128. Breakfast

1.6K 274 20
                                    

Sabtu pagi yang cerah. Aku memandangi air mancur yang berada di dekat kolam renang samping lobi. Duduk di sofa tempat aku biasa main bersama Kyla dan Mas Roby. Dari sini aku benar-benar bisa melihat luncuran air yang menenangkan. Cocok untuk jadi teman melamun.

Isi kepalaku adalah kejadian semalam. Mbak Dinda mengajakku makan McD di apartemennya. Aku sempat berekspektasi akan ada sesuatu yang mengejutkan. Ternyata dia mengajakku ke salah satu ruangan lainnya.

Di dalam apartemen Mbak Dinda terdapat sebuah pintu menuju ruangan yang sepertinya salah satu bagian ruang apartemen yang lain. Ruangan yang luasnya sama besar dengan ruang apartemen Mbak Dinda sendiri.

Ada studio kecil di sana. Persis dengan yang ada di kantor. Peralatan editing. Ruang apartemen itu gelap dengan cahaya led biru yang menghiasi di sudut ruangan. Nampak estetik seperti ruang hiburan. Ada juga televisi dengan layar yang besar, mungkin nyaris sebesar papan tulis sekolah dasar.

Ada mini-bar lengkap dengan beberapa koleksi minuman dan lemari pendingin berpintu dua. Di sudut lainnya terdapat studio kecil berisi beberapa alat musik. Seperti studio tempat memproduksi musik. Persis dengan yang sering kulihat di channel Youtube Charlie Puth dan Lauv.

Sekarang aku tau mengapa Mbak Dinda sangat jarang atau hampir tidak pernah keluyuran atau nongkrong kecuali diajak teman-teman kantor. Dia punya surganya sendiri di apartemen.

Sebelum tengah malam, Mbak Dinda bilang mau mengantarku pulang. Aku hanya bisa tertegun saat dia benar-benar membuktikan ucapannya bahwa dia tak bermaksud mengajakku untuk menginap. Kami benar-benar hanya makan dan membahas beberapa pekerjaan di luar kantor yang dilakukan Mbak Dinda.

Dia seorang komposer dari lagu-lagu master soundtrack beberapa film terkenal. Kebanyakan adalah film kartun Disney. Sebelum wabah Covid-19 menyerang, katanya Mbak Dinda sering ke Singapore untuk meeting bersama client-nya. Saat ini pekerjaannya sering dilakukan di rumah.

Satu hal lagi aku ketahui tentang Mbak Dinda. Sebuah kemajuan.

"Semalam sama Mbak Dinda dari mana, Kak?" sambaran pertanyaan mulut Kyla terdengar.

Aku langsung meliriknya yang sudah ada di sampingku. Dengan posisi ponsel landscape. Sedang war rupanya. Kenapa malah sibuk tanya-tanya sih?

"Kok lu tau?"

Kyla terkekeh, "Buta lu? Gue semalam duduk di sini main game kali."

Aku berdecak mendengar omongan kasarnya, "Ish, filter kali ah ngomongnya sama orang tua."

"Oh, iya iya maaf. Lagian rese, masa gue gede banget gini lu gak lihat?"

"Ya, sorry. Kan gue ngantuk banget tuh." ujarku, aku benar-benar tak melihatnya semalam.

"Aneh banget. Berduaan mulu sih lu sama dia."

Aku terdiam, kembali memandangi air mancur di kolam renang yang masih meluncur dengan teratur.

Kali ini pemikiranku beralih pada Veranda. Dia sedang bersama keluarganya. Sepertinya cukup sibuk untuk persiapan Paskah besok. Aku ingat dulu pernah cemburu buta pada salah satu kawan gerejanya saat mereka berdua bersama di acara Natal beberapa masa yang lalu.

Tidak bersama Veranda membuatku sadar hidupku tidak imbang. Terasa sangat kosong. Bahkan kadang aku bingung apa yang harus kukerjakan setelah bangun tidur, mandi, dan sarapan. Bila dengan Veranda, akan selalu ada rencana. Walau itu hanya sekedar berpelukan seharian, nonton drama.

"Ya namanya juga temen." sahutku disela lamunan tentang Veranda.

Bunyi game Kyla tidak terdengar lagi. Aku merasakan ia tengah menatapku aneh. Kulirik wajahnya yang tengah mengarah padaku. Ia menaikkan sebelah alisnya dengan mulut terbuka.

"Emang ada ya? Temen ngingetin makan segemes ini?"

Kupikir Kyla sedang bicara tak masuk akal. Ia tengah memegang ponselku yang sejak tadi tergeletak di meja. Ia memegangnya seakan-akan tengah memegang benda menjijikkan dengan ibu jari dan telunjuk, diayunkannya pelan di hadapan wajahku.

Yang kulihat di sana adalah pesan WhatsApp Mbak Dinda yang muncul pada preview lock screen.

Adinda Putri Assegaf :
"Woi, Kinal! Udah bangun belum lu? Jangan kebo! Buruan makan! Biar jadi babik jangan kebo! 😡👿"

Aku terkekeh,

"Bagian mananya yang gemes?"

Kurebut ponselku dari Kyla, berniat untuk membalas pesan Mbak Dinda. Tapi ponselku malah bergetar, dan itu panggilan dari Veranda.

"Halo?"

"Pagi, sayang. Kok udah bangun?"

Aku tersenyum tipis mendengar suara lembut Veranda menyapa telingaku.

"Iya. Lagi gabut."

Kemudian gelak Veranda terdengar renyah.

"Bagus ya kamu kalau nggak ada aku aja bisa bangun pagi. Coba ada aku?"

Aku terkekeh mendengar nada bicaranya naik satu oktaf. Namun kemudian suara hela napas panjangannya menerpa telingaku. Hatiku seakan ikut merasakan apa yang dirasanya.

"Aku kangen..." "Kangen."

Ya, kami mengucap kata-kata itu secara bersamaan. Membuatku tersenyum lebar di detik berikutnya. Entah ini aku saja atau kebanyakan orang akan merasa tersipu kalau tidak sengaja melakukan hal yang sama dengan pasangan? Atau kadang aku suka menganggap hal ini mengartikan bahwa kami, jodoh?

Hahaha, iya tau itu cuma mitos dan lelucon konyol. Tapi aku masih menganggapnya serius. Semacam, kami mempunyai koneksi hubungan, perasaan, hati, dan komunikasi yang kuat.

"Ciee, jodoh."

"Aminin jangan?" godaku, sambil menahan senyum.

"Amin lah! Paling serius!"

Klise dan konyol untuk usia kami dengan permainan gombal demikian. Hanya saja memang beberapa hari ini, dan aku sudah cukup rindu. Sulit dibayangkan bila suatu saat akan datang hari dimana kami tidak bersama dalam waktu yang sangat lama.

"Kamu jangan ngelewatin sarapan ya. Bentar lagi abang go-send nya datang. Tadi Mama aku titipin makanan. Kasihan sama kamu katanya sendirian."

Entah kenapa lamunan bodohku sejak tadi lenyap begitu saja diganti oleh rasa bahagia saat suara Veranda terus-terusan menyapa gendang telingaku.

"Baik banget Mama. Titip salam ya. Bilangin, makasih banyak gitu."

"Hahaha. Dia perhatian banget sama kamu. Soal makan sampai segitunya. Nggak tau aja dia kalau kamu pinter masak."

"Hahaha, iya bener."

Tak lama berbincang dengan Veranda, pengantar makanan yang dimaksudkan pun datang. Disimpan dalam rangkaian Tupperware, aku tertawa geli karena warnanya biru, warna kesukaan Veranda.

"Ini biru banget tempat makanannya?"

"Dimakan ya! Itu aku yang siapin semuanya. Mama cuma inisiatif doang suruh-suruh aku ini-itu. Yang kepikiran kamu sendirian sama udah makan apa nggak itu. Pokoknya aku deh yang peduli, yang sayang sama kamu seratus persen!"

Senyumku terkembang lebar. Kutatap Kyla yang sedang memandangku tak suka. Ia melihat tempat makan yang kubawa, lalu berganti menatapku yang sudah bersiap untuk membuatnya semakin kesal.

"Kyla kepo! Wleee!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang