93. Ups and Downs

2.5K 428 25
                                    

Istirahat makan siang hari ini, aku ditemani sama si Ningsih alias Nink. Mbak Dinda dan Mbak Tya tidak ikut, mereka ada meeting penting yang harus dihadiri bersama ketua tim lainnya.

Sama Nink, aku tidak nongkrong di tempat makan biasa. Kali ini aku ajak dia ke rooftop gedung kantor. Biasanya sih di sini dijadikan tempat karyawan yang sedang cari inspirasi untuk kerjaan mereka masing-masing. Aku pun sering demikian.

Nink sedang sibuk baca beberapa script yang baru saja diajukan oleh timnya untuk acara variety show minggu depan. Dia sedikit kesulitan pasti, sesekali kubantu untuk mengartikannya.

"Lu nggak papa? Di bagian script kayak gini?"

Nink mengangguk, dia fokus lagi. Aku pun meneguk lagi Milo kalengku yang dingin dan segar. Veranda menyuruhku makan siang, tapi aku sedang malas. Jadi kupilih untuk istirahat di rooftop sambil numpang makan buah nanas yang Nink bawa.

"Susah ya? Ngerti bahasa Indonesia?"

Nink geleng-geleng lucu, "Gampang. Tapi kadang malu bicara. Sering diledekin." terangnya dengan senyuman polos.

Tawaku tak terbendung. "Ya jelas diledekin. Tau nggak? Suara lu tuh cempreng, gak cocok sama mukanya yang bening. Hahahaha!"

Nink cuma ikut ketawa. Aku yakin sebenarnya dia tak begitu menangkap sisi humor lucu dari omonganku, tapi mungkin dia ketawa karena aku duluan yang tertawa.

Kami berdua diam lagi. Nink jarang bicara. Tapi sangat cerewet saat ada Mbak Dinda. Aku bingung, ingin mengobrol apa sama dia yang sepertinya pelit ngomong.

"Ningsih." panggilku.

Dia noleh, "Ya?"

Ingin tertawa rasanya karena dia baik-baik saja meskipun dipanggil dengan nama itu. Kadang bukan cuma dipanggil "Ningsih", dipanggil "Ningrum", "Ningtyas", "Ningnangningnung" juga.

Begitulah dia, selalu sabar meski pun sering diledeki oleh karyawan kantor. Tapi kami semua cinta sama Nink. Dia baik, dan tentunya juga cantik.

Kutarik napas pelan sebelum bicara padanya yang sudah siap untuk dengar aku,

"Lu punya pacar?"

Nink langsung senyum lebar. Kulihat dia menghela napasnya cukup lama, lalu merapihkan lembaran script dari rekan kerjanya.

"Punya. Besok ke sini. Ke Indonesia."

"Hah?" aku kaget.

Rasa itu belum selesai, rasa terkejutku yang masih ingin lama-lamaan. Tapi sayang, dari pintu masuk gedung, Mas Agung sudah manggil-manggil.

"Nal! Kinal!"

"Ya, Mas?" sahutku dari jauh.

Masih kuperhatikan Nink yang nunduk malu. Banyak hal yang ingin kutanya darinya, tapi urung saat Mas Agung teriak lagi.

"Ada cewek cakep nyariin lu tuh!"

Langsung aku berpikir kalau sosok yang Mas Agung maksudkan adalah Veranda.

Bergegas aku pamitan pada Nink untuk turun duluan. Barengan dengan Mas Agung yang bela-belain dari lantai kantor ruangan kami ke rooftop hanya untuk memanggilku.

"Di mana, Mas?" tanyaku pada Mas Agung saat kami di dalam lift.

"Di ruangan kita lah. Kayanya dia duduk di cubicle lu malahan. Gue familiar deh sama dia. Kayanya dulu pernah masuk ke kantor sampe segitunya juga. Gak nunggu di lobby aja." terang Mas Agung.

Sesuai dengan perkiraanku bahwa tamuku kali ini adalah Veranda. Aku tau itu berdasarkan cerita Mas Agung, sekaligus saat pintu lift terbuka. Veranda senyum dan menoleh padaku saat ia dengar suara lift.

"Hey!" sapanya.

Kudengar Mas Agung bisik-bisik bertanya padaku saat kami keluar dari lift.

"Siapa sih itu, Nal? Cakep banget parah!"

"Pacar gue."

"Hah? Gila lu?!"

"Siapa yang gak gila kalau pacarnya secakep dia mah." ujarku, senyum bangga.

"Dih, anjir. Rakus lu ya. Kan lu udah ada Dinda!"

Kuputar bola mataku malas, "Stress kali ya lu, Mas."

Mas Agung berdecak sambil geleng-geleng waktu aku menghampiri Veranda dan langsung menggenggam tangannya untuk kuajak pergi meninggalkan ruangan ini.

Aku melempar senyumku pada Veranda saat kami saling memegang tangan di dalam lift.

"Kenapa? Tumben mampir?" tanyaku.

"Tadi ikut teman ke kantor cabang. Terus pulangnya aku minta untuk berhentiin di kantor kamu."

Aku mengangguk paham.

"Sekalian juga, ingin lihat kamu makan siang langsung. Kayanya cuma minum susu kaleng ya?"

Alamak...

Aku baru sadar tangan kananku masih memegangi kaleng kosong susu Milo dingin sejak tadi.

Kami sampai di lantai bawah, kuperhatikan Veranda yang mengambil alih kaleng susuku dan langsung membuangnya ke tempat sampah dekat pintu lift.

Dari arah berlawanan, kulihat Mbak Dinda bersama Mbak Tya masuk melalui pintu masuk gedung. Di tangannya terdapat kantong plastik Hokben.

"Hey, Mbak Dinda!" Veranda nyapa Mbak Dinda duluan.

"Eh, Ve! Tumben mampir?"

"Iya, mau nemenin Kinal makan siang. Mbak Dinda udah?"

"Oh, iya ini mau makan. Udah beli juga kok. Ya udah kalau gitu hati-hati perginya. Makannya sampe kenyang ya!"

"Sip, Mbak!" sahut Veranda.

"Tiati, Nal. Awas kebablasan di warung remang-remang lu!"

Aku mengangguk sambil tertawa sebagai respon singkat karena Mbak Dinda sudah keburu pergi.

Kulanjutkan langkahku dengan Veranda ke luar gedung. Namun berhenti sejenak karena Veranda mendadak mengeratkan pegangan tangannya di genggamanku.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Gak papa. Aku ngerasa gak enak aja."

"Soal?"

"Mbak Dinda. Dan soal kopi itu. Dia orangnya memang baik. Aku gak seharusnya berpikiran untuk nggak suka sama orang sebaik itu hanya gara-gara dia care sama kamu." ungkap Veranda dengan nada rasa bersalah.

Aku tersenyum lembut, lalu mengusap kepalanya pelan.

"Terus, kamu maunya suka sama dia?" tanyaku.

"Enggak." jawab Veranda sambil geleng pelan.

"Terus?"

"Aku cukup suka sama kamu aja."

Kusentil hidungnya, "Suka doang?"

"Enggak."

"Terus?" tanyaku lagi, sengaja memancingnya untuk terus bicara hal-hal yang menyenangkan.

"Duka."

"Yah, kok duka?" ekspresiku sedikit kecewa.

"Duka, kalau kamu menghilang dari hidup aku."

"Hahahahaha... paling bisaaaa!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang