akan maksud Jenisa yang memintanya menyingkir. Namun tak perlu sebuah jawaban untuk pertanyaannya saat gadis itu sendiri sudah memilih pergi dengan cara menerobos masuk seolah berniat menunjukkan maksud dari kalimat tersebut.

"Kamu mau apa?" pria itu membuntuti si gadis yang berjalan mendahului.

"Aku mau masak makan malam, kalau kamu membatalkan kesepakatan. Setidaknya biarkan aku masak untuk yang terakhir." Tegas Jenisa dengan kaki yang terus berjalan seolah itu adalah rumahnya sendiri. Hingga gadis itu kini sudah berada di dapur, sibuk memeriksa setiap sisi mencari bahan makanan yang bisa di olah.

"Kamu enggak ada stok bahan makanan?"

"Kenapa.....?"

"Ya buat masak lah, emang kenapa lagi?"

'Kenapa kamu terus-terusan mempermainkan aku? Kenapa kamu bisa semudah itu datang dan pergi seenaknya?'

Ingin rasanya Tetto meneriakkan kalimat tersebut kuat-kuat pada gadis di depannya. Hanya saja itu hanya bisa sebatas dalam angan, karena Tetto tidak benar-benar bisa mengatakan semua itu dan siap menerima kenyataan pahit yang tidak siap dia dengan untuk kedua kali, terlebih Tetto sadar posisinya saat ini tidak sedang berada dalam situasi untuk bisa saling berkonfrontasi.

DANGEROUS WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang