23. Vacation III

3.6K 435 24
                                    

Meski identik dengan hawa dingin yang menggigit, lokasi liburanku bersama Veranda kali ini benar-benar memanjakan penglihatan kami.

Dataran tinggi dengan jalanan yang terus menanjak. Kebun teh yang menghampar di kanan mau pun kiri jalan. Hijau dan asri, menyenangkan untuk dilihat. Tidak seperti keramaian kota yang biasa kami lihat.

Sampai di tempat reservasi, aku mendapati diri Veranda yang terlihat gemetaran memeluki dirinya sendiri. Ingin sekali mengatainya bodoh karena telah nekat memilih tempat semacam ini untuk dijadikan tujuan liburan. Padahal, dia itu mudah sekali kedinginan. Namun sungguh sayang, mana mungkin mengatainya demikian sementara aku begitu menyayanginya?

"Coba deh, kamu ngomong?" ujarku pelan sambil memandanginya dengan tatapan hangat.

Dia masih gemetar, sedikit mengangkat wajahnya dan membalas tatapanku dengan ekspresi meringis kedinginan.

"Ngomong apaan?"

Kutahan tawa geliku saat melihatnya bicara. Dia benar-benar kedinginan sepertinya. Kedua pipinya kemerahan. Dan yang membuatku tak kuasa lagi menahan diri adalah saat dia bicara, terdapat uap yang keluar dari mulutnya.

"Hahahahahah!"

"Kenapa ketawa? Nggak ada yang lucu!" gerutunya, mencebikkan bibir kemudian.

"Abis kayak lagi nonton drama korea. Kayak lagi liat Geum Jandi ngomong gitu. Hahahah!"

"Kan, mulai deh freak-nya. Malesin banget!" ungkapnya sebal dan melempar pandangannya ke arah lain.

Kemudian kami berdua berjalan kaki beriringan untuk menuju tempat kami menginap selama liburan. Tidak begitu jauh dan suasananya menyenangkan.

Banyak juga wisatawan lokal mau pun mancanegara yang tampak berseliweran di sekitar kami.

Sementara kupandangi dia yang berjalan beberapa langkah di depanku, aku sedikit menepi saat tak sengaja menemukan sebuah pusat keramaian di antara banyak wisatawan.

Tak lama kemudian, ia yang sudah jauh di ujung dan nyaris sampai di depan tempat reservasi. Aku mempercepat langkahku meski tak berhasil mengejarnya. Veranda sampai di depan pintu dan mendapati aku tergopoh mendekatinya.

"Ngapain aja sih?! Lama banget!" omelnya dengan kedua alis yang menaut.

Aku diam meliriknya yang mungkin sedang emosi karena merasa tak nyaman dengan suhu dan hawa dingin di sekitar kami.

"Nih, tadi beliin ini. Makanya lama..." ujarku sabar, menyodorkan secangkir kopi hangat padanya.

Veranda menghembuskan nafasnya kesal, lagi-lagi menampakkan uap dari sana. Aku nyaris terkikik kalau saja tidak dengan tiba-tiba, sepasang tangan merebut kopi dari tanganku dan dihempas begitu kencang ke arah tanah.

PRAAKK!!

Aku langsung mendelik tak percaya melihat dan menyadari baru saja Veranda melempar kopi yang aku bawa untuknya begitu kasar dengan nafsu amarahnya.

"Loh kok? Kamu kenapa sih?!" heranku padanya yang terlihat seakan tersulut emosi.

Dia tak menjawab, malah menatapku kesal dan menghentakkan kakinya meninggalkan aku yang masih berdiri di luar teras bangunan.

"Kenap-"

Belum aku selesai bergumam, aku dikejutkan lagi saat tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berlari ke arahku begitu cepat.

"Kamu tuh nyebelin banget yah?!"

Dahiku mengkerut heran. Apalagi yang terjadi padanya?

Aku merasa tak melakukan kesalahan apa pun padanya dalam beberapa waktu ini dan dia sudah berubah sikap entah itu berapa kali.

"Nggak peka, nggak bisa ngerti!" marahnya lagi.

Ia marah seperti ini dalam kondisi memelukku sangat erat. Bukannya takut, tapi aku teramat ragu untuk lekas membalas pelukannya. Rasanya ini akan menjadi masalah jika aku tiba-tiba saja bertindak sebelum dia menjelaskan padaku sebenarnya apa yang dia inginkan.

"Dinginnya aku tuh nggak perlu kopi, semu banget kalau kopi doang tau! Masa kamu nggak sadar juga sih? Nggak bisa ngerti kalau bukan itu yang aku butuhin pas lagi kedinginan?!"

Hatiku bergetar, aku mulai mengerti kemana arahnya bicara kali ini. Senyum tipisku terukir, dan kedua tanganku mulai bergerak menyusuri pinggangnya.

"Iya, maaf ya? Sekarang ngerti kok kamu maunya apa, perlunya apa. Heheh..."

"Jangan bikin aku marah dulu sebelum kamu ngerti keinginan aku, bisa kan?" ujarnya pelan, menerima pelukan hangatku.

Aku tersenyum lembut, menggerakkan tanganku di sekitar rambutnya yang halus. Mencoba untuk mempertahankan kehangatan di antara kami berdua.

Aku menyukainya, menyukai sikapnya yang seperti ini. Meski pun terkadang, dia sangat sulit untuk kumengerti. Namun tentu saja, aku akan belajar menjadi seperti apa yang dia inginkan.

"Iya, aku belajar untuk itu. Maaf ya?"

Alasannya sederhana,

Aku menyayanginya...

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang