19. Panic

4.2K 458 29
                                    

Musim penghujan telah datang beberapa bulan ini. Menjelang kemarau sebentar lagi, tentu negeri ini akan melewati waktu-waktu pancaroba.

Konon disaat pergantian musim ini, biasanya banyak orang-orang yang mudah sekali terserang penyakit.

Atau bukan sekedar konon memang, tapi nyata. Veranda yang memang sistem kekebalan tubuhnya tidak begitu kuat, mudah jatuh sakit, dan tentu saja ia tidak luput dari agendanya untuk istirahat sejenak dari pekerjaannya karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkannya berkutat dengan segala tugas di kantor.

Pagi tadi, demamnya cukup tinggi. Membuatku gelisah tidak menentu karena terus memikirkannya sepanjang waktu.

Kesalnya lagi, aku tidak bisa ambil cuti kali ini. Hari ini ada banyak hal yang harus kukerjakan karena menjelang akhir bulan. Bukan tidak mungkin aku jadi bulan-bulanan atasanku seandainya aku melalaikan tugasku sendiri.

Maka dari itu, aku mempunyai caraku sendiri untuk membuat perasaanku lebih lega.

Tiap sepuluh menit sekali, aku akan mengirim pesan hanya sekedar untuk menanyakan kabar Veranda. Rasanya ingin mengumpat keras ketika dia tak kunjung membalas pesanku. Pikiran negatif terus berputar di kepalaku.

"Ah sial, bisa gila gue lama-lama!"

Kucoba untuk menetralkan kembali pikiranku. Tidak apa dia tak membalasnya, aku akan coba konsisten untuk mengiriminya pesan tiap sepuluh menit sekali.

Tak lama kemudian, ponselku bergetar. Aku nyaris teriak kegirangan karena melihat nama Veranda tertera di layar.

- Veranda -

"Kamu bisa diem bentar ngga? Kepalaku sakit banget, nggak bisa tidur gara-gara notifnya bunyi terus..."

Aku tertawa dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Lega rasanya mendapat kabar pasti darinya yang kukhawatirkan.

Tak ingin mengganggunya, aku sengaja menghentikan aktivitasku yang sejak tadi terus-menerus mengiriminya pesan.

Aku yakin dia akan baik-baik saja.
Pasti baik-baik saja.

Tentu saja dia akan terlelap dalam tidurnya.

Benar kan?

AAAAARRRGGGHHHH!!!!

TENTU SAJA TIDAK!

Baru beberapa menit aku memutuskan untuk berhenti menanyakan kabarnya, kembali aku memungut ponselku dan mencari kontaknya.

"Sisa pulsa anda, tidak cukup untuk melakukan panggilan ini..."

"HADEEEEEEEEEHHHH!!!" keluhku mengusapi wajah yang terasa semakin panas karena kesal.

Salah nomor, aku lupa mengganti sim card yang biasa kugunakan untuk menghubungi Veranda.

TUUUUTTTT-

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk..."

DEG!

Cobaan apalagi yang harus kuhadapi ini?!

Tidak mungkin Veranda sedang kenapa-napa kan. Baik, atau aku benar-benar sudah mengganggu istirahatnya?

Baru kuletakkan ponselku di atas meja, sebuah panggilan masuk. Lesuku mendadak sirna karena melihat Veranda yang menelpon.

"Halo, Ve?"

"Nal..."

"Ve? Kamu nggak papa kan?"

"Perut aku... akh!"

Bagai disambar petir, aku bergetar nyaris histeris karena mendengar rintihan Veranda yang terdengar, kesakitan.

Jam makan siang telah sampai, aku sudah tidak sanggup berlama-lama disini lagi. Kuraih jaket dan sling bag kerjaku sebelum bergegas menuju parkiran.

"Ve, jangan sampe kamu kenapa-napa yah? Aku nggak akan maafin diri aku sendiri kalo kamu kenapa-napa!" jeritku dalam hati.

Jarak kantor ke apartemen membutuhkan waktu setengah jam, itu jika tidak macet. Sialnya, jam makan siang tentu saja jalanan akan begitu ramai.

"Ini hari jumat!" teriakku.

Baiklah, jika beruntung, aku akan mencoba untuk menjadi pembalap dadakan dibandingkan harus ketar-ketir membiarkan Veranda terlalu lama menungguku.

Semua orang memperhatikanku yang masih membawa helm berlarian di lorong apartemen. Semoga Veranda baik-baik saja, ya Tuhan!

"Ve?!"

"Veranda?!!!"

Kubuka pintu kamar kami, dan kulihat Veranda sedang terduduk lemah sambil memegangi perutnya sendiri.

"VE!"

Dia mendongak dengan wajah lemahnya, tatapannya beralih pada jam dinding yang menempel di sisi kanan kamar.

"Kamu sampai kesini, gak sampe dua puluh menit? Kamu terbang, apa gimana?" nada bicaranya lemah, sesekali ia menggigiti bibir bawahnya, sarat ekspresi menahan sakit.

Aku masih terpaku memandanginya yang lemah tidak berdaya dari ambang pintu.

Bunyi detak jam terdengar di antara sepi sunyinya kami berdua. Aku mendekat untuk berjongkok di depannya, mengusap wajahnya pelan yang terasa hangat di tanganku.

"Mananya yang sakit? Hmm?"

Ia menunduk mengusap perutnya pelan. Aku memandangi perutnya dan kembali melihat kedua matanya yang sayu. Menunggu keluhannya terlontar padaku dengan sabarnya.

Mungkin orang lain akan marah dan begitu kesal. Berlarian, kebut-kebutan, dengan perasaan panik setengah mati untuk menuju kemari, hanya untuk mendengar jawaban Veranda yang mampu membuatku tersenyum begitu lega.

Dia bilang...

"Aku... lapar, Nal... banget!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang