127. Thamrin

1.6K 220 30
                                    

Menunggu pesanan siap di McD Sarinah, aku diam saja di kursi samping pengemudi. Aku menurut saja saat dibawa BMW Mbak Dinda yang super keren ini, ke kawasan Thamrin.

Sejujurnya yang terlintas dalam benakku saat mendengar ajakan Mbak Dinda, aku memikirkan akan diajak ke apartemennya. Tapi kalau sampai Sarinah, seharusnya ini terlewat dari daerah tempat tinggal Mbak Dinda.

"Mbak, lu nggak lagi mau ngajak gue ke Pekojan kan?" tanyaku.

Mbak Dinda tertawa keras, "Lu udah gila ya, Nal? Emangnya gue keliatan kayak ikhwan bejenggot pakai gamis gitu? Apa nggak ukhti-ukhti syar'i?"

Kali ini malah aku yang dibuat tertawa sama Mbak Dinda.

"Nggak sekalian aja kita putar balik ke Condet? Hah?"

Kami berdua tertawa. Sebenarnya ini lelucon yang bisa dibilang rasis. Tapi Mbak Dinda tentu tau aku tidak bermaksud menjelekkan etnisnya. Pekojan dan Condet adalah salah satu dari sekian kampung Arab yang paling terkenal di Jakarta Raya ini. Biasanya memang isinya sekampung orang Arab semua.

"Gue kayaknya Arab produk gagal lagian, Nal. Numpang marga kental doang. Ibarat kata turunan Nabi, tapi kelakuannya kayak Dajjal."

"Hahahah! Nggak lah gila. Lu mah malaikat, semi dajjal tapi."

Rasanya sudah cukup lama tidak jalan sama Mbak Dinda. Benar, kami sama-sama sibuk. Tapi juga akibat perdebatan Mbak Dinda dan Mas Agung di toilet saat itu, aku merasa sedikit tidak nyaman terlalu dekat dengan Mbak Dinda. Bukan karena aku merasa geer, tapi aku takut ini merusak pertemanan kami.

Sebelumnya kami sangat asyik sebelum aku tau tentang perasaan Mbak Dinda.

Pertama kali aku masuk ke kantor sebagai fresh graduate, Mbak Dinda sangat cuek dan pendiam. Memang dia sering sekali mengeluarkan kata dan lelucon yang berbeda. Tapi itu sangat jarang, namun sangat lucu. Cubicle-ku tepat di hadapannya sejak awal.

Dengar-dengar, karyawan sebelumnya resign karena Mbak Dinda tidak cocok dengan pola kerja asistennya. Sampai aku yang terpilih untuk menempati posisi itu. Tapi itu pun setelah berbulan-bulan masuk tim kreatif dan beberapa kali ganti posisi kerja.

Satu divisi, kami sering lembur. Kesamaan kami adalah kopi. Aku sering membuat kopi hitam sachet di pantry, sementara Mbak Dinda order Americano di Starbucks.

Kedekatan kami dimulai saat ia sangat sibuk dengan pekerjaannya dan aku tiba-tiba saja berinisiatif untuk membuatkan kopi untuknya. Aku tau ia tak sempat pesan kopi saat itu saking sibuknya. Itu adalah hari dimana Mbak Dinda mulai mau untuk sering banyak mengobrol denganku.

Ternyata Mbak Dinda memang sangat tertutup. Tak ada yang tau identitas jelasnya. Ia bahkan tidak pernah curhat atau bercerita apapun tentang kehidupannya pada orang-orang di kantor. Yang ramai beritanya adalah Mbak Dinda tidak punya pacar, julukannya adalah jomblo sewindu. Kudengar julukan itu beredar pun karena Mbak Dinda sendiri yang mengakuinya saat ia tak sengaja membuat lelucon dan heboh satu kantor, membuat semua orang berusaha mengejarnya.

Tapi bila aku harus jujur, bertahun-tahun berteman dengannya pun tak sampai sepuluh persen hal tentang Mbak Dinda kuketahui betul-betul.

Lamunanku begitu banyak, mengingat semua permulaan hubungan pertemananku dengan Mbak Dinda. Sampai tak sadar bahwa hal yang sebenarnya sangat membuatku penasaran dan sedikit kuharapkan, terwujud.

Benar aku telah berada di basement parkir gedung Ascott Luxury. Ini gedung apartemen pribadi Mbak Dinda. Pertanyaan yang muncul di kepalaku sekarang adalah apa alasan Mbak Dinda membawaku kemari?

"Kinal, kenapa bengong?"

Kaca mobil diketuk-ketuk. Mbak Dinda melambaikan tangannya di arah jendela pintu mobil sebelah kiriku.

Aku langsung membuka pintu dan melihat Mbak Dinda sedikit kesulitan membawa bungkusan McD yang cukup banyak.

"Sini, Mbak."

Membawa kantong makanan masing-masing, aku mengikuti Mbak Dinda dari belakang. Ia menyapa resepsionis yang menundukkan kepala padanya.

Perasaan gugup menderu. Bukan masalah seberapa mewah gedung ini. Tapi ini tempat tinggal Mbak Dinda. Kedua kalinya aku ke sini. Dan kali ini aku sama sekali tidak menolak atau memperhitungkan apapun.

Suara dentingan lift juga mengganggu telingaku. Ini seharusnya sama saja dengan lift di apartemen atau di kantor. Berbeda hanya karena ada Mbak Dinda yang berdiri di depanku. Kutatap bahu sempitnya.

Dari penglihatanku, Mbak Dinda tampak kecil dan badannya kurus. Rambutnya panjang, diikat tidak beraturan, anak rambutnya berjatuhan menutupi sebagian bahunya yang terbuka. Bagaimana bisa seseorang yang sangat cuek akan penampilannya bisa tetap terlihat cantik?

Selanjutnya, suara kartu akses dan pintu ruangan yang terbuka terdengar. Aku tegang saat Mbak Dinda membalikkan badannya dan tersenyum lembut. Ia mengerutkan dahinya.

"Kenapa? Kok tegang banget?"

Aku terkejut, nyaris menjatuhkan bungkusan McD di kedua tanganku.

"Nggak, nggak papa."

Mbak Dinda tertawa kecil.

Otakku tak bisa mencerna situasi dengan baik. Bahkan tubuhku buntu, tak ada pergerakan masif.

Aku tau, Mbak Dinda adalah teman baikku. Bahkan aku berani meng-klaim dia sebagai sahabatku, meski secara sepihak mungkin aku inginnya begitu.

Tapi kenyataan bahwa Mbak Dinda punya perasaan yang sama seperti rasa yang Veranda punya padaku, membuatku sulit tenang. Terkadang sebagai manusia yang punya pikiran brengsek, aku selalu membanggakan diriku sendiri. Ada pemikiran buruk, jika saja tak ada Veranda, maka Mbak Dinda adalah kandidat utama yang aku pilih sebagai pasanganku. Yea, tentu saja itu hanya pikiran buruk saja.

Aku hanya merasa semesta sedang mengerjaiku. Melihat Mbak Dinda tersenyum manis di depanku. Aku terbungkam.

"Tenang aja. Gue nggak ngajak nginep kok. Sebentar doang.." tuturnya, sebelum menarikku masuk ke dalam.

Cklek!

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang