116. This Isn't a Game

1.7K 298 15
                                    

"Dear my future partner. Better to don't take my heart if you still think to marry a man."

Kedua mata Veranda membulat saat ia membacakan sesuatu dari ponselku yang sedang ia pegang. Aku tak begitu mendengar jelas apa yang ia bacakan.

"Ini temen kamu?" tanya Veranda.

Sembari menunjukkan ponselku, Veranda menaikkan alisnya karena masih merasa terkejut dengan apa yang dibacanya.

Kulihat sekilas gambar kecil di pojok kiri dan bisa dipastikan itu adalah gambar profil akun Instagram milik Najwa.

"Iya. Itu si Najwa. Anak baru di kantor."

Veranda menggeleng, "Iya aku tau dia temen kantor kamu. Kemarin akun kamu di-tag foto kalian lagi makan bareng pas aku gereja di Sudirman."

"Terus?" menyesap lemon tea, aku bersikap seakan tak peduli. Sekaligus jaga-jaga sikap supaya tidak tampak terlalu perhatian pada perempuan lain, selain Veranda di depanku.

Kami berdua sedang menikmati makan malam bersama. Sesekali jalan-jalan pas lagi satnight, tidak hanya tiduran di kamar sambil main game atau nonton drama Korea.

"Yah, kok terus sih. Ya ini, masa dia posting kayak ginian di Instagram story? Apa nggak dikirain aneh sama temen-temennya?" heran Veranda.

Aku pun penasaran dan mencoba meraih ponselku dan melihat lagi apa maksud Veranda tadi,

Aku pun penasaran dan mencoba meraih ponselku dan melihat lagi apa maksud Veranda tadi,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dia anaknya open banget soal orientasi seksualnya ya?" tanya Veranda hati-hati.

Aku pun hanya bisa menganga dan baru sadar yang Veranda heran-herankan sejak tadi. Berani sekali Najwa buat posting semacam ini.

"Nggak tau deh. Ntar aku tanyain sama Mbak Dinda. Kemarin kami ngomongin gini-ginian sih. Cuman ya nggak dengan consent buat disebar di media sosial kayak gini sih, gila."

Veranda mengangguk paham, tapi ia masih tampak gusar.

"Terus, kenapa sih ada aja temen kamu yang kayak gini. Mana sekantor lagi. Aku jadi kepikiran masa?" gerutu Veranda, mulai kehilangan selera makannya.

"Bentar-bentar. Ini dia ngomong begini apa nggak followers-nya heran ya? Nggak dibuat close friends lho." bingungku.

Veranda hanya menaikkan bahunya acuh, "Tau. Aneh. Umur berapa deh? Pasti ABG ya?"

"Dua puluh tahun. Fresh graduate,  Diploma."

"Astaga, masih muda. Pantesan. Keluargaku tau dan memaklumi, tapi aku juga nggak pernah sharing hal ginian sembarangan, bahkan hampir nggak pernah. Nge-share kamu pun juga nggak banyak dan hanya di private account yang temannya orang-orang yang tau. Nggak sembarangan begitu. Astaga serem banget." omel Veranda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku tertawa kecil melihat Veranda yang phobia terhadap tindakan over come-out demikian. Kami berdua saja tidak terlalu terbuka.

"Tapi omongan dia ada benernya juga. Cuma ya agak terlalu terang-terangan sih kalau dibahas di media sosial begitu." ujarku,

"Gimana?"

Veranda memperhatikanku yang sedang menjeda pembicaraan, menarik napas sebelum bicara lagi.

"This kind of relationship is not only for having fun you know, it's absolutely for the future too." kutatap matanya dengan pandangan tajam sebelum kembali lanjut bicara, ia menyimak dengan tenang.

"If you still think about marrying a man after all, then you'd better do not ever play someone's heart here. My heart especially." jantungku berdebar saat bicara, takut apa yang aku katakan hanyalah omong kosong bagi Veranda.

"Okay?"

Aku mengangguk.

Senyum Veranda terulas di bibirnya yang tipis. Ia baru saja menelan sesendok es krim ke dalam mulutnya. Seperti sudah mempunyai tanggapan lugas mengenai omonganku.

"Aku nggak semain-main itu bertahun-tahun punya hubungan seperti ini sama kamu. Jadi menurut kamu aja, selama ini apa aku berniat bakalan ngelakuin hal bodoh seperti itu? Ngebangun dari titik paling rendah, sampai ke masa sekarang itu nggak gampang. Lagi pula aku nggak kehilangan sepersen pun cinta aku ke kamu kok."

Kukerutkan alisku, "Kok pake 'Kok' sih? Ah, pasti mau bual nih?"

Veranda terkekeh lalu menggelengkan kepalanya, "Ya ampun, enggak."

"Habisnya, pake 'kok'. Biasanya bohong tuh!" ledekku menggodanya.

Veranda menggeleng, "Nggak, Kinal. Aku inget dari mana kita mulai. Kalau dipikir lagi, dari masa itu tuh rasanya kayak nggak mungkin. Tapi kan buktinya kita bisa sampe sekarang. Udah banyak banget waktu, materi, tenaga, yang terbuang demi bisa sampe ke sekarang. Udah banyak banget makan hatinya buat usaha. Aku ngerti itu semua patut diapresiasi, sangat amat perlu malahan. Jadi aku nggak akan mungkin main-main selama ini."

Di sini lah mengapa aku selalu mengingat Veranda sebagai nomor satu di hatiku. Banyak memang yang hadir, tapi Veranda berbeda. Dia adalah yang telah bersamaku sejak awal, bahkan sampai sekarang masih bertahan di hadapanku.

Kemudian jangan ditanya berapa banyak godaan yang hadir. Veranda bukan perempuan biasa. Dia cantik, berperilaku baik, pribadinya menarik, tak ada yang menolak pesonanya, bahkan semua orang mengejar. Tapi mungkin Tuhan sedang iseng saja, membuat makhluk sempurna sepertinya malah betah bersamaku yang nyaris mirip Goblin.

"Satu banding seribu nggak sih, Ve?"

Veranda mengangkat alisnya, "Hm? Apanya?" wajahnya lucu saat menikmati es krim kami.

"Ya yang seperti kamu."

Veranda tertawa geli, "Yang kayak Mbak Dinda aja juga kamu bilang satu banding seribu kali, Nal. Hahahaha!"

Sialan.

Veranda meledekku.

Aku terpaksa ikut tertawa untuk membuat situasi tidak menjadi buruk.

"Ya udah, kali aja Mbak Dinda masuk ke kloter seribu banding satu berikutnya. Ya kan?"

"Hahaha! Bisa aja buat alesannya!" serunya, kemudian mengetuk kepalaku menggunakan sendok es krimnya.

"Hahaha! Tapi aku kebagiannya seribu banding satunya itu kamu. How lucky i am!"

"Me too! Lucky to have you!"

Honestly, no one better than you

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Honestly, no one better than you...

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang