22. Vacation II

3.9K 439 23
                                    

Lantunan lagu bernuansa modern selera penikmat musik masa kini, atau lumrahnya disebut EDM yang berarti Electronic Dance Music terdengar mengiringi perjalananku bersama Veranda pagi ini.

Yup, tepat sekali!

Tidak mungkin aku mengelak lagi setelah Veranda menggebu-gebu dan memberikan peringatan setengah mengancam padaku.

Awalnya memang agak resah mengingat hari-hari weekend seperti ini, pasti harus berjuang melawan macet untuk pergi ke tempat wisata impian Veranda. Namun agak senang saat melihatnya kegirangan karena tak lagi mengeluarkan alasan untuk menolak keinginannya.

Memang menurutku akhir-akhir ini, dia sering dibuat stress oleh pekerjaannya yang sering kali menumpuk tak ada habisnya.

Mungkin setelah ini, aku harus menjaganya lebih baik lagi agar terhindar dari sakit untuk mengurangi beban pekerjaan yang menumpuk saat ia jatuh sakit seperti kemarin.

Disela-sela kegiatan menyetirku, Veranda tampak sibuk dengan ponselnya. Bibir tipisnya bergerak kecil, ikut menyanyikan lirik lagu yang dihafalnya dengan baik.

"Eh iya..." tegurku, berusaha memulai obrolan, karena jujur aku sama sekali tak menikmati lagu yang sejak tadi kudengar.

"Mmm, iya? Kenapa?"

Veranda langsung menyahut dan mengalihkan perhatian penuhnya padaku, -yang malah tiba-tiba saja gugup berat karena diberi tatapan seakan aku adalah dunianya.

"Kamu, kamu... kamu belum cerita loh soal kendaraan yang sekarang lagi kita naikin ini,"

"Oh." jawabnya singkat, kemudian ia mengulum senyumnya. Manis sekali.

"Harus cerita banget nih?" godanya dengan suara genit lengkap dengan tampang centilnya yang membuat kesal, namun gemas.

"Kamu sejak kapan jadi centil banget gini sih? Hahahah!" ungkapku, diakhiri tawa tak sabaran.

"Gak tau. Kayanya sejak liat kamu sering main dan kumpul-kumpul sama anak-anak SMK itu deh. Gak suka aku liatnya. Pada masih bocah, masih kecil. Tapi ganjen semua..."

Kukulum senyum tipis di bibir selagi mendengarnya mengoceh tiada henti. Semua hal mengenai para siswa SMK yang pernah praktek di kantorku beberapa bulan lalu, dia cecar sampai ke akar. Padahal, kalau dipikir lagi, itu terhitung sudah sangat lama.

"Kan prakteknya juga udah selesai. Tapi abis itu kalian malah sering banget mainnya. Kemana lah, kemana. Paling nyebelin lagi tuh, kalau modus minta diajarin ini-itu, tau-tau pas ditemuin malah ngajak makan. Gimana nggak nyebelin tuh? Aku juga mati gaya lagi karena ikut kamu tiap kali main sama mereka. Lagian kamu juga penting banget deh nurutin maunya abg-abg itu. Giliran aku minta diajak liburan gini, kamunya susah banget pake alasan ini-itu!"

"Oh, jadi insecure?" komentarku setelah ia berhenti mengungkapkan kejengkelannya.

Kedua alisnya menaut, membuatku tertawa karena berhasil menyulut emosinya sepagi ini.

"Sebel banget ya? Sampe ngulang kata 'ini-itu' nya dua kali? Hahahah!"

"Ish! Kamu tuh yah,"

"A-AWW!!" jeritku.

Tiba-tiba saja ia mencubit pinggangku begitu kuat hingga meninggalkan rasa sakit yang cukup perih.

"Sakit tau, sayang!" gerutuku karena kesakitan berkat cubitan mautnya.

"Biarin. Abisnya kamu ngeselin banget!"

"Yaaa, maaf deh. Kan kita sekarang mau liburan ini. Masa cemberut sih? Senyum dong?"

Tidak sesuai dengan inginku, Veranda tidak senyum melainkan malah mencebikkan bibirnya. Pandangannya mengarah lurus ke depan. Ponselnya pun tak ia pedulikan lagi. Sepertinya, ia benar-benar kesal karena tela kugoda soal ketidakyakinannya sendiri terhadapku.

Tak ingin menambah keributan, aku mencoba untuk diam dan membiarkan dirinya menenangkan dirinya sebentar. Sembari berharap saat sampai di tempat tujuan nanti, dia akan senang dan tersenyum lebar.

"Sebenernya..."

Sepatah kata keluar dari bibirnya. Aku mencoba membagi fokusku dari jalanan untuknya.

"Aku mutusin untuk ambil mobil ini semenjak kita pindah ke apartemen..."

Nafasku tercekat mendengarkan penuturannya. Nyaris aku membuat bumper depan mobil ini mencium pantat taksi yang sedang melaju tepat di depan.

Veranda malah terkekeh melihat reaksiku, tidak panik sama sekali meski ia tau kami hampir saja menabrak mobil lain.

Jalanan macet, aku sepenuhnya mengalihkan fokus perhatianku padanya yang masih mengulum senyum manis.

"Cuman, meskipun aku udah bayar dp, mobilnya aku biarin di sorum sampai cicilannya terpenuhi 50% lebih..."

Glek!

"Dan, pengennya aku tunjukin waktu kamu ulang tahun atau pas anniversary kita nanti. Tapi kayanya kelamaan kalau maunya gitu. Soalnya aku keburu nggak tega duluan ngeliat kamu sering bingung kalau kita mau pergi kemana-mana gitu. Hehe..."

Jemariku bergemelutuk di atas setir mobil. Tak mampu berkata-kata saat mendengar semua ceritanya. Entah harus terkejut atau apa. Aku malah menunjukkan reaksi seolah tak suka, padahal aku hanya merasa belum siap dan terlalu kaget dengan kenyataan ini.

"Kenapa? Kamu nggak suka ya?" tanya Veranda, mendekatkan wajahnya.

"Bukan gitu. Aku, aku kaget aja gitu. Kamu nggak bilang apa-apa sama aku, dadakan banget,"

Veranda tersenyum lebar, membuatku heran -lagi.

"Apa ya, aku juga sebenernya bingung sendiri sama keputusanku yang sebelumnya sama sekali gak kita musyawarahin dulu. Semacam sengaja aja gitu, biar surprise buat kamu. Awalnya, aku belinya buat ngajarin kamu. Soalnya waktu pertama kali kita kenal, kamu bilang gak bisa nyetir mobil sama motor kan? Setelah kita deket dan jadi seperti ini, aku tau kamu udah bisa bawa motor dan kukira masih belum bisa bawa mobil. Tapi tadi pagi, pas aku mau nyetir, tiba-tiba kamu ngambil kuncinya dan duduk di kursi kemudi. Trus tau-tau kamu udah bunyiin klakson ngeluarin mobilnya dari parkiran, nyetir pula sampai sini ini. Dan, sekarang yang kaget malah siapa dong? Aku, atau kamu?"

"Hahahahah!" tawaku renyah, mendengar penjelasan panjangnya.

"Jadi, serba kejutan gitu ya? Kamu mau nunjukin mobilnya ke aku, sementara itu kamu kaget dan nggak nyangka ternyata aku bisa nyetir. Gitu ya? Hahahahah!" lagi-lagi aku terbahak oleh kejutan yang tak terduga ini.

Ia pun demikian, ikut tertawa geli karena semua hal ini. Senang sekali rasanya melihatnya segembira ini.

"Makasi ya?" ungkapku padanya, merasa beruntung karena dia yang selalu membuatku tertawa di saat apa pun.

Kemudian ia membalas senyumanku dengan senyum khasnya yang manis dan menarikku jatuh hati semakin dalam padanya.

Tangan kanannya yang lembut, terangkat membelai wajahku. Masih dengan senyumnya, ia memandangku lagi dengan tatapan lembutnya.

Ya Tuhan,

Jantungku...

"Anything..."

bisiknya.











DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang