87. The Door

3.2K 432 39
                                    

Pagi hari, waktu sarapan. Aku, Veranda, dan Kyla berkumpul di meja makan. Kami menyantap bubur ayam yang tadi pagi kubeli di pedagang kaki lima dekat trotoar luar gedung apartemen.

Katanya, hari ini adalah hari terakhir try out-nya Kyla. Dia bilang, nanti sore tak perlu dijemput karena ada acara bersama teman-temannya lebih dulu.

"Emang beneran gak papa kalau nggak dijemput?" tanyaku, berusaha meyakinkannya.

Aku tidak tega kalau harus membuatnya pulang sendirian, atau bersama teman-temannya. Takut kalau terjadi hal yang tidak diinginkan nantinya.

Untuk gadis seusianya, akan berbahaya jika pulang tak dijemput. Walau dia badung, ia tetap saja hanya anak gadis usia belasan yang rawan dijadikan sasaran empuk orang-orang jahat di luaran.

Jangankan Kyla, Veranda yang sudah dewasa saja masih sering aku khawatirkan kalau pulang malam sendirian.

"Nggak papa, Kak. Lagian kan perginya sama temen-temen. Nanti baliknya juga ramean kok, naik grab. Dianterin satu-satu ke tempat masing-masing." jelas Kyla, lalu menyendokkan sesuap bubur ke dalam mulutnya.

"Mau pulang jam berapa memangnya, Kyl?" kali ini Veranda yang bertanya.

Kyla menggeleng, "Belum tau. Soalnya kan nanti juga di rumah temen. Katanya acara syukuran ulang tahunnya, sekalian syukuran bebas dari try out pertama."

"Nggak sampe jam sembilan malam tapi kan?" tanya Veranda, khawatir. Mirip ibu yang mencemaskan anaknya, aku tersenyum tipis melihatnya.

"Ah, ya nggak lah Kak. Palingan juga sebelum Isya' udah pulang. Paling telat jam delapan deh."

"Bener?"

Kyla mengangguk sambil tersenyum manis. Lesung pipinya tampak di wajahnya. Ternyata anak ini cuma mau berlaku manis pada Veranda. Padaku? Jangan tanya. Tiap hari ngajak berantem terus!

Kami berangkat bersama, bertiga, naik mobil. Aku dan Veranda di depan, Kyla di kursi penumpang. Dia sibuk membaca-baca bukunya. Aku terkikik melihatnya serius, jadi teringat dulu semasa SMP, aku juga bisa dibilang murid yang cukup rajin.

Pertama, aku mengantar Veranda lebih dulu. Karena kami sampai di kantor Veranda, Kyla justru paling belakang, sekolahnya lumayan paling jauh dari antara tujuan kami bertiga. Sedangkan aku di tengah.

Kebiasaanku saat melepas Veranda pergi adalah mencium keningnya setelah sebelumnya ia mencium pipiku.

Kudengar Kyla berdecak di belakang, kemudian menepukkan buku pelajarannya ke wajahnya sendiri. Aku tertawa melihat reaksinya atas tindakanku dengan Veranda.

"Kesel parah." cibirnya.

Veranda cuma senyum-senyum tipis, melambaikan tangannya usai keluar dari dalam mobil.

"Untung hari terakhir begini. Huh!"

"HAHAHAHA!"

Setelahnya, aku mengantar Kyla ke sekolahnya. Tidak lupa aku juga meminjamkan akses apartemenku padanya. Untukku sendiri nanti gampang, bisa pakai punya Veranda.

Pekerjaanku hari ini cukup padat. Dikarenakan Mbak Dinda yang lagi-lagi diajak ke luar kota bersama bos kami. Jadi, beberapa pekerjaannya diserahkan padaku. Tentu saja aku menerima upah tambahan dari bos. Lumayan, untuk aku menabung.

Mengingat Kyla tak mau dijemput hari ini, aku langsung bergegas ke kantor Veranda. Mengajaknya untuk pulang bersama. Kulihat wajahnya lemas karena lelah seharian beraktivitas di kantornya.

"Nanti, abis mandi, makan, langsung istirahat aja." saranku, sebelum turun dari mobil.

Kubawakan tas kerja Veranda. Kami masuk ke gedung apartemen sambil bergandeng tangan. Semasa di dalam lift, ia hanya menggumam lelah beberapa kali sambil menyandarkan kepalanya pada bahuku.

"Capek banget ini." ujarnya, mendudukkan pantatnya ke ujung tempat tidur kami.

Aku tersenyum tipis padanya, mulai melepas satu persatu kain yang menempel di tubuhku.

"Mandi aja yuk?" ajakku.

Ia melirikku sambil tersenyum penuh arti. Aku sedikit tak paham dengan maksud ekspresi wajahnya hingga kunaikkan sebelah alisku.

"Ayo!" sahutnya, menyetujui ajakanku.

Kemudian kami mandi bersama. Di bawah shower air hangat yang merileksasi tubuh lelah kami berdua. Kurasakan ia memeluk tubuhku dari belakang, kemudian mengecup bahu basahku.

Aku menggeleng pelan karena sikap manjanya. Veranda akan selalu begini tiap kali ia merasa sangat lelah. Kubalikkan tubuhku, kemudian kudekap ia erat-erat. Bisa kulihat wajahnya memerah, tersenyum malu.

Kami selesai mandi, dan sama-sama mengenakan bath rope masing-masing. Ia menarikku ke depan cermin, memintaku untuk mengeringkan rambutnya yang basah setelah tadi keramas dengan hair dryer.

Lagi-lagi, manja. Aku butuh waktu hampir sepuluh menit untuk membuat rambutnya sedikit lebih kering.

Selesai, aku memandangi wajah lelahnya di cermin. Senyumnya lembut, ekspresi lelah dan kantung matanya melengkapi. Ia menarik kedua lenganku untuk memeluk kepalanya dari belakang.

Ia berbisik pelan sembari mengecupi jemariku, "I love you."

Jantungku berdebar-debar. Veranda berdiri, memelukku erat. Menghendus pelan bagian leherku. Entah rasanya geli atau apa, tapi aku menyukainya. Veranda membuat mendekati tempat tidur.

Saat aku mulai melepas bagian bahu bath rope-nya, ia langsung menarik wajahku dan menyambar bibirku.

Aku terlena, ia semakin rakus. Dan aku tak mau kalah. Nyaris aku hempaskan ia ke tempat tidur kalau saja tidak kudengar suara pekikan gadis muda.

"ASTAGHFIRULLAH! TUTUP PINTUNYA BISA GAK SIH? MATA AIIIINGGGG!!!!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang