103. Space Out

2K 386 31
                                    

Duduk di kafetaria tempat cuci mobil dekat kantor Veranda, aku memandang kosong pada roda-roda mobilku dan Veranda yang tengah dibersihkan dengan baluran busa pembersih.

Saat itu, aku menoleh pada Veranda yang tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Aku pergi dulu. Kayaknya ada yang kurang deh di apartemen."

"Apa?" tanyaku saat dia mengambil jaketnya dari pangkuanku.

"Ada deh." ujarnya, senyum centil.

"Apa dulu ih?" kutahan tangannya saat dia nyengir.

Tampangnya menunjukkan ekspresi tidak yakin untuk bicara, "Itu... tamu. Aku belum ngestock-"

"Oooh..."

Belum sempat dia selesai bicara, aku sudah memotongnya. Dan dia hanya senyum-senyum malu saat pergi menjauh.

Padahal cuma hal sepele, tapi Veranda kelewat pemalu memang. Dia mungkin lupa kalau pacarnya juga perempuan yang menganggap hal ini sudah sangat lumrah.

Kembali asyik memperhatikan mobil, aku melamun lagi. Pikiranku berhamburan sampai otakku tak tau mau mencerna yang mana lebih dulu. Makanya, aku hanya bisa memandang lurus pada satu titik.

Hampir sepuluh menit lamanya berlangsung seperti ini sejak Veranda bilang mau pergi membeli sedikit keperluan di supermarket dekat sini. Tidak begitu jauh, mungkin hanya seratus meter dari sini, ditempuhnya berjalan kaki.

Sambil meneguk minuman kaleng yang tadi kubeli dari kafetaria, aku melihat mobil mewah yang tak asing sedang memasuki kawasan tempat pencucian mobil.

Otakku berputar saat kedua mataku menangkap siluet seseorang dari dalam mobil yang kini ke luar.

Seorang perempuan, memakai kacamata aviator hitam yang kemudian dilepasnya untuk ia kaitkan pada blouse putihnya.

"Mbak Dinda?"

Dari sekian banyak tempat cuci mobil yang ada di kawasan Jakarta Selatan ini, Mbak Dinda memilih tempat ini. Tempat yang sama denganku memilih.

Jantungku berdebar dan rasanya aneh melihat Mbak Dinda senyum sambil jalan ke arahku.

Seorang pria muda menghampirinya dan Mbak Dinda menyerahkan kunci mobilnya pada pria karyawan tempat cuci mobil ini.

"Eh, di sini Nal?" sapanya, lalu mendekatiku.

Aku mengangguk pelan.

"Buset, jodoh." dia tertawa geli.

Astaga, apa yang dikatakannya sudah sangat sulit kucerna sebagai lelucon lagi sekarang. Itu mengganggu pikiranku.

"Lu udah keliatan mendingan gini!" seruku, berupaya menghilangkan rasa gugup.

"Iyalah. Bosen sakit mulu kali!"

Semesta mendukungku untuk mempertemukanku dengan Mbak Dinda mungkin memang. Dia datang lalu duduk saat melihat minumanku.

"Hadeh, Coca Cola. Nggak boleh gue minum ginian." celetuknya saat meraih dan melirik minuman kalengku.

"Eh, ya udah ambil susu gih. Ada kayaknya." aku menoleh dan melihat sebuah lemari pendingin di dekat kasir.

"Oh, iya ya?"

Sempat berdiri, aku hendak mengambil minuman untuk Mbak Dinda. Tapi dia malah bangkit dan beranjak lebih dulu.

Kulihat punggungnya menjauh saat berjalan menuju kasir, dan dari arah lain, Veranda datang membawa satu kantong plastik supermarket yang entah isinya apa saja itu selain pembalut.

"Mobilnya udah?" dia bertanya, dan aku menoleh ke arah mobil yang baru saja selesai diguyur air.

"Belum dikeringin kayanya." sahutku setelah menggeleng padanya.

Kemudian Veranda duduk di tempat Mbak Dinda tadi duduk. Aku menoleh ke arah kasir, dan Veranda menyadarinya.

"Loh, Mbak Dinda?"

"Hey, Ve!"

Mereka yang saling sapa, dan malah aku yang gugup luar biasa. Kuteguk minumanku untuk mengalihkan rasa canggung yang mungkin hanya aku yang merasakan.

Detik berikutnya, mereka ngobrol berdua. Sementara aku? Kikuk setengah mati.

"Gimana, Mbak? Ini kayaknya udah sehat nih!"

"Yoi! Dinda anti sakit-sakit club!"

"Hahaha! Sorry ya nggak jengukin dari kapan hari. Eiya ada roti nih kalau mau makan. Anggep aja ini lagi jenguknya."

"Bisaaaaa!"

Sebelum hari di mana aku mengetahui semua hal yang Mbak Dinda pendam terhadapku selama ini, hal ini biasa saja. Berkumpul bertiga seperti ini bukan masalah.

Tapi tidak lagi semenjak aku tau. Dan mereka malah enak-enakan ngobrol berdua di depanku sesantai ini. Tanpa tau apa saja yang nyaris meledak di kepalaku.

Malahan,

Kalau boleh, aku ingin teriak sekeras mungkin.

"Ya Allah! Cobaan banget ya Allah!"

Apalagi pas dua-duanya menoleh sambil senyum padaku.

Terus, mereka berbarengan bicara.

"Heh, kamu kenapa?" "Woy! Ngapa lu?"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang