21. Vacation I

4K 409 12
                                    

"Jadi, kita bakalan kemana nih weekend kali ini?"

Veranda, dengan gaya genitnya, berdiri di ambang pintu. Senyumnya lancang mencuri perhatianku yang sejak tadi sibuk dengan game console di kedua tanganku.

"Kamu udah janji sama aku kan kemarin mau ngajak aku pergi kalau kerjaannya udah selesai?"

Lantas aku hanya mampu menelan ludahku sendiri ketika melihat gairahnya untuk pergi saat liburan weekend ini begitu besar.

"Kinal, kamu nggak lupa sama janji kamu kan?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya.

Oke, Veranda mampu menarik perhatianku sepenuhnya. Apa saja yang keluar dari bibirnya, jelas akan aku laksanakan dengan segera. Tapi kalau mengingat soal janji yang satu ini, rasanya sangat resah karena jujur aku benar-benar tak ada keinginan untuk meninggalkan tempat tidur saat ini.

"Aku, udah cantik dan siap banget buat kamu ajak jalan-jalan loh hari ini. Kinal?"

Lagi...

Ya Tuhan,

Lihat saat bibir tipisnya yang bergerak lincah untuk mengeluarkan kata-kata sindiran halus.

Dan soal dia sudah berdandan, itu memang benar adanya. Kami memang telah selesai mandi pagi-pagi. Harapanku, setelah mandi dan sarapan pagi kami bisa berduaan dan bergelung dalam satu selimut hanya untuk mengobrol ringan, tidur, atau hal-hal lainnya.

"Nal?" panggilnya, memecah belah lamunan panjangku.

Kupandangi lagi sosok Veranda yang saat ini menunjukkan tampang tidak bersahabat. Sepertinya ia kesal dan menebakku yang masih pikir-pikir untuk jalan-jalan keluar.

"Iya sih, aku janji buat ajak kamu pergi. Tapi enaknya kemana ya?" ujarku sambil bertanya, dan mencoba mengulur waktu tentunya.

Siapa tau Veranda berubah pikiran dan memilih untuk bersantai di apartemen saja dibandingkan pergi keluar di jam seperti ini.

"Aku pengen ke puncak. Terus reserve villa disana..."

Mataku nyaris melotot mendengar kalimat yang terlontar begitu santai dari mulut Veranda.

"Uhm, gimana yah. Kamu tau kan kalo weekend itu bukan waktu yang tepat buat kesana? Pertama, macetnya, terus pasti bakalan pada keburu penuh sih buat reserve. Lagian kita nggak punya banyak waktu kan? Libur cuma sampe hari minggu, kalau sore nggak buru-buru pulang bisa capek seninnya..." tuturku panjang lebar.

Kutarik nafas pelan ketika melihat reaksinya yang sebal-sebal sedih. Yang seperti ini memang sangat bisa membuatku seolah dijatuhi dosa sebesar gunung.

"Lagi pula, aku males macet-macetan. Males supirnya ngomel-ngomel, dan pasti juga gak ada yang mau ambil order kalo sampe puncak mah. Nggak leluasa sama sekali. Juga nggak mungkin naik motor kan kitanya..."

Aku sama sekali tak mengerti mengapa tiba-tiba Veranda tersenyum lebar dan sesekali menunjukkan tampang tengilnya.

"Kalo soal itu, santai aja. Nih..."

Kedua alisku terangkat heran, melihat Veranda memainkan sebuah benda kecil di tangan kirinya dan jelas sekali itu adalah sebuah kunci mobil. Sementara tangan kanannya berkacak di pinggangnya yang ramping.

Masih dengan tampang tak percayaku, aku memandangi Veranda yang telah mempersiapkan barang bawaan kami. Lalu ia mengambil setelan pakaian yang jelas saja untukku.

Dengan gaya centil, ia meletakkan pakaianku di samping tempatku berselonjor kaki.

"Aku udah siapin semuanya loh ya. Kamu, nggak boleh sampe ada alasan lagi..."

Nafasku tercekat saat dia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik demikian.

Wangi parfumnya, hawa rambutnya yang dingin, serta sentuhan jemari lembutnya yang bergerak di sekitar wajahku, nyaris menjadi alasan aku mati mendadak pagi ini.

Dan saat aku hendak berkata, telunjuknya tiba-tiba saja mendarat di bibirku.

"Ssshht!!"

"No rejection!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang