91. Windy Weekend

2.5K 402 30
                                    

Minggu pagi, aku menyeruput sekotak jus jeruk di genggaman tanganku dengan ekspresi bosan. Di kepalaku juga ikut berputar-putar pemikiran tentang acara pernikahan Citra, mantan kekasihku.

"Bosen banget, gila." gerutuku.

Mbak Dinda yang duduk di depanku, cuma melirik dan kembali sibuk dengan ponselnya.

Akhir pekan kali ini, Mbak Dinda mampir. Dia sering main ke sini karena selalu menemani Nink untuk sekedar jalan-jalan, atau mengajari Nink bahasa Indonesia. Mulai dari bahasa Indonesia yang paling baku, sampai bahasa paling jorok. Makanya akhir-akhir ini Nink sering kali bilang bahasa kekinian yang agak 'sampah' artinya.

"Ve ke mana emang?" tanya Mbak Dinda setelah meletakkan ponselnya di atas meja yang dilengkapi payung ala café outdoor.

"Gereja. Sama sekeluarganya. Makanya gak gue temenin. Nggak enak." terangku.

Mbak Dinda manggut-manggut. Ia memandangi kolam renang di samping tempat kami duduk. Weekend seperti ini biasanya tidak sedikit penghuni apartemen yang berenang, tapi kali ini sama sekali tidak ada, sepi. Mungkin itu alasan mengapa hari ini membosankan.

"Mbak." panggilku.

Dia cuma menggumam, sambil menumpu dagunya dengan sebelah tangan di atas meja. Aku tersenyum melihat wajah polos Mbak Dinda yang seperti ini. Wajahnya cantik natural dengan kacamata frame hitam yang nangkir di depan hidungnya. Ia pakai hoodie hitam, oversized di tubuh Mbak Dinda yang cebol. Melihatnya, buat aku tertawa sendiri.

"Apaan?" tanyanya ketus.

Aku menggeleng, "Enggak."

Kulihat ponsel Mbak Dinda yang nganggur. Tanpa izin, langsung kuambil dan kulihat isinya. Mbak Dinda cuma diam, dan memperhatikanku yang iseng buka beberapa aplikasi ponselnya.

"Masih simpen foto mantan nggak, Mbak?" tanyaku pada Mbak Dinda yang langsung tertawa sinis mendengar pertanyaanku.

"Wah, pasti putusnya nggak baik-baik nih kalau ekspresinya begini." ujarku, senyum menggoda ke Mbak Dinda.

Dia cuma geleng-geleng, lalu merebut jus kotakku. Meminumnya tanpa ragu sampai habis, melalui sedotan bekas mulutku.

"Mantan lu bule ya? Dulu pacaran pas kuliah di Harvard kan?" biasanya aku tak pernah bertanya soal masalah pribadinya Mbak Dinda.

"Gak usah ngeledek. Lu tau sendiri julukan gue apaan. Pas di Harvard yah gue mana ada pacar."

Iya, aku ingat kalau Mbak Dinda dijuluki "Jomblo Sewindu". Karena sejak usia 20 tahun, dia tidak pernah lagi punya pacar. Di usia itu, dirinya masih sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dulu.

"Betah, Mbak?" tanyaku meledek.

Mbak Dinda tertawa, nyaris melemparku dengan kotak jus yang sudah kosong melompong itu. Tapi ia urungkan, hanya mengetukkannya pada kepalaku.

"Kenapa bahas-bahas mantan deh? Ini jangan-jangan lu mau ditinggalin mantan lu nikah ya?!" tanya Mbak Dinda, telak.

Aku pun menjetikkan jariku, "Bener banget, Mbak! Kok lu bisa tau?"

Mbak Dinda senyum-senyum dengan ekspresi bangga. "Ya iyalah. Ciri-cirinya sih kayak begini biasanya. Kalau mau ditinggal nikah sama mantan, pasti maunya bahas terus. Tapi malu-malu, atau malah ungkit mantan orang. Yeeeuuhh,"

"Emang lu udah pernah ditinggal mantan nikah duluan, Mbak?" tanyaku penasaran.

Mbak Dinda pasang tampang mikir, tapi ia tidak peduli sepertinya tentang mantan yang sudah membuatnya se-trauma ini.

"Nggak usah dipikirin lagi kalau sekarang lu sendiri udah punya pasangan, Nal. Kalau keinget beberapa hal, ya udah jangan dilupakan. Jadiin kenangan, atau pembelajaran aja. Putusnya baik-baik berarti kan? Sampe lu nya sendiri mikirin gini."

Aku senyum, "Baik, Mbak. Baik-baik banget. Malahan kayanya gue aja yang bejat sama dia. Padahal dia udah ngelakuin apa pun. Dia kasih semuanya buat gue dulu."

"OPO OPO OPO?!!! Ngasih semuanya? Segalanya? WAAAWWW!!!" Mata Mbak Dinda melotot, ekspresinya "nggak santai".

Kuputar bola mataku malas dan jengah, "Ni pasti mikirnya ke mana-mana ni pasti."

"HAHAHAHAH!" tuh kan, Mbak Dinda tertawa kencang.

"Pokoknya dia baik. Yang gue inget, dia sayang banget sama gue dulu. Dulu juga gue sayang sama dia. Terus, dia tau kalau meski pun gue sayang sama dia, hati gue buat orang lain..."

"Veranda?" potong Mbak Dinda, nanya.

Aku mengangguk pelan, menuai senyum tipis dari Mbak Dinda. Kami diam cukup lama, membiarkan angin pagi ini membelai pelan rambut Mbak Dinda yang sudah mulai memanjang.

"Kalau lu dipertemukan lagi sama mantan lu itu suatu saat nanti, gimana Mbak?" tanyaku.

Mbak Dinda melirikku sejenak, dia senyum ketika sorot matanya pindah ke arah lain di belakangku.

"Mau ketemu mantan, atau seseorang yang sekarang nempatin hati gue, rasanya bakalan sama aja, Nal. Getir." bisik Mbak Dinda, sebelum kurasakan kedua lengan tiba-tiba melingkari leherku dari belakang.

Aroma manis ini, bisa kutebak adalah Veranda yang datang memelukku. Secara otomatis, detak jantungku bertambah cepat. Suasana menyenangkan ketika bersamanya, begitu terasa.

"Hey, udah lama nungguinnya?" sapa Veranda dengan riang.

"Lama, bertahun-tahun." jawabku.

Veranda tertawa kecil, lalu menyentil hidungku.

"Yang penting worthy buat ditunggu, kan?"

Susah untuk bilang tidak, "Iya."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang