31. All of Me

3.8K 421 28
                                    

Ngabuburit, menjauhi hal-hal bersifat jelek dengan kegiatan positif yang tidak terlalu membuang banyak tenaga.

Kali ini, tidak hanya berdua dengan Veranda. Tapi bersama teman-temannya juga. Dan mungkin, yang kali ini tidak akan secanggung yang kemarin-kemarin karena teman main kami hampir semua laki-laki.

Oh ya, aku juga mengajak salah satu teman kantorku yang paling 'selow' sepanjang masa. Mbak Dinda. Aku sengaja mengajaknya, supaya kalau Veranda sedang 'asik' dengan teman-temannya, maka aku tidak begitu bosan dan bingung harus apa -istilahnya biar nggak tengsin dan ada temennya.

Acara kami tidak banyak. Hanya bermain monopoli. Tidak seperti biasanya, kami bermain dengan jumlah pemain enam orang.

Dan peraturan lainnya, di tengah permainan, kami semua akan menjadi dua tim. Jadi tiap tim, akan berisi sebanyak tiga orang.

"Veranda on my own of course!" celetuk bang Arial yang menang suit dan bebas memilih anggotanya lebih dulu.

'On my own palalo!' batinku sewot.

Timnya dibagi dua, karena yang memonopoli board nya hanya dua orang. Sementara yang lain, hanya mampu mempunyai masing-masing satu aset murah. Di antaranya adalah aku, Veranda, kak Ian, dan Ello. Sementara yang memonopoli adalah mbak Dinda dan bang Arial.

Jadi, nantinya mbak Dinda dan bang Arial akan memimpin para poor player seperti aku, Veranda, kak Ian dan Ello dalam permainan ini.

"Yah, kok kamu poor player sih. Apa coba, cemen!" ledek Veranda, mencubit lenganku gemas.

"Ya gimana, kan nemenin kamu juga. Kan katanya kalau menang harus bareng, kalah juga bareng. Hahahah!" balasku meledek.

Kebetulan, aku setim dengan mbak Dinda dan kak Ian. Aku yakin tim kami menang karena dari tadi nasib mbak Dinda selalu beruntung. Veranda dan Ello selalu terjebak di aset milik mbak Dinda.

"Mampus lu pada!" gumamnya sambil menyeringai tenang.

Aku tertawa kencang melihatnya yang dari tadi bermain santai, tapi selalu menang. Padahal, aku sendiri berada di posisi yang sangat amat genting. Sisa uangku, hanya selembar dua puluh ribu dollar.

"Yah, uangnya abis..." keluh Veranda saat asetnya benar-benar habis dan uangnya pun karena harus membayar tebusan pada mbak Dinda.

Saat itu juga, aku langsung menyodorkan sisa uang yang kupegang padanya tanpa ada rasa ragu mau pun pikir panjang.

"Nih!" celetukku.

Dia tersenyum kecil, hendak mengambil uang yang kusodorkan.

"Tenang-tenang. Bang Arial punya segalanya buat Veranda. Santai aja~"

Tiba-tiba saja Veranda melirik Arial yang menebar uangnya yang berjumlah cukup banyak. Dia menyerahkan selembar uang monopoli bernominal lima puluh ribu dollar. Salah satu, dari banyak yang ada dalam genggamannya.

"Eh, asiiikk!"

Veranda tampak senang. Semangatnya dalam bermain kembali muncul. Aku pun tersenyum, kembali menggenggam sisa uangku yang hanya selembar dua puluh ribuan.

Keadaan berbanding terbalik. Veranda yang hanya bermodal sedikit, tiba-tiba saja mampu menggulingkan semua pemain. Dia memenangkan permainan dengan rasa bahagia.

Aku tertawa senang meski pun yang kalah, diberi hukuman untuk memesan makanan di food court sekaligus mentraktir.

Yang kalah dengan score terkecil, aku dan mbak Dinda. Kami berdua berjalan berkeliling untuk memesankan sekaligus membelikan apa yang teman-teman kami ingin makan tadi.

"Apes banget. Padahal yang lagi puasa. Malah kalah. Kesel banget..." omel mbak Dinda di sampingku.

"Dih, tumben nggak cool. Biasanya paling santai kalo urusan joinan makan gini. Kenapa deh?" tanyaku.

"Ya elu bego lagian. Sok-sokan. Sok-sok sweet gitu, sama Pee doang ini!"

"Hah, maksudnya?" heranku.

"Yah udah tau itu lembar terakhir. Duit terakhir lu. Cuman itu yang lu pegang. Terus lu dengan bego, ngasih semua yang lu punya buat dia, buat Veranda. Yang jelas-jelas nerima lebih banyak dari si Arial yang punya banyak duit dari pada lu. Dia tim lawan pula. Giliran kak Ian kere, lu diem aje. Lu oon kok dipiara sik?!"

Aku terdiam cukup lama. Benar juga. Mendengar ucapan mbak Dinda membuatku terbawa perasaan.

Yang kupunya, hanya itu...

Dan tanpa ragu, aku memberikannya pada Veranda. Tanpa pikir panjang...

Padahal itu satu-satunya yang kupunya, yang tersisa...

Sementara dia...

"Nggak usah lama deh, Nal. Intinya nih, lu relain semua hal yang lu punya buat dia. Meski pun lu tau, dia milih menerima sedikit dari banyak hal yang orang lain punya..."

"Mbak,"

"Ye?"

"Sejak kapan lu sok puitis gini?"

Mbak Dinda tertawa geli kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku pun ikut menertawakan keanehannya itu.

"Anomali yak, gembel. Hahahah!" tawanya renyah.

"Fix. Woman on top lagi garing!"

"HAHAHAHAHAH! MONYEEETTT!!!"

Tak lama kemudian, aku melihat Veranda mengirim sebuah foto padaku melalui aplikasi chat.

Fotonya yang sedang menggenggam selembar uang monopoli bernominal dua puluh ribuan.

"Aku jelas milih ini. Semua yang kamu punya, dan kamu berikan buat aku tanpa berpikir dua kali. Heheh... :)"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang