90. Invitation

2.6K 415 51
                                    

"Minggu depan long weekend, ada acara Mbak?" tanyaku pada Mbak Dinda selagi kami cemilin Churros unik yang memakai saus stroberi, bukan seperti biasanya yaitu saus cokelat.

Mbak Dinda mendecih ringan usai melahap sebatang kecil Churros-nya. Ia mengelap sudut bibirnya yang ditempeli sedikit remah-remah makanan ringan asal negeri Spanyol ini.

"Lu nanya gitu gak bakalan ngajakin gue jalan juga kan?" ujar Mbak Dinda seraya bertanya dengan nada yang sedikit menyindir.

Aku jelas tertawa karenanya. Tebakannya benar, tapi tidak sepenuhnya karena andai aku tidak pacaran dengan Veranda, aku tau pasti siapa yang ingin aku ajak berlibur selama long weekend itu nanti. Tentu saja Mbak Dinda sebagai pilihan utamanya.

"Kalau gue ajak jalan beneran, gimana? Suuzonan mulu lu mah Mbak." balasku, coba-coba ngeles.

"Halah, basi kali, Nal. Ntar juga lu palingan short honeymoon gitu sama Veranda. Nggak usah sok-sok ngasih harapan." Mbak Dinda ngoceh, lalu dengan iseng mencolekkan saus stroberi ke ujung hidungku.

Aku terkejut sampai wajahku mundur ke belakang. Membuat Mbak Dinda tertawa puas.

Senang bisa lihat dia tertawa meski pun kadang juga kepikiran bahwa selama ini Mbak Dinda selalu sendiri. Bukan dalam artian dia tidak punya banyak teman, tapi teman hidup sesungguhnya.

Sedikit lama memandangi Mbak Dinda yang sedang senyum lebar, aku tak sengaja melirik ke arah Nink yang melewati kami. Sontak aku memanggilnya.

"Ningsih! Sini dulu! Come here!" panggilku sambil mengayunkan telapak tanganku padanya.

Nink menunjuk dirinya sendiri sambil pasang ekspresi bingung. Ia menoleh kanan-kiri lagi, lalu baru paham bahwa aku memang memanggilnya untuk mendekat.

"Sini-sini! Deketan sini!" suruhku pada Nink untuk mendekat ke meja kami.

"Kenapa?" tanya Nink singkat, cuma sepatah kata tanya. Tapi ilfeel-nya cukup berasa dengar suaranya itu.

"Minggu depan ada acara nggak? Do you have any plan? For next long weekend?"

Sepertinya dia cukup lama untuk menyerap dan mengartikan pertanyaanku, tapi kata Mbak Dinda, Nink sebenarnya sudah cukup mengerti bahasa Indonesia. Hanya pengucapannya saja masih sering terbata-bata waktu ia bicara.

"Oh. Ng-gak. Nggak ada, Kinal." kata Nink.

Aku dan Mbak Dinda tertawa. Gemas karena cara bicara Nink yang seperti anak kecil baru belajar bicara.

"Temenin Mbak Dinda yah? Kasihan dia jomblo. Mau long weekend tapi gak tau mau ngapain, sama siapa. Hahaha!"

Sendok pengaduk Cappuccino punya Mbak Dinda mendarat keras di atas kepalaku.

Cttakk!!

Kira-kira begitu lah bunyinya. Membuatku mengerang kesakitan. Dan Nink cuma memperhatikan dengan ekspresi bingung sambil nahan ketawa.

"Gak usah broadcast juga lah anying!" omel Mbak Dinda, usai mengetuk kepalaku dengan sendok kecil di tangannya.

"Hahaha! Biar lu seneng lah, Mbak. Gimana sih?"

Hari sabtuku menyenangkan meski pun harus masuk kantor karena mendadak ada pemeriksaan tim redaksi secara berkala selama tiga bulan sekali di kantor senin nanti. Makanya hari ini semua orang sibuk lembur.

Jam pulang tetap normal, aku bergegas pulang saat matahari nyaris tenggelam di ufuk barat dengan kondisi kota Jakarta yang selalu macet.

Sebelum pulang, aku ingat Veranda pesan supaya aku membelikannya beberapa makanan McD. Termasuk es krim kesukaannya McFlurry. Jadi, aku punya waktu sejenak menepikan motorku untuk membeli beberapa pesanan Veranda, juga bisa lepas dari ramainya jalanan.

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang