136. True Love

1.6K 239 19
                                    

"Kenapa lu?"

Mbak Dinda menyuapiku sepotong kentang McD saat kami sedang istirahat setelah briefing panjang siang ini. Dia mulai menyuapiku sejak Mas Agung, Najwa, dan Nink berebut kentang gorengku yang mulai habis tapi belum sempat kumakan sama sekali.

"Nggak." jawabku lemas.

Seminggu sejak kejadian tragis di apartemen, aku jadi sangat trauma. Melamun adalah hobi baruku. Overthinking adalah makananku sebelum tidur. Anxiety disorder sepertinya jadi penyakit baruku.

"Yeeh, aneh!"

Dari awal pacaran sampai seminggu yang lalu, aku selalu berkhayal bisa bahagia dengan Veranda dan bisa keliling dunia berdua.

Tapi terhitung detik itu, aku selalu membayangkan hari di mana Veranda akan mengatakan bahwa ada orang yang lebih baik dariku. Kemudian pergi meninggalkanku untuk menjalani hidup yang lebih baik, selamanya.

Kantung mataku tebal, mataku merah. Terkadang aku bisa menangis saat menyetir kendaraan. Sangat terasa apabila aku menyetir motor. Sekelebat bayangan buruk di masa depan yang siapa tau bisa terjadi tanpa diharapkan.

Hari ini Veranda berjanji akan mencintaiku, entah besok. Hatiku telah terasa sakit meski tidak ada yang terjadi di antara kami.

Melihat wajah Veranda saat tidur membuatku semakin sedih. Kadang pikiranku sampai sejauh, bagaimana jika besok Veranda tidak lagi di sampingku. Suatu saat ia akan memanggil 'sayang' pada orang lain. Mimpinya tidak lagi terangkai olehku, tapi terwujudkan bersama orang lain.

Aku tidak bisa jika suatu saat ia akan mengucapkannya.

"Mau gimana lagi? Kayaknya memang kita cuma bisa sampe sini kan?"

"Lu kenapa sih?!"

Gertakan Mbak Dinda membuyarkan lamunanku. Aku sudah hampir menangis gara-gara halusinasi drama yang terputar di kepala. Mbak Dinda menatapku jengah karena melihat kondisiku yang tidak jelas bentuknya.

"Aneh banget akhir-akhir ini, jadi jelek lu. Nggak karuan. Ini Veranda masih mau sama lu? Bentukan lu begini, doi masih mau?"

Jatuh air mataku persis saat aku teriak dan menangis di bahu Mbak Dinda. Untung saja di sini tidak ramai. Semua tau aku sedang dalam suasana hati yang sendu, tapi mereka lebih peduli pada kentang gorengku daripada aku sendiri yang menangis.

"Lu kenapa sih, Nal?" tanya Mbak Dinda yang menepuk-nepuk punggungku pelan.

"Alhamdulillah masih ada yang meluk sama dengerin gue. At least gue insecure masih ada yang mau ngertiin. Nggak stress sindirian. Mbak Dindaaaa!" sesenggukan aku menangis dalam peluk Mbak Dinda.

Yang kulakukan merupakan hal bodoh. Tentu saja Mbak Dinda akan memarahiku setelah ini. Saat semua orang tetap tinggal di kantor dan kami berdua memutuskan untuk beli kopi di bawah.

Atap kantor kebetulan kosong, di sini kami menikmati kopi hitam dengan angin yang menderu, mengayunkan rambut Mbak Dinda yang mulai memanjang lagi.

"Kenapa?" tanyanya singkat.

Aku diam sejenak, napasku sedikit tersenggal karena menangis lama. Berat untuk bercerita, tapi aku berusaha. Mbak Dinda memandangku seksama sembari mendengar masalah yang kuceritakan.

Ini sesuatu yang salah. Bercerita permasalahan cinta pada seseorang yang suka pada kita. Tidak seharusnya aku menyakiti Mbak Dinda dengan cara seperti ini. Tapi ia tersenyum sambil mendengarkanku, lalu mengangguk saat aku selesai.

"Gue tau manusia bisa berubah dalam waktu sekian cepatnya."

Mbak Dinda mengangkat cangkir kopinya yang nyaris bersih, "Tapi Veranda nggak pernah berubah kok, Nal. Dia masih sama manis kayak pertama kali gue kenal dulu. Maksudnya manis sama lu, ya."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang