Jenisa tahu Tetto banyak berubah, dari sikap dinginnya, raut kaku tanpa ekspresi, dan tentu saja wajahnya berubah menjadi rupawan. Jenisa juga tahu dirinya bersalah atas apa yang menimpa pria di depannya sekarang, tapi tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya bila mendengar langsung Tetto yang memperjelas kesalahan yang dibuat secara gamblang sukses membuat nyali Jenisa menciut seperti semut yang nasibnya siap kapan saja terinjak di tempatnya duduk. Lalu, kini ada satu hal lagi yang baru diketahui Jenisa tentang pemuda itu. Meski tahu bila Tetto berprofesi sebagai pengacara yang lebih sering menyudutkan lawan di persidangan dengan kata-kata, namun tetap saja ia tak menyangka pria itu akan tetap memiliki mulut setajam pisau sekalipun sedang dalam kondisi terbaring di ranjang rumah sakit dan bukannya di pengadilan.
"Aku mau minta maaf" sesal Jenisa.
"Hanya itu?"
"Ya? Oh...Tenang saja, aku akan tanggung jawab. Aku akan bayar biaya kerugian." Ungkap Jenisa yakin dengan dua jari membentuk 'V' berharap kalimatnya terdengar meyakinkan.
"Maaf, tapi sayangnya aku nggak butuh itu semua. Akan lebih menarik kalau masalah ini diselesaikan melalui jalur hukum, kan?"
Seseorang cenderung akan membalas dendam setelah dicelakakan, hanya saja versi balas dendam yang Tetto katakan jelas sudah di luar nalar. Bagaimanapun bila sampai masalah ini dibawa ke meja hijau, restoran-nya bisa terancam dan para pegawai yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan di restoran sebagai mata pencaharian juga akan terancam kehilangan pekerjaan. Ia benar-benar tidak percaya jika Tetto akan mengatakan hal tersebut sebagai ancaman, dan betapa bodoh dirinya hingga bisa-bisanya ia lupa pria yang tengah terbaring di ranjang pesakitan itu seorang pengacara yang mana pekerjaannya tak jauh dari berkecimpung dibidang hukum. Apa yang akan terjadi pada nasibnya jika ancaman pria itu benar-benar terealisasi. Seketika penyesalan itu tiba-tiba datang, sekelebat pemikiran terlintas bila mana seharusnya Jenisa membiarkan saja pria itu meregang nyawa di tempat tanpa memberinya pertolongan.
"Tetto, kamu tahu kan, aku nggak sengaja. Bahkan aku nggak tahu, koki di kit..."
"Koki?" potong sang pengacara dengan mata menyipit tajam. "Seingatku kamu bilang kalau kamu sendiri yang akan menyiapkan makananku, lalu kamu menyerahkannya kepada sembarang orang dan membiarkan seafood sebagai isian. Kenapa? Cuma karena terganggu sama kehadiranku dan berniat menghindar, iya?"
Untuk kedua kalinya Jenisa merasa dirinya hanya butiran kerikil menghadapi Tetto yang tengah mengamuk seperti orang kerasukan. Jenisa sadar, dirinya tidak mempunyai pembelaan atas apa yang terjadi karena semua yang pria itu katakan memang kebenaran, karena itu Jenisa hanya diam menerima kemurkaan pria di depannya dengan kepala tertunduk dalam.
"Kenapa kamu menghindar?" kembali Tetto buka suara dengan bertanya membuat Jenisa mau tak mau menengadahkan kepala untuk melihat mata lawan bicaranya. "Aku yakin kamu enggak melakukannya karena merasa nggak nyaman sama kehadiranku sebagai salah seorang masa lalu kamu, dan aku harap asumsiku itu benar." lanjutnya.
Berat untuk diakui tapi itu memang kenyataannya, Jenisa memang sengaja menghindari Tetto karena merasa tidak nyaman terlebih dengan masa lalu mereka yang pernah menjalin hubungan. Namun meski begitu, point utama sebagai alasan kenapa Jenisa menghindari Tetto Tegar Sebastian bukanlah hal tersebut, melainkan tingkah laku pemuda itu sendiri yang kerap kali membuat dirinya naik pitam.
"Tetto." Panggil Jenisa pelan. Merasa telah mendapat atensi dari lawan bicaranya yang kini sudah menolehkan kepala ke samping dengan sorot datar membuat Jenisa berniat kembali melanjutkan kalimatnya. "Kamu gak akan membawa masalah ini ke ranah hukum, kan?" lanjut gadis itu dengan suara diakhir kalimat yang terdengar sangat pelan.
"Oh, kamu takut?"
"Enggak, bukan begitu. Hanya saja kenapa harus melalui jalur hukum kalau kita bisa menyelesaikan secara kekeluargaan."
"Dan apa definisi yang kamu sebut kekeluargaan sebagai solusi di sini? Nggak mungkinkan kita membuat keluarga kecil dan hidup bahagia dengan status kita sebagai mantan, setelah dulu kamu memutuskan hubungan kita secara sepihak hanya karena kamu merasa terancam dan takut masalah ini dibawa ke persidangan." Sindir Tetto.
Untuk sesaat Jenisa tak bisa untuk terperangah mendengar penuturan lelaki di depannya, bagaimana bisa Tetto menafsirkan kata kekeluargaan sebagai solusi sama dengan keinginan untuk berkeluarga hanya karena ingin terhindar dari masalah. Meski begitu Jenisa tidak ingin terlalu menghiraukan hal tersebut secara serius, terlebih dia sadar posisinya sebagai pihak yang terancam. Setidaknya Jenisa harus menjadi pihak yang bisa berpikir dengan kepala dingin di situasi seperti sekarang dengan memberi penawaran yang bagus selagi lelaki itu masih menghiraukan apa yang dia usulan.
"Bukan itu maksudku. Kekeluargaan di sini maksudnya kamu bisa dapat kompensasi dari kecelakaan yang nggak di sengaja ini. Aku juga akan tanggung jawab dan ganti biaya kerugian."
"Dan sudah aku bilang, aku gak tertarik. Kamu paham bahasa manusia?"
"Aku belum selesai buat penawaran." tak kurang sorot tajam Jenisa arahkan tepat pada pasien sakit di depannya, membuat Tetto yang menjadi sasaran hanya bisa berdehem sesaat dan mempersilahkan kembali gadis itu untuk melanjutkan.
"Aku akan lakukan apa yang kamu mau. Bagaimana?" tawar Jenisa.
Tetto terdiam sejenak memikirkan penawaran yang gadis di sampingnya berikan. "Oke, fine. Berhubung aku selalu nggak nyaman untuk tinggal lama di rumah sakit. Aku mungkin akan memutuskan untuk pulang."
"Tapi......" potong Jenisa hendak menyangkal namun si pasien langsung mengangkat satu jari telunjuknya sebagai isyarat untuk tetap diam.
"Aku akan melakukan perawatan berjalan, titik nggak ada bantahan. Berhubung akan melakukan perawatan di rumah, jadi kamu yang akan bertanggung jawab merawatku dan menggantikan rumah sakit memberiku makan."
"HAH?" pekik Jenisa tak kuasa untuk tak terkejut mendengar penuturan pria itu. "Kenapa pula harus begitu."
"Shttt... Sekarang giliran kamu yang diam, aku bahkan belum selesai." balas Tetto balik menyerang. Sementara di tempatnya, Jenisa mencoba sekuat mungkin menahan diri dengan tidak mengeluarkan segala kalimat protes yang siap dia keluarkan.
"Aku mau kamu melakukan itu selama satu bulan."
BRAKKK...
Tak kurang gebrakan yang sengaja ditimbulkan tersebut juga diiringi pelototan tajam seolah Jenisa yang sudah menjelma menjadi iblis yang siap mengamuk kapan saja. Jika sebelumnya gadis itu masih bisa menahan segala kalimat negosiasinya karena bagaimanapun hal tersebut akan lebih menguntungkan, namun pemikiran tersebut sudah berubah satu menit kemudian karena hal yang sama tidak lagi berlaku setelah Jenisa mendengar permintaan pria itu yang terdengar tidak masuk akal. Mungkin hanya umpatan dan keinginan untuk melakukan kekerasan yang kini tersisa di pikiran seorang Jenisa yang tidak lagi berpikir panjang dan menyertakan logika.
"Yang benar saja, kamu berniat menjadikan aku budak selama satu bulan?"
"Terserah mau bilang apa. Itu pilihan kamu kalau kamu masih mau memilih jalur kekeluargaan, aku nggak akan memaksa." Ucap Tetto ringan dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan. "Seperti yang kamu bilang Jenisa, sebaiknya kita pisahkan masalah pribadi dengan profesionalitas. Anggap saja semua ini sebagai bisnis, jadi seharusnya enggak alasan buat kamu menolak, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
DANGEROUS WOMAN
Roman d'amourBagi Tetto menjalani hidup dengan tenang dan menghindari masalah adalah pilihan, itu karena Tetto remaja dengan sukarela menjerumuskan diri dalam sebuah masalah tanpa peduli resiko yang bisa saja menimpa. Karena kenaifan-nya dulu yang mempercayai se...