123. Cheating

2K 288 35
                                    

Beberapa hari sebelum wabah virus Covid-19 menyebar di Indonesia, aku sempat mengobrol dengan Mbak Dinda.

"Mbak, lu pernah diselingkuhin?"

Aku dan Mbak Dinda sedang duduk di tangga dekat basement gedung. Biasanya orang-orang lewat sini sehabis parkir mobil. Kami berdua malah santai dan menikmati secangkir Americano hangat.

Ditanya seperti itu, Mbak Dinda langsung menaikkan satu alisnya lalu menatapku heran.

"Tentu saja tidak pernah!" ujarnya sambil pasang wajah nyolot dan nada bicara sedikit ngegas.

Aku tau, seharusnya aku tidak menanyakan hal seperti ini sama Mbak Dinda. Tapi iseng saja, karena kami terlalu diam sejak tadi.

"Nal, gue nggak semureh itu kali buat diselingkuhin! Emang lu pikir gue jelek banget apa? Hih!"

Aku tertawa. Sungguh, perasaan tidak enak dari saat mendengar pembicaraan Mbak Dinda dengan Mas Agung di toilet waktu itu kini perlahan pudar. Mbak Dinda baik-baik saja dan seperti biasanya suka bercanda 'ngocol' bebas.

"Ya kan gue nggak pernah tau track record elu, Mbak. Been blinded of it. Sumpah deh!"

Mbak Dinda tertawa sampai tersedak minumannya sendiri, "Lu nggak usah mancing-mancing deh, Nal. Apa yang dulu pernah gue alamin, jauh lebih pahit dari pada Americano ini." tuturnya sambil memandangi cangkir kopinya.

Mbak Dinda tersenyum getir. Ia terlihat seperti sedang menerawang jauh. Mengingat-ingat masa lalu yang sama sekali tak pernah aku tau. Mbak Dinda tertutup, tidak ada yang tau apa yang ia alami beberapa tahun ke belakang. Semua hanya tau Mbak Dinda pernah dijuluki 'jomblo sewindu' oleh orang-orang.

"Lu pernah denger sebuah istilah nggak? Kalau segalanya yang kita punya secara materi, bisa ngebikin kita sangat amat berharga buat orang lain?"

Aku menatapnya yang sedang berbicara serius. Ia tersenyum sendu dengan uap kopi yang sedikit menerpa wajah kecilnya.

"Hal kayak gitu, nggak selamanya bener, Nal. Lu tau mbak-mbak hits kantoran SCBD yang jadi jajanan sugar daddy, kalau pulang langsung update di private account, 'Jyjyc banget omnya napsuan hari ini gue capek banget ngeladeninnya! Sabar, kerja keras biar minggu depan dibeliin iPhone 11 sama diajak jalan ke Man Hattan!'. Gitu, Nal."

Kedua alisku terangkat, "Sumpah lu, Mbak? Kan lagi heboh Korona, yang bener aja dia mau kek gituan sama om-om cuma buat ke US? Kena Korona, mampus dia!"

Mbak Dinda berdecak, "Gue lagi perumpamaan aja, bego! Lagian mana mungkin mereka bikin instastory gitu. Bikin juga di private kali. Cuman memang maksudnya adalah, ya... yang gue rasain sepahit itu, Nal."

"Lu jadi sugar baby, Mbak?!"

"ANJING YA ENGGAK LAH!" Mbak Dinda langsung berdiri dan melotot padaku.

"Oh, jadi elu yang sugar mommy nya?"

"ASTAGHFIRULLAH YA ENGGAK JUGA, ABDULLAH!!"

"Lah, terus?"

Mbak Dinda terkekeh. Dia lagi-lagi menerawang. Memandang arah yang seolah-olah memberinya petunjuk menuju memori lamanya. Aku tidak pernah memaksa Mbak Dinda bercerita, karena dia terlalu rumit untuk digali.

"Lu tau gimana gue kan, Nal?"

Kutatap matanya, dia seperti sedang menyiratkan sebuah maksud. Detik berikutnya ia tersenyum dan mengangguk pelan, menganggap bahwa aku mengerti pesan tersiratnya.

"Semua gue lakuin untuk seseorang. Tapi tetep kalah, Nal. Jadi, gue nggak pernah diselingkuhin. Tapi kalah sama ekspektasi gue sendiri. Gue kira, dengan melakukan segalanya, orang bisa menerima perasaan gue. Nyatanya enggak. Makanya, gue udah belajar banyak, kalau bisa berada di sisi orang yang gue sayang aja, itu udah lebih dari cukup. Ya, harus bersyukur. Walau perasaan gue nggak akan pernah terbalas. Atau kadang, semua nggak pernah seimbang. Gue lakuin segalanya, sementara dia nggak membalas yang sama. Bahkan peduli juga nggak."

Aku mengangkat kedua alisku. Seseorang seperti Mbak Dinda menerima perlakuan seperti itu dari orang yang dicintainya? Bahkan untuk seseorang yang sekedar menganggapnya teman baik, aku berharap diriku masih sendiri dan dengan sangat terbuka untuk menerima hati setulus Mbak Dinda.

"Tapi gue tau diri, Nal. Kalau memang nggak cinta, ya masa gue maksa? Nggak dong? Jadi nggak ada pembelaan buat orang seperti gue. Mungkin belum nemuin yang pas aja." ujarnya sambil terkekeh.

Mbak Dinda meneguk kopinya lagi. Suara seruputnya terdengar renyah. Tanpa kusadari, aku melamun memandanginya. Pikiranku berusaha menemukan lagi cerita masa lalu Mbak Dinda yang sepertinya tidak ada orang tau.

"Emang orang yang pas itu kayak gimana, Mbak?"

Kami berdua mendadak diam. Aku sadar pertanyaanku semakin jauh. Sedangkan Mbak Dinda termenung, ia lalu melirikku sejanak. Menepuk bahuku pelan, Mbak Dinda mengajakku pergi.

"Siap-siapin materi. Gue denger kita bakalan work from home dulu seminggu."

Ekspresi wajah Mbak Dinda yang melembut itu mengingatkanku pada hari dimana ia mengajakku ke apartemennya dulu. Aku melihat lagi senyum yang sama di wajahnya seperti hari itu.

"Ve."

Saat di jalan pulang, aku memecah hening. Aku dan Veranda sama-sama lelah untuk hari ini. Ia bahkan hanya sanggup menoleh dan menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa kamu bisa diselingkuhi?"

Otakku berpikir keras. Veranda bisa dibilang salah satu manusia paling cantik yang pernah aku kenal. Melihat karakter dan parasnya, nyaris mustahil untuk 'diduain'!

"Kenapa tiba-tiba nanya itu?"

Aku terkekeh, "Ya, recalling aja. Kamu pernah cerita kan udah beberapa tahun lalu. Kayak masih nggak percaya aja."

"Nggak tau. Mungkin aja mantan aku bosen sama aku yang katanya terlalu sabar."

Tawaku pecah mendengar Veranda bicara acuh tak acuh, "Terus mantan kamu lebih suka sama yang galak gitu?"

"Mungkin." sahutnya, sambil mengangkat bahunya tak peduli. Seakan pembahasan tentang mantan pacarnya itu tidak penting.

"Rasanya gimana emang, Ve?"

"Apa?"

"Diselingkuhin."

Alis Veranda menyatu, dahinya mengerut. Jelas ia tak suka dengan pertanyaanku. Ini membuatnya harus membuka luka lamanya yang tidak ingin diingatnya. Tapi aku penasaran.

"Sakit. Seolah-olah kamu beri dia sesuatu yang menurut kamu sangat berharga satu-satunya yang kamu punya, terus dia seenaknya potong-potong itu dan dia bagiin ke orang-orang lain. Dibohongin. Terkesan dia manis banget di depanku. Tapi nyatanya dia manis kayak gitu juga sama orang lain. Kebayang banget, dia panggil aku sayang tapi juga dia lakuin ke orang lain. Dia manjain aku, tapi gitu juga sama orang. Nggak enak banget!"

Sambil fokus nyetir, aku senyum-senyum tipis. Mengingat bagaimana Veranda dulu akan menangis dan meneleponku setiap malam hanya untuk menceritakan pengalaman buruknya bersama mantan pacarnya.

"Kadang sampai bikin stress banget. Kepikiran gini. Aku kurang apa sih? Apa yang kamu cari dari orang lain yang nggak ada di aku? Kalau emang nyari yang kayak gitu, terus ngapain harus sama aku? Maksudku, kalau misal aku ada kekurangan, dia ngomong kek. Atau paling nggak ya sekalian aja jangan sama aku. Ngerasa nggak worth it buat orang yang aku cintain itu sama sekali nggak enak, Nal."

Aku tertawa lagi, "Hahaha! Kok kamu jadi galau gini sih?"

Veranda menggeleng pelan. "Beneran, Nal. Aku nggak mau ngerasain itu lagi. Bener-bener pahit. Cukup dulu-dulu aja, udah."

"Pahit banget?"

Kulirik Veranda yang sedang menatapku serius. Baru kusadari bahwa dia bicara dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika ia membuka mulutnya untuk bicara.

"Kamu mau tau rasanya?"


***

Selamat puasa!

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang