66. One Rainy Morning

3.2K 408 32
                                    

Sabtu pagi, aku bangun dengan gejala perut sangat amat keroncongan. Lapar menyerangku tiba-tiba, sementara Veranda masih pulas di sampingku.

Kubuka tirai jendela kamar kami dan ternyata matahari sudah cukup tinggi. Namun, cuaca sangat amat dingin. Di luar pun mendung, embun pagi masih menempel di jendela. Kutiup-tiup jendela kamar kami dan kucoreti tak jelas di sana.

Aku bersila di depan jendela, melihat pemandangan keramaian jalanan dan gedung-gedung tinggi kota Jakarta. Tersenyum saat merasakan kedua tangan lembut memelukku dari belakang.

Hidung Veranda menempel di tengkukku, bergerak lembut ke arah leher. Dan bisa kurasakan bibirnya menempel di sana, memberikan kecupan pelan.

"Dingin." gumamnya.

Kutarik tangannya dan kugenggam erat-erat. Ia terkekeh oleh tingkahku yang mengusap-usap tangannya, berusaha melenyapkan rasa dingin itu.

"Hari ini mau kemana?" tanyaku saat ia memindahkan dirinya duduk bersandar di depanku, ikut melihat pemandangan pagi hari di luar.

"Mendung, jadi malas." suaranya serak, khas bangun tidur.

"Weekend kita gak produktif lagi dong." balasku.

Veranda terkekeh, ia mengangguk-ngangguk. Rambut panjangnya yang berantakan, menempel di sekitar leherku dan bergerak pelan membuatku kegelian.

Langit di luar masih betah mendungnya. Kami masih terdiam, sambil mencoret-coret embun di jendela dengan jemari kami. Tertawa-tawa kami menulis hal-hal menggelikan di sana.

Sampai titik-tirik air itu bermunculan. Kami berdua menghentikan keisengan jari kami.

"Gerimis." gumam Veranda.

"Bakalan hujan gede kayanya." timpalku.

Tanganku benar saja melingkari perut halusnya. Mendapat rasa hangat di sana, dan bonus Veranda yang kegelian karena ulahku.

Aku tersenyum ketika ia menolehkan wajahnya untuk menatapku. Pandangannya sayu, "Dingin." ia berbisik lagi.

Debaran di dada tak bisa kuatur. Berada sedekat nadi dengan Veranda, bisa apa aku. Lemah selemah-lemahnya. Terlebih ketika ia mulai menciumi pipiku.

Di luar, hujan mulai turun dengan deras. Rasa lapar yang tadinya menggerutui perutku teralihkan pada Veranda yang berisik dalam pelukanku. Ia membangkitkan badannya, setengah berdiri dengan lutut yang menjadi tumpuan di atas tempat.

Sambil menghadap ke arahku dan memunggungi jendela, ia memeluk leherku.

Aku tertawa kecil saat ia mulai mendekatkan wajahnya, nyaris menciumku. Tapi tanganku menghalangi keinginannya. Ia cemberut dengan wajah lemasnya, dipermainkan olehku.

"Masih pagi, Ve." godaku sambil tersenyum tipis.

Wajahnya memang sudah memerah, tapi aku senang melihatnya seperti ini. Berantakan, sebal, cemberut, lucu.

Apalagi kalau ia mulai memohon dengan kedua mata sayunya.

"Ayolah..."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang