74. Insomnia

2.8K 412 35
                                    

Tengah malam, menjelang akhir pekan. Jumat ini benar-benar melelahkan. Akhir tahun memang sangat berat untuk pekerja keras sepertiku dan Veranda.

Seusai pulang kantor, seperti rutinitasnya kami hanya masak bersama, nonton TV sambil makan, nyemil cemilan, main PS sejenak, lalu lelah lagi.

Berujung menuju kamar dengan beberapa obrolan ringan sebelum tidur. Mungkin, Veranda sudah terlelah sejak beberapa puluh menit lalu. Sedangkan aku masih sibuk dengan ponselku. Browsing tak jelas, dan kadang streaming beberapa video di Youtube.

Sambil bersandar pada punggung tempat tidur, aku melirik ke arah Veranda yang tampak terlelap. Lampu kamar sudah gelap, aku tak bisa melihat wajah damainya saat tidur.

"Kamu belum tidur?"

Alisku terangkat saat mendengar suara Veranda yang terdengar masih sangat amat renyah. Aku memperbaiki posisi dudukku, kemudian melihatnya ikut duduk bersandar pada punggung tempat tidur.

"Loh, kok bangun lagi?" tanyaku heran, membelai rambut panjangnya yang sedikit berantakan di sekitar daun telinganya.

"Aku ngga bisa tidur sebenernya dari tadi." ungkapnya.

"Kok bisa?"

"Ya emang sebenernya gak bisa. Dan emang gak pengen tidur. Cuman kan tadi kamu nyuruh aku tidur. Ya udah, aku coba-coba sampe bisa. Nyatanya enggak bisa kan." ia merajuk manja, memaksaku untuk otomatis tersenyum.

Kuusap-usap kepalanya, "Yaudah-yaudah, gak usah tidur dulu gapapa. Besok weekend juga lagian."

Veranda mengangguk semangat dengan senyum lucunya. Ia mendekatkan tubuhnya padaku, menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Kamu tau nggak?" tanyaku padanya yang mencoba merebut earphone telinga kananku dan ia pasang pada telinga kanannya.

Ia menggeleng pelan, "Enggak. Emang apaan?"

"Jam segini, di luar tuh masih rame banget loh."

Veranda tertawa kecil, "Ya iyalah, Jakarta mana pernah tidur sih."

Kusunggingkan senyumku padanya. Ia hanya mengangkat alisnya keheranan. Lekas aku bangkit dari tempat tidurku setelah melepas earphone dan mengambil dua buah jaket dari dalam lemari.

"Ayo, ikut aku keluar!" ajakku padanya dengan sambil menarik tangannya meninggalkan kamar.

"Ih, mau ke mana tengah malam begini?"

"Udah ikut aja."

Veranda memang sering mengomel, menasehati ini-itu, komentar banyak hal, kadang galak dan marah. Tapi dia selalu menurut saat aku ingin melakukan apa pun terhadapnya, tak pernah menolak sekali pun itu akan merugikannya. Seperti dulu saat aku pernah mengajaknya jogging sewaktu turun gerimis di luar.

Sekarang, aku ingin mengajaknya naik motor berdua untuk berkeliling di daerah yang masih ramai, tengah malam.

Benar memang, Jakarta tak ada matinya. Di pinggir jalan masih sangat banyak remaja-remaja yang menghabiskan waktu untuk sekedar 'nongkrong'.

"Ini kamu yakin mau keluyuran jam segini?" tanya Veranda tak yakin saat kami baru sampai di lobi.

"Yakin dong." kuukirkan senyum penuh percaya diri.

Kunci motor yang sudah berada di tangan, kugenggam erat.

"Loh, mbak Kinal. Mau ke mana mbak? Malem-malem begini." seorang pria yang berdiri di tempat resepsionis menyapaku, ia tersenyum pada Veranda kemudian.

"Oh ini, ada yang ngidam sate Taichan." ujarku, menuding Veranda di sampingku.

Wanita cantik yang selalu mendampingiku ini tiba-tiba menyikut perutku, "Apaan deh, kan gak gitu sebenernya?"

"Hahahaha! Bercanda kali, Ve. Sakit ih perut aku." rutukku sambil pura-pura mengusap perutku yang tadi Veranda sikut.

"Oh, lagi ngidam. Hati-hati mbak, perginya. Turutin aja maunya istri, dari pada ntar anaknya ileran ya? Hahahaha." canda mas Roby, si penjaga ruang resepsionis di malam hari.

Aku hanya tertawa menanggapi leluconnya. Sementara Veranda memeluk lenganku sambil melengos. Tampaknya ia tak menyukai cara mas Roby bercanda.

"Berangkat dulu ya mas. Tenang nanti saya bawain oleh-oleh."

"Sate Taichan mbak?"

"Ilernya Veranda. Hahahaha!"

Tiba-tiba saja Veranda mencubit keras pinggangku, "Ish, kamu tuh!"

Astaga, cubitannya memang sakit tiada tara. Namun aku berusaha menyembunyikan reaksi kesakitan itu dengan cara mengatupkan mulutku.

Tak mau dicubit lebih keras lagi, aku akhirnya menarik Veranda untuk menuju parkiran. Kuperhatikan wajah datarnya yang mungkin kesal pada mas Roby tadi.

"Cie, ngambek nih?" tanyaku.

Ia menggeleng, "Gak suka sama mas-mas itu pokoknya. Sksd banget asli."

"Hahaha, udah deh. Dia yang paling paham sama kita selain Kyla di gedung apartemen ini. Jadi ya udah, take it slow aja."

Patuh, Veranda mengangguk. Kucolek dagunya gemas, sambil mengerlingkan sebelah mataku. Ia hanya tersenyum, tersipu malu dan memasang helmnya sendiri.

Kami pun meninggalkan areal apartemen dengan motor matic-ku. Mencoba menemukan tempat-tempat yang menampakkan aktivitas ramai.

"Gak pernah kan ya? Keliling jam segini?"

Veranda yang menempelkan dagunya di bahu kiriku, mengangguk. Menyebabkan sensasi geli di sana.

"Banyak warkop isinya anak-anak muda gabut. Jadi pengen ikutan. Laper nih." ungkapnya kala tak sengaja melihat beberapa pemuda sedang 'nongkrong' di warkop dan tempat makan pinggir jalan.

"Indomie telor kornet keju, roti bakar, minumnya kopi susu atau milo hangat. Sssh~ mantap!"

Veranda mengangguk antusias, "Takis bang! Takiiisss!!!" pekiknya.

Aku tertawa mendengar logat 'cablak' yang ia buat-buat. Sama sekali tidak cocok dengan suara lembutnya.

Menuruti keinginan Veranda, aku menepikan motor. Kami berdua memilih sebuat tempat makan yang tidak begitu remang, justru penuh dan jadi mirip restoran portabel yang fleksibel bisa pindah-pindah dengan mobil pick up.

Kami memesan beberapa makanan dan minuman. Di sekitar kami tidak sedikit mbak-mbak dan ibu-ibu yang juga menikmati malam mereka bersama keluarga dan teman masing-masing.

Tidak ada yang aneh, cuma aku dan Veranda yang masih sama-sama mengenakan piyama lah yang aneh dan mungkin menjadikan kami sebagai pusat perhatian.

"Abis makan, kayanya langsung balik aja deh."

Veranda mengangguk lucu dengan mie yang bergelantungan di sela bibirnya. Membuatku gemas ingin mencubitnya tapi takut semakin jadi sorotan.

Pukul dua tepat, aku mengajaknya pulang. Dan membiarkan ia memelukku erat dalam boncenganku.

"Seru juga ya. Jalan jam segini. Nongkrong di warkop. Hahaha." gumamku.

Veranda tidak menyahut. Dan saat sampai di parkiran apartemen, aku mendengar suara dengkuran halus. Ternyata Veranda sudah terlelap.

Kutolehkan kepalaku ke belakang untuk melihatnya yang sedang bersandar. Aku tersenyum.

"Ve, bangun yuk? Kayak bayi aja deh. Kalo gabisa tidur diajak jalan dulu baru bisa mau tidur. Hahaha..."

Ia masih tak mau bergerak. Terpaksa aku membopong tubuhnya yang setengah tak sadar.

Sampai di lobi, aku mencoba untuk membuatnya naik ke punggungku. Akhirnya ia sudah ada dalam gendonganku. Tak lama kemudian, mas Roby muncul.

"Waduh, ini mah saya beneran dioleh-olehin ilernya mbak Veranda ya?"

"Hahahahah!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang