24. Vacation IV

3.4K 417 20
                                    

Aku seringkali lupa, sebanyak apa waktu yang telah aku lalui tiap harinya. Hal apa yang sudah aku kerjakan, apa yang aku pikirkan, apa pun yang telah aku lewati. Cukup mudah untuk melupakan hal-hal semacam itu.

Tapi, tiap kali aku termenung, memandang jernih pemandangan di hadapanku saat ini, aku mampu mengingat semua hal yang wajib aku syukuri.

Hal-hal sederhana seperti,

Melihat dia, tengah tersenyum memandangi apa pun yang terhampar di halaman belakang villa ini.

Mungkin aku akan sangat menyesal memang jika tidak menuruti permintaannya yang memaksaku untuk pergi berlibur kemari disela kesibukan kami masing-masing.

"Kenapa?" tanyanya tiba-tiba, saat menyadari aku yang sejak tadi tak berkedip memandanginya.

"Nggak, nggak papa..." sahutku tersenyum tipis.

"Aneh!"

Aku terkekeh mendengar kata sebalnya. Sebelumnya dia sangat jarang menunjukkan sikap seperti ini padaku.

Kadang aku heran dengan perilakunya. Dia jadi sosok yang mampu mengejutkanku dalam waktu cepat, tidak seperti sebelumnya yang selalu kalem dan tenang.

"Jarang aja gitu, minggu paginya aku bisa ngeliatin kamu udah mandi bersih dan di tempat yang sejuk gini. Jadi makin adem, hahahah!" godaku sambil tertawa renyah.

"Aneh-aneh aja. Tiap hari juga kamu biasa lihat aku selesai mandi pagi, sore juga. Atau bahkan tengah malam. Ya kan~"

Perutku tak sanggup menahan geli saat ia membalikkan kedudukan kami. Bukannya aku yang menang karena telah menggodanya, dia malah membalasku dengan senyuman centil di akhir kalimatnya.

"Yah, kan beda. Biar pun sebenernya disini juga kerjanya cuman makan, tidur, jalan kaki lihat-lihat, trus leyeh-leyeh sampe jelek. Rasanya bener-bener beda ya?" ujarku sembari melipat kedua lenganku di depan dada.

Kupindah posisiku yang tadinya bersandar pada tiang putih besar penyangga bangunan, beralih ke sampingnya rapat hingga tak sengaja lenganku menggesek bahu jatuhnya.

"Emang rasanya gimana?" tanyanya.

Kulirik ia yang mengikuti gerakan melipat lengan di depan dadanya. Dan wajahnya yang menoleh ke arahku, begitu dekat.

Berdebar rasanya dada ini ketika menemukan senyuman tulus dari sosok cantik ini.

Puji syukur,

Ya Tuhan...

"Aku boleh tanya nggak?" ucapku setelah nyaris melamun dalam beberapa detik karena merasa jatuh cinta semakin dalam padanya.

"Aku barusan kan nanya kamu, ngapain nanya balik deh?"

Aku hanya meresponnya dengan senyuman polos dan berkedip pelan seakan memohon untuk mendahulukan pertanyaanku untuk dia jawab sebelum aku menjawab pertanyaannya.

"Hhh, ya udah. Mau nanya apa?"

Senyum puasku terukir lebar karena dia menyerah setelah melihat sinyal permohonanku sebelumnya.

"Kalau aku masuk ke kamar dalam hitungan ketiga, kamu bakalan teriak dan marah nggak sama aku? Soalnya, dari tadi aku lagi nebak-nebak itu. Dan nggak bisa nemu jawabannya. Di sisi lain aku mikir kamu cuman bakalan diem dan senyum doang sambil nunggu aku disini seperti biasanya, atau kamu bakalan kesel semi teriak?"

Dahinya langsung berkerut mendengar penuturanku.

"Ya kamu pikir aku gila apa?"

"Satu, dua, . . . "

"Ngapain aku harus teriak kalau kamu cuma mau masuk ke kam-"

"TIGA!"

Detik itu seakan semuanya berhenti mungkin bagi Veranda. Aku yakin dia tercengang serta sedikit shock tepat setelah aku selesai berhitung dan...

Mengecup sudut bibir tipisnya yang masih sempat terbuka saat ia sedang asyik bicara.

"IH, KINAL!"

Teriakannya terdengar menggemaskan ketika aku telah sampai ke dalam kamar.

"HAHAHAHAHAH!"

Aku tertawa tiada henti setelah puas membuatnya merasa dikerjai.

Tak sampai berapa lama, kubuka ponselku dan kukirim sebuah pesan yang aku sangat yakin, akan membuatnya tersipu meski masih menyimpan rasa kesal padaku.

"To my beloved Veranda. Don't ever mad, i'm just trying to show how much i love you, you know 💙"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang