12. Advice

4.9K 492 4
                                    

Sore hariku kali ini cukup melelahkan. Pekerjaan kantorku lumayan menguras tenagaku. Cukup membuat aku merasa jengah dengan situasi ini.

Terlebih lagi, seharian ini Veranda sama sekali tak memberiku kabar. Hampir semua pesan yang kukirim melalui akun media sosialku, tak dibalasnya. Membuat khawatir saja, batinku.

Bosan menunggu waktu pulang, aku iseng melihat-lihat beberapa time line akun media sosialku. Tak sengaja, aku mendapati Veranda sedang mengunggah status terbarunya.

Alisku tertaut saat melihatnya mendumel di akun media sosial. Tak biasanya Veranda sesensitif ini, sampai-sampai marah tak jelas seperti demikian.

Tak betah dengan situasi dan rasa penasaranku, aku mencoba menghubunginya. Sayang sekali, tak diangkat. Terpaksa, aku menunggu sampai pukul lima sore dan bergegas membawa motorku ke arah kantornya.

Gadis itu tengah berdiri di dekat trotoar. Dari kejauhan, bisa kulihat ia sedang menekuk wajahnya cemberut. Kalau dilihat memang menggemaskan, tapi aku tau kalau saat ini dia sedang dalam mood yang buruk.

"Hey, ayo naik?" sapaku padanya setelah memberikan helm.

Dia hanya naik ke boncenganku dalam diam. Aku hanya bisa mengira-ngira alasannya menjadi demikian, sementara dia mungkin masih bertahan dalam kekesalannya yang tak kuketahui mengapa.

Sesampainya di apartemen, aku mencoba menahan tangannya supaya tak lekas memasuki kamar kami. Dia hanya menoleh, dan menatapku malas.

"Kamu kenapa?" tanyaku.

Pertanyaan yang sedikit memacu adrenalin memang, tapi aku hanya akan tau alasan Veranda uring-uringan begini dengan meluncurkan pertanyaan tersebut.

"Nggak kok, cuman lagi bad mood aja..." jawabnya.

Bisa kulihat wajahnya tampak resah, tampak lelah juga.

"Masalah kerjaan yah?" tanyaku lagi, ia hanya mengangguk pelan.

Sekarang aku tau mengapa ia terlihat demikian. Suasananya mulai mencair, kuajak dia menuju dapur dan kusuruh ia meneguk segelas air putih.

"Apa ada hal yang ngeganggu kamu di kantor?" tanyaku, mulai menggali lebih jauh.

"Iya, ada..." jawabnya setelah meneguk air putihnya.

"Ada rekan yang agak rese. Ya mungkin itu menurut aku doang. Soalnya yang lain biasa aja sama dia, malahan ada yang ngedukung kerjaannya. Cuman, aku kurang suka aja sama apa yang dia lakukan. Nggak sesuai dengan prinsip-prinsip aku..." lanjutnya lagi bercerita kebenarannya.

Aku mengangguk pelan, memahami betul tentang permasalahan yang mengganggu pikirannya itu.

Kedua tangannya yang sejak tadi masih setia kupegangi, semakin kurapatkan dalam genggananku.

Aku tersenyum lembut padanya setelah menghela nafas pelan.

"Sayang, boleh aku ngasih kamu sedikit nasehat nggak?" tanyaku, memastikan.

Veranda mengangguk pelan menanggapinya. Aku tersenyum lagi, dan mulai mengeluarkan semua yang terpikirkan di kepalaku.

"Jangan sampai kita terlalu benci dan jangan pernah sedikit pun nunjukin kebencian kita sama orang yang gak kita sukai, Ve. Nanti, kalau suatu saat dia punya kesempatan untuk berada di atas awan, bisa-bisa kita bakalan malu dan tersingkirkan di antara orang-orang sekitar kita..." jelasku dengan nada lembut.

Kulihat Veranda fokus memandangiku. Kedua bola matanya bergerak seakan-akan ia mencoba mencerna semua perkataanku dengan baik. Aku tersenyum dibuatnya, ia tampak sangat lucu.

"Jadi mendingan, sekarang kamu santai aja dan nggak usah terlalu mikirin dia. Soalnya, masih ada banyak hal yang lebih penting buat kamu pikirin. Misalnya, aku..." ujarku, dengan sedikit godaan di akhir kalimat.

Veranda tertawa kecil karenanya. Kemudian ia mengangguk paham sambil tersenyum manis padaku. Menyenangkan sekali bila melihatnya seperti ini.

"Iya, iya, sayang. Aku paham kok. Makasih banyak nasehatnya yah..."

Aku mengangguk pelan, membiarkan ia mengelus-elus pipiku dengan lembut.

"Jadi, kamu ingin makan malam apa kali ini?"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang