138. This Parrarel

1.3K 214 21
                                    


Setelah adanya kebijakan new normal, aktivitas penduduk Jakarta kembali seperti biasanya. Meski sebenarnya ini bukanlah kebijakan terbaik yang dilakukan pemerintah, tapi dengan adanya alasan perekonomian negara yang harus digerakkan, makan dinormalkanlah kembali semua kegiatan di berbagai sektor.

Aku sebenarnya cukup jengah dengan keadaan sekitar yang meresahkan. Semua orang saling curiga satu sama lain karena kita tidak pernah tau siapa saja yang terpapar virus. Bahkan jika itu orang terdekatku, seperti Veranda. Ia kembali sibuk dengan jadwal kerjanya. Perusahaan Bank tidak mungkin libur karena kepentingan finansial seluruh penduduk negeri yang tidak mungkin tertunda. Tapi berhubung Veranda bagian head office, ia mendapat jadwal selang-seling. Sehari di kantor dan hari berikutnya ia di rumah.

"Menurut kamu, aku mending baca buku yang mana duluan?"

Lamunanku terpecah saat Veranda membawa laptopnya ke arahku yang sedang bersandar di tempat tidur. Veranda menempatkan bantal di pahanya untuk alas laptop. Setelah kupandang ke arah layar, aku melihat tiga buah buku yang mirip dan penulis yang sama.

"Kenapa nggak tiga-tiganya aja?"

"Ya, kamu tau aku pasti beli tiga-tiganya sih ya?"

Aku mengangguk pelan, sambil memamerkan senyum tipis padanya. Hubungan yang terjalin selama bertahun-tahun ini membangun chemistry yang cukup besar. Aku tak perlu bertanya untuk tau apa yang ada di pikirannya. Tapi Veranda lebih jago dalam hal ini.

"Atau kamu memang males mikir aja soalnya sama aja. Mau aku baca yang mana duluan, kamu juga nggak akan paham kan?!" tegurnya sambil berdecak lucu.

Tepat sekali. Aku mungkin memang bisa menebaknya, tapi Veranda jauh lebih hebat dalam menebak sesuatu dariku.

"Kamu itu biasanya kalau ada yang warna biru, pasti suka. Nggak coba yang biru duluan aja?"

Veranda mengangguk pelan. Ada tiga buku yang hendak dipilihnya. Ketiganya adalah tulisan dari Lala Bohang. Buku dengan warna biru berjudul "The Book of Invisible Questions", yang hitam "The Book of Forbidden Feelings", dan yang terakhir warna hijau dengan judul "The Book of Imaginary Belief". Melihat judulnya, sepertinya tiga buku ini cukup menarik.

"Biru duluan?"

Aku mengangguk pelan, "Beli tiga-tiganya aja. Nanti kamu baca satu-satu."

"Kamu mau aku review-in nggak?"

Tawaku pecah kala mendengar suara manjanya. Sudah cukup lama aku tidak mendengar logat bicaranya yang seperti bayi lima tahun. Salah satu kebiasaan kecil Veranda yang dulu sangat sering kudengar melalu telepon saat jarak kami ditempuh ratusan kilometer. Bagaimana tidak jatuh cinta padanya bila ia selucu itu?

"Aku sudah lama deh nggak dongengin kamu." tuturnya lembut, ia memindahkan laptopnya.

Dalam pandemi yang menyiksa ini, aku adalah orang sangat beruntung bisa bersama Veranda di sampingku. Aku tidak takut pada apapun selagi dia ada.

Seperti sekarang, saat ia tersenyum sembari membelai rambutku secara perlahan. Aku memindahkan kepalaku ke pangkuannya dan ia dengan kedua matanya yang jernih itu menatapku dengan pandangan hangatnya. Aku melamun sejenak untuk mengingat-ingat perbuatan baik apa yang pernah kulakukan di masa lalu sehingga Tuhan mengirimkanku sosok sebaik ini.

"Ve."

"Hm?"

"Aku rela deh kalau pandemi terus, yang penting ada kamu."

Ia tertawa geli, lalu tangan lembutnya mencubiti kedua bagian pipiku.

"Kinal, kita pacaran bukan sebulan dua bulan. Udah tahunan. Kamu kalau lagi gombal gini yang ada bikin perut aku geli tau nggak? Hahahaha."

"Ya kan habisnya. Nggak semuanya bisa kayak kita gini lho."

Veranda mengangguk pelan. Ia memandang lurus ke depan, seperti sedang mencari sebuah cerita yang hendak ia sampaikan padaku. Aku menunggunya sambil mengagumi pahatan indah wajahnya yang cantik. Orang selalu tidak percaya diri dengan tampilan wajah dari sudut pandang bawah, tapi Veranda pengecualian. Dia tetap cantik dari bawah sini.

"Teman aku banyak yang cerita sedih-sedih sama aku."

"Oh, ya?"

Tangan lembutnya bergerak ke arah tanganku, ia meraihnya lalu menciuminya dengan sangat hati-hati. Aku senang merasakan kehangatan yang seperti ini. Aku menyayanginya, sangat amat. Tak akan pernah bisa kubayangkan bagaimana hancurnya aku bila ia tak ada.

"Banyak yang hubungannya berakhir sejak pandemi."

Aku mengangguk, melihat raut wajahnya yang berubah sedih. Veranda salah satu orang yang paling sensitif yang pernah kukenal. Ia akan mudah tersentuh atau merasa emosional ketika ada hal yang mengganggu perasaan sensitifnya. Ia bukan pemarah, tapi bila ada satu atau dua hal kecil yang menyedihkan, ia akan sangat mudah larut di dalamnya.

"Kamu tau nggak sih sebenarnya kita beruntung banget bisa sama-sama kayak gini?" imbuhnya sambil menatapku dengan kedua matanya yang sedikit berkaca-kaca.

Aku pun menyadarinya. Yang ia katakan ada benarnya.

"Banyak yang hatinya patah karena ego yang diciptakan situasi pandemi. Satu atau dua orang, harus kalah dengan paksaan. Ada yang alasannya capek nggak bisa nahan kangen, ingin ketemu nggak bisa. Ada yang terlalu meremehkan rasa percaya, sementara pihak lainnya insecure karena sulitnya komunikasi."

"Habis pandemi kita gini yuk, kita gitu yuk..." tambahku.

Veranda tersenyum lebar dan mengangguk cepat, "Bukan pandeminya yang selesai, malah hubungannya."

"Temen-temen aku banyak yang curhat gitu. Aku jadi ikut sedih."

"Tapi kamu seneng kan karena kita baik-baik aja?"

Veranda mengangguk lagi. Aku melihatnya menghapus air mata yang sedikit mengalir dari pelupuk matanya. Sepertinya bukan kesedihan yang sederhana yang ikut ia rasakan dari orang-orang di sekitarnya. Tapi aku juga meyakini tangisnya adalah salah satu tangis syukur.

Hari ini, kami masih bersama...

Tidak dalam dunia lain, tapi di sini, dalam ceritaku ini, kami masih bersama-sama.

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang