"Tetto, anggap saja ini sebagai ganti siomay yang kamu kasih." Ungkap Jenisa lelah. Bersyukur kata itu juga berhasil membungkam si pria yang semula masih terlihat tidak terima. Namun hanya untuk beberapa saat keterdiaman berlangsung, karena setelahnya pemuda itu kembali buka suara.
"Kenapa begitu, bahkan harga siomay waktu itu gak akan sepadan?"
"Karena aku enggak mau merasa berhutang apa pun lagi sama kamu."
Untuk sesaat Tetto versi baru yang selalu banyak bicara kembali terdiam, mulutnya seolah terkunci rapat untuk kembali menyanggah. Tidak bisa dipungkiri pernyataan Jenisa tentang ganti-mengganti uang untuk seporsi siomay yang tidak seberapa di masa lalu mereka sedikit mempengaruhi hati dan pikirannya, Tetto merasa tidak percaya jika gadis itu masih mengingat pertemuan pertama mereka.
"Kalau begitu aku akan tetap bayar." pria yang berprofesi sebagai pengacara itu mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dari dompet ke atas meja lalu mendorongnya ke sisi lain.
"Kenapa?" Kali ini situasi berganti dengan Jenisa yang tak kuasa untuk tidak bertanya.
Bukan Jenisa munafik tak ingin menerima uang bayaran atas jasa pelayanan makan di restorannya. Semua orang tahu seorang pebisnis menyediakan jasa untuk mendapat keuntungan dan bayaran. Jadi alasan Jenisa yang masih mempertanyakan 'kenapa' bukan karena dia munafik, melainkan karena rasa penasaran dan heran saat melihat nominal yang dikeluarkan pria itu terbilang cukup banyak untuk sepiring pasta.
"Supaya kamu tetap merasa berhutang." Setelahnya Tetto berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Jenisa yang hanya terdiam mengikuti kepergian pria itu dengan matanya, juga bertanya-tanya tentang maksud dari kalimat yang di ucapkan.
Sementara itu, di luar restoran tepat di pinggir trotoar jalan, Tetto tersenyum tipis di antara rintik hujan yang mulai mereda. Entah ini merupakan sesuatu yang baik atau tidak, yang pasti bertemu kembali dengan Jenisa merupakan sesuatu yang tidak pernah dia rencanakan dalam hidupnya, karena itu pertemuan mereka yang tidak disengaja Tetto akan menganggap bila Tuhan memang tengah memberikannya restu untuk menuntaskan dendam masa lalu agar hatinya damai. Melihat taksi dari arah berlawanan, Tetto melambaikan tangan meminta jemputannya itu menepi. Sesaat setelah menaiki mobil, pemuda itu menolehkan kepala ke samping tepat saat seorang gadis keluar dari restoran yang sama yang sesaat lalu ia kunjungi. Gadis itu terlihat tengah mengunci pintu dengan terburu-buru. Sampai dia sudah tak bisa melihatnya lagi karena mobil yang ditumpangi sudah melaju pergi.
*****
Rumah, tidak ada tempat lain yang lebih aman dan nyaman dari rumah. Rumah akan selalu menjadi tempat ternyaman sekalipun seseorang berada di tempat terindah dan mewah, hal yang sama berlaku juga bagi Jenisa. Seperti saat ini, yang dibutuhkan gadis itu hanyalah rumah. Tak pernah sekalipun Jenisa merasa selelah ini setelah bekerja, terlebih dengan posisinya sebagai seorang owner. Meski begitu sang gadis berjulukan Dangerous Woman tersebut tetap melanjutkan langkahnya menuju sebuah rumah di salah satu kompleks perumahan. Sebuah rumah minimalis dengan pekarangan yang asri menjadi tujuan, sampai di sana Jenisa langsung mendudukkan diri di kursi kayu yang tersedia di teras dengan tangan sibuk melepaskan sepatu juga tas.
"Kok pulangnya malem banget?" tanya sebuah suara dari arah belakang. Menolehkan kepala, Jenisa mendapati satu sosok wanita lanjut usia tengah tersenyum padanya. Segera saja gadis itu beranjak dari kursinya untuk menyalami sosok yang tak lain ialah sang nenek.
"Oma, dari kapan berdiri di situ?"
"Kamu gak sadar Oma dari tadi di sini bahkan sebelum kamu datang. Kamu kelihatan capek banget sampai gak fokus gitu."
"Enggak, tadi aku ambil gaji karyawan yang ketinggalan di resto dulu. Terus pas mau pulang lagi ada pelanggan yang numpang berteduh sebentar, jadi Jenisa stay dulu di sana."
Nenek dengan rambutnya yang sudah banyak beruban menarik napas pelan mendengar penuturan sang cucu. "Kamu tuh, ya. Jangan diporsir juga kerjanya. Kapan cucu Oma yang satu ini dapet jodoh." katanya lalu memilih duduk di satu kursi yang kosong.
"Oma tahu sendiri, aku tinggal di sini buat menghindari mama sama papa dari teror kapan nikah. Lagi pula aku masih muda." jawab Jenisa.
"Sejak kapan orang tua kamu tuntut macam-macam soal kamu buat cepet nikah. Kamu tuh, ya!" gerutu sang nenek.
Mendengar itu Jenisa hanya bisa tersenyum malu. Dirinya memang memutuskan tinggal dengan sang nenek dengan tujuan menghindari sikap protektif kedua orang tuanya, terlebih sang ayah yang membatasi pergaulannya. Hal itu kian membuat Jenisa pusing, terlebih sang ayah dengan pekerjaannya sebagai seorang polisi bisa dengan mudah menakuti semua teman yang ada di sekitarnya bila lelaki paruh baya itu tidak menyukai orang tersebut. Hingga pada akhirnya Jenisa dan kedua orang tuanya setuju untuk membuat kesepakatan di mana Jenisa yang ingin hidup mandiri diperbolehkan tinggal berpisah dengan kedua orang tuanya dengan syarat harus tinggal bersama sang nenek dari pihak ayah. Awalnya tentu saja Jenisa ingin menolak, bahkan dilihat dari sisi mana pun tidak ada kata mandiri jika hidup dengan keluarga. Tapi jika mengingat sang ayah yang keras kepala dan tak akan mengubah pendirian, membuat Jenisa sadar hanya itu hal terbaik yang dapat ia upayakan dan berpasrah meski tahu betul sang nenek menjadi mata-mata ayahnya, tapi setidaknya itu masih lebih baik.
"Iya deh, mama sama papa emang gak pernah minta."
"Ya udah, masuk yuk. Kamu sudah makan?"
Jenisa tersenyum. Untuk inilah dia di sini. Neneknya tak pernah menuntutnya berlebih dan terlalu mengatur banyak hal. Jikalau perbincangan mengenai jodoh yang tengah dibahas, nenek selalu mengalah dan mengalihkan pembicaraan.
"Udah. Oma sendiri?"
Sang nenek tersenyum memperlihatkan garis keriputnya yang semakin kentara terlihat. Hal itu menunjukkan wanita di depannya sudah tak lagi muda. "Baguslah kalau kamu sudah makan, jangan sampai telat makan. Oma sendiri juga sudah tadi."
Jenisa tersenyum lalu memeluk sang nenek erat mencoba melepaskan segala beban pikiran. Perhatian kecil tersebut cukup menggantikan rasa rindu pada kedua orang tuanya. Mama dan papanya dua orang yang baik, jadi Jenisa cukup merindukan mereka. Sudah dikatakan sebelumnya jika dirinya hanya menghindar dan tidak kabur. Terkadang dia merindukan mereka dan segala perhatiannya. Tapi dengan adanya Oma, itu sudah lebih dari cukup sebagai pengganti rasa rindunya. Lagi pula orang tuanya masih sering berkomunikasi entah itu via telepon ataupun sesekali kunjungan rutin tanpa jadwal yang lebih suka Jenisa sebut inspeksi dadakan.
Menuruti kata sang nenek, Jenisa memilih pergi ke kamarnya untuk mengistirahatkan tubuh. Namun saat merebahkan diri di atas kasur, pikirannya tak bisa untuk ikut beristirahat. Gadis itu sadar sepenuhnya jika hal yang membuat pikirannya tak berhenti bekerja dan menjadi sumber dari kelelahannya ialah karena satu orang. Bagaimana pun dirinya menyangkal, bayangan orang itu kembali muncul dengan senyum miringnya selalu menghantui. Apa yang akan terjadi dengan hari esok-esok dan esoknya lagi. Jenisa yakin pria itu tak akan tinggal diam. Melihat bagaimana senyum miringnya seolah Jenisa melihat iblis yang menaruh dendam. Dan dia tak bodoh untuk tahu betul dendam jenis apa yang di pendam, dia tak bisa berpura-pura tak tahu. Kini yang bisa dia lakukan hanya berharap, berharap semoga harinya bisa berjalan lancar, dan semoga apa yang dipikirkannya tidak terjadi. Bagaimanapun Tetto di masa lalu ialah orang yang baik. Bahkan Jenisa sangsi jika pria itu bisa bermusuhan dengan seseorang lebih dari tiga hari, melihat dari bagaimana karakternya, lalu apa kabar dengan konflik mereka yang sudah berlalu sekian tahun. Tapi jika mempertimbangkan perubahan yang terjadi pada pria itu saat ini, Jenisa jadi sedikit ragu.

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
RomanceBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...