65. Wedding Reception

3.2K 419 20
                                    

Aku berdiri di depan lemari pakaianku. Menimbang-nimbang baju apa yang harus aku kenakan untuk pergi ke acara pernikahan salah satu teman kantor lama Veranda.

Pada awalnya aku menolak keras untuk menemani Veranda kondangan. Karena selama ini pun tiap Veranda mendatangi acara pernikahan temannya, aku tidak pernah mau ikut.

Namun kali ini, rasanya Veranda meminta dengan sangat memohon. Jadi terpaksa aku menuruti keinginannya yang sering aku tolak ini.

Sekarang masalahnya adalah, karena aku tak biasa datang ke acara kondangan berdua dengan Veranda, aku jadi kebingungan dengan kostum yang harus dikenakan.

Biasanya hanya pakai blouse warna-warna gelap, atau batik. Kalau pergi bersama Veranda, ada rasa ngeri jika aku tidak tampil se-classy Veranda. Tapi juga tidak percaya diri jika harus mengenakan pakaian yang terlalu glamour. Jujur aku tak nyaman juga mengenakannya.

"Kamu udah tau mau pake baju yang mana?" tanya Veranda yang masih sibuk menata make up di wajahnya.

"No idea banget asli. Makanya aku gak mau ikut pergi sama kamu." jawabku sambil memilah-milah baju di dalam lemari.

Veranda berdecak, "Emang biasanya kalo kondangan temen kantor gitu, atau temen kuliah sama sekolah. Biasanya pergi sama siapa? Kok kayanya kamu selow aja deh."

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat agenda kondangan sejauh ini. Waktu kuliah, tidak begitu sering karena tidak banyak teman yang sudah menikah. Dan aku biasa, santai saja ke acara kondangan mengenakan blouse serta jeans meski harus pakai high heels supaya tidak terlalu berantakan.

Dan sejak bekerja di kantor, aku juga sering kondangan tanpa rencana. Alias kondangannya ramean waktu pulang kantor bersama seluruh teman kantor. Jadi kostum yang dikenakan tentu pakaian yang dipakai saat kerja.

"Terakhir kali aku kondangan yang gak ramean, kemarin sama mbak Dinda. Aku kayanya pake batik gitu, tapi emang kesannya aku jadi kayak 'ordinary girl' banget asli. Tapi berhubung mbak Dinda juga kalo dandan biasa-biasa aja, jadi aku pede-pede aja pas sama dia." ceritaku tentang acara kondangan yang terakhir kali kudatangi berdua bersama mbak Dinda.

"Trus kalo sama aku, takut kalah saing gitu kamunya?"

Aku tertawa mendengar pertanyaan sepah Veranda. Ia sedang sibuk memasang lipstick-nya.

"Ih, ya gimana coba. Bingung ini."

Veranda beranjak dari tempat duduk di depan cermin besar kamar kami. Ia mendekatiku dan memperhatikan aku dari atas sampai bawah, seperti scanner yang sedang meneliti sebuah objek penelitiannya.

"Mau pake dress?"

Aku meringis, kemudian menggeleng. Bukan tidak suka, tapi kembali lagi, aku tidak pede mengenakan pakaian demikian jika berjalan dengan Veranda.

"Terus kamu mau tampil kayak gimana coba?"

"Nggak tau." sahutku dengan raut wajah sedih.

Veranda menghela nafasnya, ia memegangi kedua bahuku dengan tangannya sambil memandangku penuh tanya.

"Gak pede gaya feminine kalo deket aku ya? Masih pengen keliatan keren atau gimana?" tanyanya.

Mungkin bukan begitu, tapi apa yang Veranda pertanyakan barusan hampir menyamai maksudku. Aku hanya tidak pede jika harus bergaya anggun dekat Veranda. Rasanya jelas akan timpang jauh, bukan karena aku tak suka tampak cantik dan manis. Tapi kalau orang melihat kami bersama, aku akan kalah jauh. Kuangguki akhirnya untuk menjawab pertanyaan Veranda.

"Ya udah kalau gitu. Tapi pakai heels mau ya?" sambil masih memandangku, Veranda mulai mencari sesuatu di lemari.

Ternyata yang dipilihnya adalah sebuah kemeja hitam casual yang terpasang slim fit pada tubuhku. Serta skinny-jeans berwarna senada dengan kemejaku.

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang