29. Losing

3.4K 424 27
                                    

Bulan Ramadhan, tiba. Menurut keyakinanku, aku diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan penuh -walau wanita tidak bisa benar-benar penuh.

Naif memang kalau membicarakan soal ibadah sementara aku sendiri adalah salah satu manusia yang terjebak dalam salah satu hal yang sangat amat 'terlarang'.

Tetapi bagaimana lagi?

Kepalang...

Aku pun jujur, tak menginginkan ini hadir dalam hidupku. Namun layaknya manusia yang lemah dan serba salah, aku yang bodoh justru terjatuh dalam jernihnya kedua bola mata indah Veranda.

Sakit memang awalnya, tapi aku menikmati bagaimana beratnya jatuh pada sosok yang sesempurna dia.

Terlebih dengan banyaknya kekurangan, aku berpikir akan ada banyak jalan yang memudahkanku untuk kehilangannya.

Saat diam dan termenung seperti ini, aku sering kali terpikirkan hal-hal buruk itu.

Kami berdua berjalan di sebuah tempat semacam food festival yang menyediakan banyak makanan mau pun takjil untuk buka puasa.

Ramai sekali orang berseliweran. Kugenggam erat tangan Veranda supaya ia tak bisa lepas dan sampai kehilangannya.

"Kamu mau makan apa?" tanyaku padanya saat kami berdua menjelajahi satu per satu stan.

"Terserah kamu aja. Kan kamu yang puasa..." jawabnya dengan wajah cuek.

"Oke."

Benar memang aku yang puasa. Tapi Veranda pun jadi ikut tidak makan saat kami sedang bersamaan di akhir pekan begini.

Kebanyakan disini, makanan manis yang dijual. Kami berdua tidak terlalu suka makanan yang terlalu manis.

Aku baru hendak berpindah tempat untuk mencari makanan lain, tiba-tiba saja aku merasakan tanganku yang harusnya menggenggam erat tangan Veranda, kosong melompong.

Entah sejak kapan, aku tak menyadarinya. Yang jelas ini membuatku cukup panik karena suasana disini lumayan ramai.

Bukan sekali memang aku mengalami hal ini. Dimana dia tiba-tiba saja lenyap saat aku yakin menggenggamnya erat waktu itu. Tapi tetap saja, rasa panik itu selalu sama. Bahkan semakin besar karena rasa emosionalku cukup besar ketika berpuasa dan kekurangan glukosa.

"Kebiasaan!" umpatku pelan, mencoba menghubungi nomor ponsel Veranda.

"Nggak diangkat sih?!" kesalku lagi.

Panggilannya tersambung, tapi dia tak mengangkatnya. Membuat hatiku sedikit kesal.

Mengelilingi kerumunan orang-orang ini, membuatku jengah sendiri karena tak ada Veranda dimana-mana.

"Pergi kemana sih?!" ocehku bertanya-tanya pada udara.

Suara adzan bahkan sudah terdengar. Tapi rasa lapar lenyap karena cemas pada Veranda yang seringkali bertindak seperti ini.

Orang-orang yang tadinya masih berjalan-jalan di sekitar stan, mulai berkurang dan mencari kursi untuk makan.

Sementara aku yang baru saja terduduk lemah karena frustasi kehilangan, mencoba untuk bangkit lagi dan melihat ke sekelilingku.

Berjalan beberapa langkah dan aku menemukan Veranda sedang duduk di sebuah kursi kecil dengan segelas minuman di tangannya. Ia tampak sedang menikmatinya saat aku berjalan cepat dengan sedikit emosi ke arahnya.

"Kamu disini dari tadi?!" tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

"Eh, iya. Kolak kacang hijau nih, mau nggak? Enak tau!" celetuknya sambil menjulurkan minumannya padaku.

Kupandangi ia dengan tatapan tidak percaya dan sedikit kesal.

"Kamu tuh kemana aja sih? Aku bingung nyariinnya. Kalau mau cari minuman atau laper duluan, bilang aku. Jangan kayak gini! Jangan seenaknya aja gitu. Aku udah pegangin kamu juga biar kamunya nggak kemana-mana dulu. Bilang aku duluan, ngerti kan?"

Seumur hidup, ini adalah hal paling emosional yang pernah aku ungkapkan pada Veranda. Perasaanku aneh, berkecamuk melihat wajah tak berdosanya.

"Kok, kamu marah?" herannya dengan tampang kaget sekaligus sedikit takut mungkin.

Aku gelengkan kepalaku pelan. Kepalaku tiba-tiba berat dan pusing. Sedikit kubungkukkan tubuhku supaya sejajar dengannya.

Mungkin hanya perasaanku saja yang begitu sensitif akhir-akhir ini dan emosiku sedikit tak terkendali karenanya.

Aku yang biasanya selalu tenang dan diam, jadi lebih sedikit resah karena sesuatu yang tidak jelas.

Tertunduk kepalaku di atas paha Veranda yang terbalut rok abu-abunya.

Mungkin aku nyaris menangis karena perasaan yang begitu menyiksaku ini.

Saat itu aku bergumam kecil seakan-akan aku memohon dengan amat sangat pada Veranda yang aku cintai.

"Aku tuh punya, cuma kamu satu. Jangan hilang, bisa kan? Aku mohon..."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang