94. Replacing You

2.5K 431 18
                                    

Veranda, semua tau kalau sosok itu sangatlah sempurna. Dari fisik, perilaku, intelijensi, semuanya. Dia cantik, memesona, rupawan, dan segalanya dari segi penampilan, Veranda adalah nilai sepuluh.

Peringainya pun, semua orang yang mengenalnya tau, bahwa Veranda adalah orang baik. Pendengar yang baik meski pun tak banyak bicara. Dia penyabar, serta bicara lembut pada semua orang.

Kepintarannya tidak diragukan. Dia disenangi atasan dan dihormati bawahannya. Karyawan baru yang langsung bisa beradaptasi dengan pekerjaannya. Baru saja masuk kantor, ia sudah menanggungjawabi banyak tugas. Veranda sosok yang cerdas.

Aku terdiam di meja gerai malam ini. Menunggu Veranda yang sedang pesan makanan dan membayar di kasir. Dengan semua lamunan itu, aku senyum-senyum sendiri. Ingat kalau aku yang cuma gadis biasa, bisa diberikan loyalitas sebesar ini oleh Veranda yang mungkin dipuja-puja oleh banyak orang.

"Laper banget. Antrinya lama." gerutunya, dengan membawa baki berisi makanan pesanannya.

Kulirik pesanannya ada menu KFC kombo super family berisi beberapa potong ayam goreng, dan hanya sepiring nasi saja yang seharusnya terdiri dari tiga piring nasi.

"Kamu yakin nggak mau?" tanyanya, mulai mengoreki ayam gorengnya.

Aku tertawa geli melihat Veranda tampak kelaparan, "Nanti kalau pengen, aku bisa pesen. Sekarang mau lihat kamu makan aja dulu. Siapa tau nanti aku juga laper."

"Emang kamu nggak laper?" tanya Veranda yang sudah ngunyah ayamnya.

Aku menggeleng pelan. Senang sekali bisa melihatnya makan lahap.

"Oh, iya. Nanti pas acara resepsinya Citra, aku udah sewa wardrobe-nya. Biar senada, pasangan gitu."

Aku kaget sekaligus heran dengan ide Veranda. Bukan tak suka, atau terkejut. Hanya saja, aku pikir itu merupakan usulan yang menarik, makanya kaget.

"Yang bener? Bagus dong? Biar aku gak bingung lagi sama baju yang nanti mau dipake apaan."

Veranda mengangguk semangat. Di sekitar bibirnya berantakan remah-remah yang susah dijangkau oleh lidahnya untuk ia jilat. Gemas melihatnya. Kalau ini bukan tempat umum, sudah kucium dia. Jariku langsung bergerak untuk mengelap kotoran di sudut bibirnya. Dia langsung senyum, mencuri kecupan pelan di ujung jari telunjukku.

"Acaranya di Bandung kan ya?" tanyaku.

"Iya. Otomatis nanti kamu ke rumah Mami, kan?"

"Ya iya. Kita nginep di sana lagi. Kalau acaranya hari jumat malam, pagi harusnya udah otw Bandung. Atau gak ya malemnya, kalau pengen bawa mobil sendiri."

Aku bicara panjang lebar, Veranda cuma perhatikan sambil menyantap ayamnya. Ekspresi wajahnya yang polos itu buat aku gemas, ingin rasanya cubit pipinya sampai habis. Tapi dia malah menyodorkan paha ayam bekas gigitannya barusan ke depan mulutku.

Veranda membuka mulutnya, memberi isyarat supaya aku ikut buka mulut.

"Haaaa..."

"Haemm!" langsung kugigit paha ayam itu dengan senang hati.

Lalu kami saling tertawa. Dengan aku yang langsung jatuh cinta pada Veranda entah yang ke berapa kali saat ia tertawa seperti ini. Garis tipis itu muncul di bagian pipinya. Aku senang melihatnya.

Sebenarnya hari ini sangat lelah. Sampai makan pun tak minat. Hanya beberapa gigitan ayam Veranda saja tadi.

Awalnya Veranda mengomel karena mood makanku yang jelek. Dia bilang dia mau mampir ke supermarket sebentar, bertanya padaku ingin makan apa untuk malam nanti. Tapi cuma kujawab, "Terserah. Kalau kamu yang masak, aku pasti makan."

Aku tau Veranda tak suka aku menjawab seperti itu. Makanya, meski pun sudah pulang dari supermarket, dia masih mengomel.

"Berhenti." ujarnya dingin.

Tak kunjung kuturuti, Veranda berdecak.

"Aku bilang berhentiin mobilnya, Kinal."

Panik rasanya dengan situasi seperti ini. Ya, Veranda minta aku menghentikan mobil, persis adegan-adegan film atau sinetron ketika pemeran wanitanya minta diberhentikan di pinggir jalan pada pacarnya ketika di dalam mobil.

"Kinal, aku bilang berhenti."

Bukannya berhenti, aku malah ngebut selagi jalanan sepi. Supaya sampai lebih cepat. Sayangnya, Veranda makin ketus.

"Satu..."

"Dua..."

Aku diam membeku, Veranda mendengus.

"Jangan sampe aku bilang tiga, kamu gak berhenti."

Oke, aku menyerah. Kutepikan mobil ke pinggir jalanan yang aman. Lalu tiba-tiba Veranda turun. Dia ke luar dan mendekati pintu kemudi.

Langsung aku juga ikut turun saat ia di hadapan pintu aku ke luar. Kuperhatikan ia tidak lagi pasang tampang marah, melainkan cemas dan khawatir. Lalu ditariknya tanganku menuju pintu bagian kiri mobil.

"Masuk." suruhnya.

Tak berkutik, aku hanya bisa menuruti kemauan Veranda. Kali ini dia yang duduk di kursi kemudi.

Mobil menyala. Veranda sudah siap nyetir dan membawa mobil ini ke tengah jalanan lagi. Kami pergi untuk melanjutkan perjalanan pulang yang sempat tertunda. Perasaanku aneh, bingung karena tindakan Veranda yang begitu mendadak.

"Aku tau kamu capek. Biar aku aja yang nyetir sampe apartemen."

Bibirku langsung senyum lebar mendengarnya bilang begitu dengan nada lembutnya.

Kutatap dirinya yang sedang senyum-senyum juga.

"Iya, makasih. Aku juga tau, tenaga kamu lagi full. Udah makan lima paha ayam kan?"

"Hahahahaha!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang