20. Tired

4K 452 19
                                    

Beberapa cuti setelah jatuh sakit, Veranda memulai kembali kesibukannya yang sempat terbengkalai.

Tumpukan pekerjaan yang tertimbun dan menggunung di meja kerjanya, tak tersentuh sama sekali hingga terpaksa ia bawa pulang tiap harinya.

Baru saja beberapa hari padahal, tapi dia sudah sekerepotan ini. Aku sendiri juga tak mengizinkannya untuk lembur di kantor, sebab aku tak suka dengan rasa khawatir saat tau dia tidak berada di dekatku.

"Aku sih mendingan liat kamu riweuh disini dari pada harus uring-uringan sendirian nungguin kamu pulang..." ujarku, sedikit penuh penekanan.

"Ya kan bisa kamu jemput ntar? Sekalian makan malam di luar atau jalan juga?" balasnya tanpa memandang ke arahku sedikit pun. Terlalu sibuk dengan lembaran pekerjaannya.

"Nggak, aku tetep ngerasa gak tenang kalau gak liat kamu sendiri. Aku kepikiran kamu di kantor malem-malem sampe larut gitu..."

Veranda menghela berat nafasnya, sepertinya dia mulai kesal dengan sikapku yang keras kepala dan tak mau mengizinkannya melembur semua pekerjaannya di kantor.

"Gak usah berlebihan. Aku juga nggak ngapa-ngapain kok di kantor. Cuma sibuk, ngerjain semua tugas aku di dalem cubicle aku. Gak kemana-mana, kerjaanku banyak. Aku juga kerepotan kalau harus bawa-bawa ini semua tiap hari pulang-pergi. Kamu ngerti nggak sih?" gerutunya panjang lebar dengan pandangan mata sebalnya padaku, tangannya pun sedikit mengacak tumpukan kertas di mejanya.

Ini bukan kali pertama dia kesal dan marah padaku, tapi sungguh aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuatnya marah. Memang kalau ia tak menangkap maksud dari semua kemauan dan ucapanku, aku terkesan egois dan kekanakan, tapi nyatanya aku sangat peduli padanya.

"Hhh..." kuhela nafas pelan.

Aku beranjak untuk berdiri dan menjauh dari meja kerjanya untuk menuju meja makan.

Sebelum mengeceknya tadi, sebenarnya aku telah menyiapkan beberapa cemilan dan minuman untuknya. Sengaja, aku mau membawakan ini untuknya saat dia mulau mengantuk, tapi sayangnya saat ini dia malah begitu kesal padaku.

Aku tidak suka melihatnya seperti itu. Apapun akan kulakukan untuk membuatnya kembali membaik, aku sangat menyayanginya.
Kubawa beberapa cemilan dan minuman yang kusiapkan untuknya kembali ke kamar.

Diam-diam, aku bisa melihatnya tengah curi-curi pandang ke arahku yang mendekat dan meletakkan cemilan serta minuman untuknya.

"Kamu tau nggak?" ucapku untuk memulai pembicaraan dan membenahi kesalahpahaman kami.

"Apa?" jawabnya singkat, masih pura-pura acuh tak acuh padaku yang sengaja menarik kursi supaya lebih dekat sengannya.

"Mungkin kamu bakalan mikir aku itu childish, egois, maksa-maksa kamu keteteran bawa-bawa kerjaan kamu kesini dibandingkan harus ngelemburinnya di kantor. Tapi aku nggak bermaksud buat kamu capek-capek gini. Kamu tau aku nggak sebegitu kekanakannya..."

"Hhh, udah deh Nal? Aku sibuk, mau selesain ini semua. Bentar lagi closing..." balasnya dengan nada malas.

Mungkin aku sedikit kesal karena ia memutus usahaku untuk memberinya penjelasan atas perhatianku untuknya begitu saja.

"Aku cuman khawatir sama kamu, Ve. Seandainya kamu laper, capek, sakit mendadak, atau yang lain-lain. Sementara kamu sendirian di kantor. Well, mungkin disitu ada beberapa temen kamu, tapi aku nggak bisa biarin kamu kenapa-napa tanpa ada aku di dekat kamu..."

Dia mulai menolehkan kepalanya, dan sedikit memandang ke arahku.

"Kamu baru aja sembuh kan? Masih belum fit banget. Kalau ada aku, bukannya lebih baik? Kamu laper, aku buatin makanan. Haus, aku bawain air. Kamu capek, bisa aku pijitin. Atau kalau aku bisa, aku juga mau kok bantuin kamu nyelesein kerjaan kamu. Bukan semata-mata karena aku curiga atau aku gak suka kamu lama-lama di kantor doang..." jelasku padanya.

Lepas sudah semua hal yang kupendam di dadaku sejak ia mulai kesal padaku. Walau rasanya aku menyesal karena harus membuatnya kesal terlebih dahulu sebelum menyadari betapa aku memperhatikannya.

"M-maaf yah. Aku, aku yang gak sadar. Jangan kesel sama aku..."

Tidak, sama sekali tidak. Sama sekali tidak kesal. Justru aku menyesal karena membuatnya sempat marah.

Ia sedikit tertunduk lemah, seakan menyesali sikapnya sendiri padaku. Jujur aku bukan tipe yang merasa menang atau pun senang saat melihatnya menyesal dan pundung seperti itu.

Senyumku terukir saat ia langsung mengangkat dagunya, mendekat dan memelukku begitu erat, manja sekali.

"Aku ngerti kok, kamu pasti capek. Sekarang kita selesain semuanya. Nanti aku bantu kalau ada yang aku bisa. Besok, kita jalan ya? Biar kamu bisa refresh pikiran kamu, ya?" ucapku sembari membelai pelan rambutnya lembut dan punggungnya yang ringkih.

"Uhm, iya..." balasnya, menangguk pelan dalam dekapanku.

"Nal..." panggilnya pelan.

Masih dengan kedua tangan yang setia untuk membelainya, aku menggumam untuk menjawab panggilannya yang lirih.

Veranda memang selalu mampu menghangatkan hatiku, bahkan jika itu hanya dengan sepatah kalimat yang keluar dari bibir tipisnya. Aku senang, dan bahagia.

"Aku sayang kamu..."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang