52. Stout

3.3K 397 22
                                    

Pukul empat sore tepat, aku menghubungi Veranda. Mengabarinya bahwa hari ini aku tidak bisa menjemput dan sekalian pulang bersamanya.

"Aku hari ini lembur, kamu pulang duluan aja gapapa kan?"

Terdengar ia sedang sibuk mengetik dari seberang sana.

"Ve?" panggilku lagi.

"Ha? E-eh, iya. Nanti aku pulang bareng kalo gak Sabrina ya mungkin sama Kinan."

Keningku mengerut, "Loh, emang searah?"

"Iya, searah. Kebetulan juga kayanya nanti bakalan belanja deh. Gapapa yah?"

"Oh, yaudah. Take care ya?"

"Iyaaa, love you..."

"Love you too..."

Dan kemudian tawaku pecah ketika mendengar suara kecupan dari jauh dari Veranda. Sambungan telepon pun terputus, kutarik napas pelan untuk mencoba menetralisir debaran dadaku. Suara Veranda penyebab jantung ini jadi berdetak lebih kencang dari biasanya, nyaris pengap aku.

Di depanku, mbak Dinda dengan tampang lelah sedang menopang dagu. Terlihat ia tidak berselera dengan pekerjaannya, terkadang tampak ngantuk-ngantuk juga. Mengerjap pelan seperti anak ayam, lalu mengucek mata di balik kacamatanya, dan sesekali menguap lebar.

Dengan inisiatifku sendiri, aku melangkah menuju refrigerator yang terdapat dalam ruangan. Mengambil dua kopi kaleng dingin.

Iseng, aku berjalan pelan dan mengendap-ngendap di belakang mbak Dinda. Kutempelkan dua kopi kaleng dingin ini ke dua sisi pipi mbak Dinda.

"WHAT THE FUCK!!!"

Semua orang menoleh ke arah kami berdua. Aku hanya cekikikan sementara semua orang di ruangan banyak yang bertanya-tanya ada apa dan beberapa di antaranya tertawa melihat kami.

"Anjir bener yah lo!" omel mbak Dinda, usai meraih sekaleng kopi dinginnya.

"Biar gak ngantuk sayangkuu..."

"Taii!" umpatnya, menatap jengkel sambil cengar-cengir padaku yang telah kembali ke cubicle-ku.

Benar, hari ini aku lembur sampai larut. Beberapa orang masih setia di kantor, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat dua menit.

Tapi aku mencium bau-bau tak enak di kantor. Karena yang tersisa, adalah karyawan-karyawan yang agak 'sengklek'.

"Din!"

"Oi?"

Mbak Dinda yang dipanggil, aku malah ikut menoleh pada seorang karyawan pria yang masuk dalam geng 'sengklek' alias otak kotor.

"Mau gak? Udah pada stress tuh anak-anak."

Mbak Dinda melirik apa yang dibawa pria itu. Satu krat minuman keras berjenis Beer. Wanita di depanku itu hanya tersenyum, kemudian mengambil dua buah kaleng minuman beralkohol itu.

"Anjir, itu Stout. Lu mabok entar Din!" pekik mas Agung, pria yang menawarkan Beer untuk mbak Dinda.

Kemudian mas Agung tak sengaja mendapatiku yang tengah memperhatikan mereka berdua.

"Mau gak, Nal? Diijinin kok sama pak Surya, dia gak ngelarang kalo emang pegawainya butuh. Asal kerjaan gak carut-marut."

Sebelah alisku terangkat, mbak Dinda kemudian tersenyum tipis. Wanita itu membuka kaleng bir pertamanya, terdengar bunyi reaksi alkohol dan buih dari dalam kaleng melawan udara luar.

"Kalo Kinal mah dikasih yang Light juga teler palingan ntar. Hahahah!" ujar mbak Dinda sebelum meneguk minuman kaleng hitam bertuliskan Guinness.

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang