97. Switch Mates

3K 434 28
                                    

"Kamu nggak mau mampir ke rumah Papi-mu dulu emangnya?" begitu tanya Mami saat aku pamitan pulang dengan Veranda.

Aku merenung sejenak saat masih memegang tangan Mami. Lalu Veranda menaikkan kedua alisnya, tanda sedang bertanya pendapat yang sama dengan Mami.

Sekarang Sabtu malam. Aku berharap pulang sekarang supaya besok pagi bisa beristirahat. Namun pertanyaan Mami barusan membuatku berpikir panjang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bertemu dengan Papi. Ayah kandung yang sekarang sudah tidak lagi bersama dengan ibuku.

Ya, mereka sudah berpisah sejak aku masih SMA. Tepatnya menjelang kelulusanku dulu. Jatuh mentalku kala itu terobati oleh keberadaan Citra yang selalu menemaniku. Dan itulah penyebab Mami mengetahui beberapa fakta tentangku yang selama ini kusembunyikan. Tentang ketertarikanku pada seseorang.

Namun Mami tak pernah menentangnya. Dia pun tak pernah protes atau membicarakannya secara terang-terangan. Yang ia ketahui hanyalah sebatas aku bersama dengan orang yang mana. Dulu dengan Citra, lalu kemudian sekarang Veranda.

Aku belum sampaikan hal ini pada Veranda. Tentang sejauh mana Mami mengetahui kedekatan kami.

"Kapan-kapan aja, Mi. Males mampir." putusku, sambil menatap Mami-ku usai melirik Veranda sebelumnya.

Mami tau, bahwa Papi sedikit tak menyetujui kelakuanku, tapi beliau tak pernah marah. Hanya saja, aku takut sikap Papi tidak ramah pada Veranda yang belum tau apa-apa mengenai keluargaku meskipun kami sudah bersama sejak lama. Aku hanya tak ingin ia merasa terbebani atau terpikirkan hal yang sudah-sudah.

"Loh, kok?" heran Veranda.

Mami dan aku kompak senyum dan berusaha membuat alasan-alasan tertentu agar bisa mencegah kepergian kami menuju rumah Papi sekarang.

"Kamu nggak kangen gitu emangnya?" tanya Veranda saat kami berjalan menuju mobil yang telah terparkir di depan pagar rumah.

"Kapan-kapan bisa ketemu. Gampang lah. Ini udah kemaleman. Nggak enak sama keluarga barunya."

"Ooh," Veranda cuma manggut-manggut.

Yang dia ketahui adalah sebatas bahwa Ayah dan Ibuku telah lama berpisah. Sisanya, tentang permasalahannya ia tak tau. Memang Veranda tak aku biarkan tau terlalu banyak mengenai hal rumit yang tak penting untuk kami itu.

"Mau nyetir?" tawarku.

Veranda melirikku, "Boleh."

Dengan senang hati, aku membiarkannya menyetir. Sedangkan aku akan memperhatikannya dari kursi samping kemudi.

Jarang ada kesempatan untuk lihat Veranda fokus nyetir yang ngalah-ngalahin pelajar fokus Ujian Nasional.

Biasanya, dia akan mengikat rambut panjangnya itu sebelum mulai menyalakan mobil. Melihatnya, buat aku tersenyum karena senang lihat pemandangan mengagumkan itu.

Tapi juga jadi ingat Mbak Dinda yang kebiasaannya persis Veranda ini. Bedanya, Mbak Dinda akan membersihkan lensa kacamatanya lebih dulu sebelum nyetir dan ia pakai untuk membantu penglihatannya.

"Itu suaminya Citra kayanya orang Arab ya?" tanya Veranda tiba-tiba saat ia sibuk nyetir.

Aku terperangah sebentar, "Eh? Iya kayanya. Alisnya keliatan tebel. Trus hidungnya juga offside gitu kan. Agak brewokan. Perawakannya ketara banget." jelasku kemudian.

"Eh, tapi kok agak beda ya. Lebih mirip India atau Pakistan gitu. Siapa sih kemarin namanya? Nama suaminya itu." ujar Veranda.

Berpikir sejenak aku untuk mengingat-ingat nama suaminya Citra kemarin. Orang Manado, seperti Veranda. Tapi, ada keturunan dari timur-tengah gitu sepertinya.

"Gak tau deh. Apa ya? Aku agak lupa. Kayanya, Gandhi-gandhi gitu namanya."

"Oh, iya! Gandhi Fernando!" pekik Veranda, mengingat nama lengkap suami Citra yang tinggi besar kemarin.

"Kayanya India deh. Namanya Gandhi, kan? Kayak nama Mahatma Gandhi itu loh. Yang aktivis dari India itu!"

Tebakan Veranda sepertinya betul. Karena aku langsung cek akun Instagram suami Citra. Ternyata seorang selebgram terkenal. Lumayan juga selera Citra. Di profilnya terdapat keterangan dirinya adalah seorang blasteran India-Manado.

"Sekampung tuh sama kamu. Manado."

"Oh ya?"

"Iya."

"Pantesan agak gak asing sama penamaannya. Fernando. Veranda. Hahah!"

Aku mencebikkan bibirku mendengar omong kosong Veranda yang buat aku sedikit malas. Ia menyama-nyamakan namanya dengan pria lain yang sudah jadi suami orang.

"Veranda. Fernando. Jodoh tuh kali." cibirku.

Lalu Veranda ketawa kecil, ia melirikku sambil senyum tipis.

"Iya. Terus Kinal jodoh sama Citra, gitu ya maunya kamu? Hm?!"

Telak. Bukannya mau cari kesempatan untuk bisa cemburu dan ambekin Veranda sebentar, malah dibikin 'checkmate' olehnya.

"Ah, nggak gitu. Udah gini aja udah cukup. Fernando jodohnya Citra. Gitu." ungkapku, pura-pura cemberut.

"Terus, kalo Veranda? Jodoh siapa?" tanya dia menggodaku.

Kujawab saja,

"Jodohnya Kang Adi."

"HEH!!!" dia menepuk lenganku kencang, sampai berbunyi.

Aku tertawa melihat reaksi kagetnya yang dilengkapi marah-marah lucu.

Langsung saja kupeluk ia dari samping sambil kucium pipinya dengan gemas.

"Jodohku~"


DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang