41. Ready?

3K 390 20
                                    

Dibilang frustasi, tidak. Tapi kalau tidak, apa namanya jika aku terus-terusan memikirkan hal yang mungkin bisa saja membuatku gila.

Benar, ini soal tindakan 'Coming Out' yang tidak sengaja terjadi beberapa hari yang lalu. Dan sejak saat itu,

Nggak terjadi apa-apa sih. Mbak Dinda juga masih seperti biasanya. Sering bercanda, bahkan seperti tidak ada apa-apa. Dia tak membahas ini sebagai masalah yang serius, hanya seperti sebuah kecelakaan kecil yang tidak menyebabkan luka apa pun.

Namun justru itu lah yang membuatku bingung dan berpikir panjang.

"Draft yang gue minta tadi pagi udah dikirim belum, Nal?"

"Hah? Ya mbak?" buyar lamunanku.

Mbak Dinda dengan kacamata yang bertengger di wajah seriusnya, menatapku lama. Ya, kalau sedang sibuk dengan kerjaannya, mbak Dinda akan serius seperti ini.

"Udah belum?" nada suaranya sedikit naik.

Aku yang baru sadar dari lamunanku, langsung mengingat bahwa tugasku belum selesai sampai sesiang ini.

Kuusap kepalaku sendiri. Menghela nafas dan menggeleng pelan dengan wajah penuh penyesalan.

"Hhh, belum?"

Kuulangi anggukanku. Bisa kulihat mbak Dinda menunjukkan wajah masamnya. Ia melepas kacamatanya dan memijit perbatasan di antara kedua mata dengan pelan.

Wanita yang nyaris berumur kepala tiga itu berdiri dari kursinya, kemudian mengambil kunci mobilnya sendiri.

"Ngopi dulu deh, santaaaaii~"

Senyumku terkembang lebar melihat mbak Dinda meninggalkan cubicle-nya dan memutar menuju tempatku.

Sambil memasang cardigan-nya, ia kembali memakai kacamatanya.

"Lo yang nyetir."

Tanpa melihat ke arahku dan pergi duluan, mbak Dinda melempar kunci mobilnya padaku. Senyumanku semakin lebar.

Inilah yang membuatku sangat senang berteman dengannya. Meskipun posisinya sebagai senior, dia selalu mengerti bagaimana kapasitas kerjaku disini. Tidak semua pekerjaan dapat selesai dengan mudah.

Menurut mbak Dinda, asal bisa tepat waktu dan hasilnya baik. Tentu santai tidak pernah jadi masalah.

***

"Beneran dia tetep biasa aja soal kita?"

Kuanggukkan kepalaku, menanggapi pertanyaan Veranda yang sedang menyiapkan makan malam kami berdua.

"Mungkin dia emang sudah biasa..." ujar Veranda, meletakkan piring berisi nasi di depanku.

Dahiku mengernyit, "Maksud kamu?"

Veranda memandangku datar, ia menggeleng pelan dan hanya mengambilkan sepotong paha ayam kecap manis di atas nasiku. Kemudian ia juga menuangkan beberapa sendok tumis brokoli dan wortel.

"Ve?" aku masih ingin mendengarnya bicara. Bukan sekedar kalimat gantung tadi.

Ia menghela nafasnya sebelum sempat menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulutnya sendiri. Gadis di hadapanku ini memutar bola matanya malas, seperti tak mau membahas pembicaraan ini lebih lanjut.

"Ya mungkin karena dia sudah biasa aja, Nal. Dia paham sama apa yang lagi kita jalanin. Kamu bisa bandingin perihal ini sama apa yang terjadi dengan temen-temen aku waktu mereka lihat kamu? Temen-temen aku, sudah langsung heran dan bertanya yang enggak-enggak sewaktu mereka ngeliat perilaku kamu ke aku. Sementara mbak Dinda? Dia udah segitu jauhnya bercanda, dan sekarang tau, malah gitu-gitu aja. Yah menurut kamu gimana?"

Panjang lebar Veranda bicara, ia masih tak memberi penjelasan intinya. Dia hanya membuatku semakin berpikir.

Lelah dengan masalah ini, akhirnya aku menyerah dan memilih untuk mulai makan. Sangat disayangkan jika aku cuek terhadap hidangan makan malam sementara aku terlalu lapar.

"Mungkin aja dia sudah kenal dengan hubungan yang semacam ini. Yang lagi kita jalanin."

"Uhuk! Uhuk!"

Aku tersedak bukan main. Pernyataan Veranda mengejutkanku yang sedang enak-enak makan. Langsung saja kuteguk segelas air di samping piring nasiku.

"Maksud kamu apa?" tanyaku lagi setelah mencoba menelan makananku susah payah.

Veranda lagi-lagi memutar bola matanya malas. Sepertinya ia bosan dengan ketidakpekaanku.

"Aku kurang jelas apa deh ngomongnya? Kan tadi udah panjang banget?"

"Ya tapi kamu nggak langsung ke inti, Ve. Kamu jelasin tanpa conclude yang jelas."

"Aku nggak suka. Nanti kamu malah nuduh aku ngejudge mbak Dinda. Atau mungkin sekarang kamu udah berpikiran kalo aku bakal ngejudge mbak Dinda ya?"

Benar, aku sudah mulai berpikir demikian sejak pertama kali Veranda manyatakan mbak Dinda biasa saja dengan hubungan kami.

Aku pun tertunduk, memberi kode 'iya' atas omongan Veranda barusan.

"Tuh, kan..."

Veranda mengelap bibirnya sendiri dengan tisu. Ia kemudian menatapku lekat-lekat.

"Nggak aku nggak ngejudge. Karena mungkin aja mbak Dinda bener-bener masuk kategori orang yang gak peka. Sama kayak kamu. Makanya kalian cocok. Dan sebab itu, aku jadi ngerasa gak nyaman soal kecocokan kalian yang ngebikin kalian jadi lengket terus entah di kantor atau pun di luar kantor. Aku pikir cuma kebetulan, tapi interaksi kalian terlihat aktif banget. Mungkin... mungkin aku cemburu juga kadang."

Kulirik Veranda yang sekarang menatapku sedih. Jemarinya menyentuh lenganku yang tersampir di atas meja. Ia memberikan belaian lembut disana, penuh kasih sayang.

"Temen kamu nggak cuma dia kan?"

Aku menggeleng pelan. Kusadari memang temanku di kantor banyak, tapi hanya mbak Dinda yang terdekat.

"Dia duduk di depan cubicle aku, jadi kamu tau kalau aku sama dia partner. Selebihnya nggak ada apa-apa..."

"Kamu yakin?"

Kupikir ulang tentang mbak Dinda. Wanita yang sering kuledek 'Cewek Tua' itu jelas-jelas tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Jelas sekali dia hanya wanita super cuek dan santai, tidak mungkin melakukan apa pun.

"Dia cantik loh, Nal..."

Aku terkekeh mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Veranda.

"Terus? Kamu ngira aku bakalan ada apa-apa sama makhluk astral kayak dia?"

Veranda tersenyum dengan gigi-gigi kecilnya yang tampak lucu.

"Kamu kan cassanova?"

"Eh! Enak aja yah? Nggak!"

Bodoh sekali jika Veranda berpikiran seperti ini. Dia pasti mengira-ngira bahwa aku sedang mencoba main-main.

Dia tidak pernah sadar mungkin, tiap kali ia tersenyum, aku semakin dibuatnya jatuh cinta. Seperti saat ini, dia terus-terusan mengobral senyuman manisnya padaku.

"Ve..."

"Hmm?"

Sahutannya yang seperti ini yang selalu kusukai. Ketika aku memanggil namanya, dia akan sepenuhnya menatapku dengan dua mata bulatnya. Wajahnya tampak lucu dengan masing-masing alis yang sedikit terangkat dan bibir yang terkatup.

"Ini baru hal kecil. Sederhana. Hanya seseorang yang penuh pengertian tentang hubungan kita, yang udah tau. Selanjutnya, mungkin bakal berdatangan hal lain. Kamu siap?"

Veranda menarik nafas panjang. Wanita lagi-lagi melakukan hal yang membuatku makin jatuh cinta padanya. Ia menggenggam kedua tanganku, mengangguk mantap, dan tersenyum manis penuh keyakinan.

"Of course..."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang