"Apa anda butuh bantuan?" tanya sosok yang sama.
Di sana seorang gadis cantik di bawah payung hitam yang melindungi dari guyuran hujan tengah tersenyum dengan manis menawarkan bantuan. Meski dia ragu gadis itu bisa memperbaiki mobilnya.
"Permisi." Sekali lagi sang gadis menyapa namun si pria masih merasa ini hanyalah sebuah khayalan. Sampai di mana si gadis melambaikan tangan dan menarik kembali kesadarannya, barulah dia mengerjap tersadar.
"Ya?" sadar sudah bertingkah memalukan, buru-buru pemuda itu menormalkan ekspresinya senatural mungkin.
"Anda butuh bantuan?" ulang gadis tersebut menanyakan hal yang sama.
"Ah, itu___ I-iya mobil saya mogok"
Gadis itu sejenak menoleh ke sekitar. "Saya enggak bisa bantu memperbaiki mobilnya. Tapi dari pada hujan-hujanan, kalau kamu mau, kamu bisa menunggu di tempat saya."
"Maksudnya?"
"Anda bisa berteduh di restoran saya."
"Memang.... boleh?" tanya lelaki itu ragu.
Si gadis hanya mengangguk yakin sebagai jawaban, seolah mengundang orang asing ialah hal sederhana yang biasa dilakukan siapa saja. Tentu saja pemuda itu tahu memberi bantuan memang hal wajar bagi sesama manusia, tapi perlu digaris bawahi jika yang diberi bantuan atau membantu memiliki sejarah yang kurang menyenangkan di masa lalu. Belum selesai pemuda itu dengan pemikirannya, sang gadis sudah membagi payung yang digenggam dan menunjukkan jalan di seberang trotoar di mana sebuah restoran bergaya Italia berdiri. Pria itu tidak tahu apa yang terjadi karena mulutnya seolah terkunci dan jarak yang terkikis seolah menghipnotis. Berjalan di bawah satu payung menuju sebuah restoran pasta di pinggir trotoar membuat sang pengacara dibuat canggung karena jarak mereka yang berdekatan. Sebuah tempat usaha yang tidak terlalu besar tapi melihat tempatnya yang strategis membuktikan jika sang pemilik mempertimbangkan dengan matang strategi pemasaran tempat usahanya akan berjalan. Restoran dengan tanda closed di pintu dan lampu yang sudah mati, menandakan jika sesungguhnya tempat itu baru saja ditutup dan tidak menerima pelanggan lagi. Suara lonceng terdengar sesaat pintu dibuka, mengisi seluruh ruangan yang memang sudah kosong sejak awal.
"Silakan." setelahnya gadis itu pergi begitu saja entah ke mana. Namun sesaat kemudian setelah kepergiannya, lampu ruangan menyala dan dia kembali lagi dengan sebuah handuk kecil di tangan.
"Yang ada cuma handuk kecil ini, tapi ini bersih, tenang saja."
"Terima kasih." balasnya pelan.
Lagi gadis itu hendak pergi membuat si pria yang berprofesi sebagai pengacara tersebut kembali dilanda kebingungan. Pasalnya gadis bersurai hitam itu mengizinkannya masuk dengan mudah dan membiarkan orang asing sepertinya duduk di sebuah ruangan tanpa pengawasan, sementara si gadis datang dan pergi dengan santai tanpa rasa curiga.
"J-Jenisa?" panggilnya ragu sesaat sebelum sosok itu hilang.
"Ya?"
Sosok cantik itu menoleh saat namanya disebut. Hal itu menguatkan dugaan jika gadis itu memang sosok pemilik nama yang sama di masa lalunya. Alasan dari sikap santai itu, dia masih bingung memikirkannya. Kemungkinan dirinya salah mengenali orang bisa dihapus karena sebelumnya sosok itu menyahuti panggilannya.
"Ah, maaf." Gumam pemuda itu tanpa sadar.
Sebelum pergi si gadis yang diketahui bernama Jenisa menautkan alis bingung, namun setelahnya dia kembali pergi. Sekitar sepuluh menit pemuda itu duduk berdiam diri dengan segala bentuk pemikiran dan perasaan yang berkecamuk, memikirkan alasan dari sikap si gadis yang ramah dan masih saja membuatnya kebingungan. Bukan ingin berpikiran buruk, bukan tanpa alasan juga ia mencurigai sikap ramah seseorang. Itu karena yang memberinya bantuan tak lain ialah -Jenisa- sosok yang sama dari masa lalu dan kini muncul kembali. Gadis itu datang, dalam artian secara harfiah. Dia benar-benar datang dan kini berada tepat di depan matanya dengan membawa nampan yang setelah diketahui membawa sepiring pasta dan segelas teh hangat yang masih terlihat mengepul.
"Silakan."
Sejenak pria itu melirik si gadis dan beralih pada piring pasta yang tersaji di atas meja. Satu bagian di dalam dirinya ingin menolak namun rasa lapar yang ada ditambah dinginnya guyuran hujan sukses membasahi baju membuat ia tak punya pilihan.
"Kamu kenal saya? Atau kita kenalan lama?" gadis itu bertanya dengan mencondongkan badan. Terlihat rasa penasaran yang terpancar melalui netra coklat tersebut.
Mendengar pertanyaan tersebut membuat dia yang hendak menikmati pasta di depannya lebih memilih mengurungkan niat. Senyum miring mencemooh terukir mengiringi, senyum yang sejujurnya ditunjukkan untuk dirinya sendiri. Bodohnya dia tak menyadari itu, menyadari alasan sikap santai yang dilakukan si gadis tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Tentu saja, tentu saja itu karena gadis di depannya sudah melupakan kisah mereka. Seorang gadis kejam seperti dia pasti sudah sering bertemu banyak pria dan selalu berganti pasangan kapan saja jika menginginkannya, untuk apa masih mengingat pria yang pernah dicampakkan. Tanpa sadar kedua tangan yang sebelumnya terkepal kuat memegang garpu dan sendok memilih melepaskan kedua benda logam tersebut hingga terdengar bunyi denting saat berbenturan dengan piring pasta. Pria itu mengangkat kembali wajah dengan ekspresi datar tak menunjukkan emosi, atau sebenarnya sengaja tak ingin menunjukkan segala bentuk emosi yang bergejolak dalam diri.
"Apa kamu sedang bermain drama?" tanya si pria tajam.
"Gimana?" tanya si gadis kembali dengan kebingungan yang terlihat jelas.
"Cukup berpura-puranya." kalimat yang terdengar menohok karena merupakan tuduhan itu terlontar dengan dingin. Tapi si pria tak peduli, bahkan jika disebut tak tahu diri, dia tetap tak peduli. Pria itu merogoh saku celananya, mengambil dompet yang di dalamnya terdapat sebuah kartu nama dan mendorong pada sisi meja yang lain. Gadis di depannya membaca apa yang tertulis di sana, kepalanya menunduk khidmat seolah meresapi setiap huruf yang tertera.
"Apa kamu sekarang ingat, kak Jenisa?" sosoknya masih tak menanggapi. "Atau aku harus panggil kamu, kak Jenisa sayang?" tak lupa senyum miring terukir disudut bibirnya.
Dan kini wajah cantik itu menaikkan kepala dengan ekspresi kaget. Terlihat jelas keterkejutan dari mata indah yang membulat juga mulut yang tak terkatup rapat tersebut. Gadis itu tak menyangka jika pria yang dibantunya tak lain ialah pria malang yang dulu pernah dicampakkan dengan sangat kejam di bawah guyuran hujan.
"Tetto Tegar Sebastian?"
"Hmm... lama nggak ketemu ya, mantan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomansaBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...