120. Awareness

1.9K 282 64
                                    

Ini bukan akhir pekan, tapi aku sedang duduk santai di kolam renang gedung apartemen saat menjelang sore. Flu menyerangku, dan ini sedikit parah karena aku bersin-bersin dengan intensitas tinggi. Hidungku bahkan memerah padam, mirip orang yang habis dipukuli.

"Kak, jangan sia-siain waktu bolos lu deh."

Aku menoleh saat ada Kyla yang membawa ponselnya dalam mode landscape. Pasti sedang main game. Ia lalu ikut menceburkan kakinya ke dalam kolam.

"Kenapa sih lu?"

Ia memutar bola matanya, "Lagi pilek malah main aer, kan ogeb?"

Aku terkikik geli. Ia bicara seringan ini padaku seakan-akan sedang mengobrol dengan rekan sebayanya.

"Jangan bacot deh lu. Kakak lu mana?"

Kyla berdecih, "Kak Syifa sibuk, lagi koas."

"HAH? KAKAK LU FK?"

"Iya. Kalau gue AFK. Gara-gara elu!" omel Kyla, kemudian menggerutu saat ia melihat game di ponselnya berantakan.

Aku ingin tertawa tapi tertahan karena perutku sakit. Seperti menahan nyeri akibat lelah bersin-bersin tiada henti.

Musim hujan kali ini benar-benar menyiksa. Tiap hari mengendarai motor dan hampir selalu kehujanan.  Sementara Veranda yang membawa mobil guna keperluan pekerjaannya. Kami jarang berangkat kerja bersama akhir-akhir ini karena kesibukan pekerjaan masing-masing. Berujung aku yang terkena flu.

"Eh, berarti kakak lu bisa periksain gue dong, La?"

Kyla merengut lucu banget, "Ish, apaan sih Kak Kinal! Manggilnya kok, La? Aneh banget sumpah!"

Aku terkekeh melihat reaksi wajah Kyla yang tampak meringis tak suka. Membuatku semakin gemas hingga sampai hati kucubiti pipinya.

"Ish! Kak Kinal! Gue kalah nih!"

Sepertinya dia tidak terima, kemudian menggeram, meletakkan ponselnya di samping. Tangannya terangkat lalu ikut membalasku. Kami saling menggelitiki semi bergulat di pinggir kolam renang. Hingga...

BYURR!!!

Basah semua.

"Ck!"

Sebuah hela napas terdengar setelah sosok itu berdecak. Ia berkacak pinggang, kemudian menarik lengannya menyilang di depan dada.

Itu Veranda yang sedang merengut padaku di atas sana.

"Kak Kinal yang usil, Kak! Marahin aja dia tuh, Kak Ve!" teriak Kyla, kemudian bergegas naik dari kolam renang.

Ekspresi wajah Veranda sulit diartikan. Antara marah, gemas, kesal, sedih, tidak percaya dan khawatir. Ia menghela napasnya sekali lagi sebelum memejamkan matanya, berjalan ke arahku yang baru saja menepi ke pinggir kolam.

Tangannya terulur, ia membantuku menaiki pinggir kolam. Lagi-lagi ia berdecak saat tangan kami saling genggam. Aku tau dia bisa merasakan tanganku dingin gemetaran.

Sambil kuusap wajahku yang basah akibat air, Veranda menarikku dari arah kolam renang menuju lobby hingga masuk lift. Tangannya menggenggamku erat-erat. Ia tak mau melihat wajahku, tapi bisa kurasakan dadanya naik-turun menahan emosi. Mungkin dia marah.

Rasa takut membumbui pikiranku. Tapi Veranda masih tidak bicara saat kami masuk ke apartemen. Sama sekali ia tak menatapku, hanya memberi sinyal untuk tetap diam di dekat pintu.

Aku takut Veranda marah. Perasaanku campur aduk. Beberapa hal yang tak bisa dijelaskan mulai bermunculan dalam benakku. Veranda sedikit sensitif akhir-akhir ini. Aku tau itu semua tentunya beralasan. Semua perkataan Mas Agung terngiang-ngiang.

Dari dalam kamar, Veranda membawa handuk. Tangannya terulur ke arah belakangku untuk menutup pintu.

Saat itu juga sorot matanya bertabrakan dengan mataku. Dan aku melihat kedua matanya berkaca-kaca untuk pertama kali. Ia berdiri tepat di depanku sambil mengusap-usap rambutku yang basah.

Aku melihat kecemasan dan kekhawatiran itu tampak jelas di wajahnya. Jarak wajah kami tidak begitu jauh. Perbedaan tinggi juga sedikit samar, mungkin hanya sekitar dua sampai tiga sentimeter.

"Bisa nggak sih, kamu nggak bikin aku khawatir sehari aja?"

Ucapannya terdengar serak, ia menahan tangis.

"Besok kalau udah sembuh, aku antar kamu ke kantor. Aku yang setir. Pulangnya, kalau kamu buru-buru dan gak bisa nunggu aku, biar aku pesenin Grab car." Veranda menjeda perkataannya saat ia selesai dengan rambutku.

"Bilang sama aku, kalau kamu butuh sesuatu. Jangan main tentuin semuanya sendiri. Jangan biarin aku kayak jadi pacar yang nggak punya rasa perhatian sama sekali. We're in relationship and it takes two. You care about me, also me to you too." lanjutnya, lalu menghembuskan napasnya sebelum ia berjalan lagi ke dalam.

Sepertinya Veranda sedang mengambil pakaian baru ke kamar. Aku mengeringkan kakiku pada keset yang terletak di depan kakiku. Kemudian berjalan ke arah dalam, Veranda tiba-tiba menghentikan langkahku. Ia membawa sepotong kaos dan track pants yang biasa kugunakan untuk tidur. Piyamaku basah kuyup, aku harus ganti pakaian sebelum flu ini ketambahan demam.

"Pakai sendiri, aku buatin cokelat hangat dulu."

Aku mengangguk.

Veranda memang sangat perhatian. Aku tau itu sejak kami pertama kali kenal. Walau saat itu masih berteman, Veranda kerap kali memberikan perhatian kecil. Mungkin sebab itu juga aku terbawa perasaan dan jatuh cinta padanya sejak awal.

Namun kali ini aku melihat sorot wajahnya lebih emosional dari pada biasanya. Aku bahkan cukup ingat ia seperti sedang menahan tangis saat menatapku tadi.

"Hari ini kamu kenapa nggak ngabarin aku sama sekali?" tanyanya sembari menyeduh air dan menyiapkan bubuk cokelat di pantry.

Aku menatap punggungnya kemudian baru ingat kalau aku sama sekali tak memberinya kabar dan hanya sebatas mengucapkan semangat kerja pagi tadi saat ia berangkat.

"Aku khawatir sama kamu. Makanya aku pulang cepet, mau tau kamu kenapa aja."

"Hehe, santai aja kali, Ve. Aku pikir kamu sibuk, kerjaan kamu lagi banyak. Kamu ke lapangan buat keperluan kantor. Makanya aku sengaja nggak ngehubungin kamu, trus-"

Brakk!!

Itu suara cangkir yang dihempaskan di atas meja makan kayu apartemen kami.

Kedua mataku membulat terkejut. Veranda berkaca-kaca kemudian menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku tau ia menahan tangis, tapi aku terlalu terkejut untuk mencerna semuanya dengan baik.

"Memangnya kenapa kalau aku sibuk kerja? Apa kamu pikir aku nggak bisa ngeluangin sedikit waktuku buat nanya dan ingin tau kabar kamu? Apa kamu pikir aku sama sekali nggak mikirin kamu sementara aku kerja, gitu? Aku tau betul kamu itu sakit, nggak mungkin aku diem aja dan sibuk sama kerjaanku sendiri! Aku pasti mikirin kamu terus, kamu bisa ngerti itu nggak sih?"

Ia meledak-ledak. Entah sebesar apa kekhawatirannya hingga semarah ini. Atau memang aku keterlaluan telah mengabaikannya meski aku harusnya tau bahwa dia akan khawatir.

"Kinal, aku tau kita tinggal bareng dan kita punya banyak waktu sama-sama. Tapi itu bukan berarti aku berhenti mikirin kamu selagi kita gak sama-sama. Tolong, jangan anggap aku sesuatu yang nggak sanggup jagain kamu dengan baik. Jangan pernah mikir kalau aku akan ngabaikan kamu dan milih fokus sama kesibukanku sendiri. Enggak, Nal. Aku cinta sama kamu, ngerti?!"

****

me as Kinal : ya maap dong, jangan marah-marah. love you too sumpah, parah!

how about you?

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang