124. Holy Nal

2K 276 37
                                    

Wabah virus Covid-19 semakin marak di Jakarta. Korbannya sudah sangat sulit untuk dihitung. Dimana-mana menjadi lokasi yang empuk untuk si virus ini mencaei mangsa. Untuk antisipasi, beberapa kegiatan masyarakat Jakarta jadi diminimalisir.

Sebagai kantor perusahaan yang bergerak dalam bidang media entertainment, tentu saja kegiatan tetap masih sama. Hanya bedanya, beberapa talent dalam beberapa acara yang diusung oleh perusahaan dikurangi.

Beberapa acara yang seharusnya mempunyai banyak audience harus disepikan. Tapi kegiatan syuting dan pemuatan berita serta lain-lain masih dikerjakan selerti biasa.

Sebagai editorial staff, aku tetap harus ke kantor di waktu-waktu penting. Terutama masa pandemik ini malah kami semakin dipersibuk dengan minimnya materi untuk dimuat.

Namun saat-saat tertentu, kami harus melakukan "Work from Home" jikalau sekiranya bisa dikerjakan di rumah saja.

Biasanya kegiatan briefing dan brainstorming untuk bahan editing yang biasa kami rapatkan langsung, dilakukan melalui video call conference. Sebagai team leader, Mbak Dinda tentu saja yang bertanggung jawab jika pekerjaan kami ada kendala.

Apakah ada kendala?

Tentu saja.

Banyak!

Salah satunya adalah ketika materi yang seharusnya dikerjakan di ruang multimedia kantor, harus terpaksa dikerjakan di rumah. Mbak Dinda mungkin punya seperangkat komputer editing yang super canggih.

Bagaimana denganku?

Adanya hanya pacar super canggih.

"Ke apartemen gue aja."

Kuangkat kedua alisku saat Mbak Dinda menyatakannya. Sebenarnya itu ide bagus karena aku masih penasaran dengan apartemen mewah Mbak Dinda yang hanya pernah sekali aku kunjungi. Aku tidak ingat di sana ada ruangan untuk dia melakukan editing.

Seperti melihat ekspresi bingungku dalam video call, Mbak Dinda tampak mengenakan jam tangannya dan seperti sedang meraih sesuatu.

Lanyard perusahaan berwarna biru tua ia kalungkan ke lehernya. Ia kemudian mengenakan masker gelap di wajahnya yang kecil.

"Ya udah, kita ke kantor aja."

Aku tertawa kecil, "Oke."

Mbak Dinda tersenyum tipis sebelum melambaikan tangannya sebelum menutup layar laptopnya di seberang. Aku menyadari itu karena kulihat pergerakan kamera sorotnya yang semakin cekung ke bawah.

Menutup laptop pemberian Veranda, aku memasukkannya ke dalam ransel kerjaku. Di kantor ada yang lebih canggih, tapi takut saja tiba-tiba dibutuhkan di saat kapan pun. Aku masuk ke kamar dan mendapati Veranda juga sedang sibuk menatap layar laptopnya.

Hari ini ia juga dijadwalkan untuk work from home. Sampai awal pekan nanti ia akan masuk kantor lagi. Karena senin adalah hari wajib masuk kerja. Sebagai Sub branch manager, Veranda punya jabatan tinggi di kantor. Atasan, jelas bebas dan sesuka hati.

Tapi dia seorang pekerja keras. Jadi sosok atasan yang seenaknya sama sekali tidak berlaku untuk Veranda, pacarku yang super canggih.

"Aku ke kantor dulu ya." pamitku.

Veranda yang hanya pakai tanktop putih dan celana kulot hitam di meja kerja dalam kamar kami itu menolehkan kepalanya.

Aku tertawa melihat wajahnya yang berantakan. Terlihat masih mengantuk, tapi terpaksa harus kerja sepagi ini karena ada laporan yang diterimanya dari beberapa bawahannya. Ia harus merangkumnya untuk memberikan penilaian lanjutan.

"Kamu nggak ada acara face time sama orang kantor kan hari ini?" tanyaku saat kudekati dirinya.

"Kenapa emang?" tanyanya.

Aku berdecak, kemudian menatap pahatan bahunya yang terbuka lebar dan jangan lupa tanktop putihnya transparan menampakkan sedikit bagian dalamnya.

"Oh, heheh." kekehnya.

Ia tiba-tiba saja memeluk pinggangku, dan menguap lebar di sana.

"Jadi tadi mandi pagi-pagi banget cuma buat mau pergi ke kantor?" tanyanya dengan suara yang masih serak akibat kantuk tak tertahankan.

Kuusap kepalanya, "Nggak juga sih. Semalam kan kita abis.... itu..."

Veranda tertawa, "Like seriously, Kinal?" ia memandangku dengan ekspresi geli.

Aku menganggukkan kepalaku. Kuraih jam tanganku di dekat meja kerjanya.

"Biar apa mandi kayak gitu?"

Aku senyum tipis, "Biar suci!"

Veranda tertawa renyah. Entah berapa kali aku mendengar tawanya sepagi ini. Awal bulan Maret ini memang menakutkan karena virus Corona menjangkau Indonesia secepat ini. Tapi senang bila bisa tetap berada di dekat Veranda.

"Kalau gitu aku bikin kamu nggak suci lagi ya!" serunya yang tiba-tiba bangun dan memelukku erat-erat.

Pelukannya sangat kencang hingga membuatku kesulitan untuk bergerak, bahkan bernapas.

Tawaku pecah saat tangannya menggelitik pinggangku, Veranda mendorongku hingga kami terjatuh ke tempat tidur. Ia memanyunkan bibirnya berkali-kali seakan sedang berusaha menciumiku.

Karena geli, aku justru sama sekali tak merespon ciuman Veranda. Malah hanya bisa tertawa karena tingkahnya.

"Hahahaha! Ve, udah! Geli! Hahahaha!"

Suara kecupan bibirnya yang gemas terdengar nyaring di dalam kamar kami. Ia seperti sedang mencium anak kecil. Wajahku habis oleh ciumannya yang menggemaskan. Veranda tertawa puas saat aku minta ampun berkali-kali.

"Hahahah! Veranda, ampun! Iya-iya, udah nggak suci lagi udah! Hahahaha!"

Veranda menjauhi wajahku, dan tersenyum lebar menatapki. Rambutnya berantakan, wajahnya pun kusut karena belum mandi, tapi masih terlihat cantik dari sudut pandang penglihatanku.

Ia menjulurkan lidah untuk meledekku yang lelah karena ia kerjai sepagi ini.

"Udah nggak suci lagi kan?" tanyanya sambil tersenyum tengil.

Aku bangkit dan memperbaiki ikatan rambutku yang berantakan. Mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya.

"Ya udah, kalau gitu mandi lagi. Temenin aku!" ajaknya, kemudian menarik tanganku menuju kamar mandi.

"Hah?"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang