92. Secret Fearness

2.7K 443 47
                                    

"Gue ngantuk banget."

Begitu gumamku di Senin sore ini. Langsung ditanggapi lirikan penuh perhatian dari Mbak Dinda yang masih memegangi beberapa laporan di tangannya.

Dahinya sedikit mengerut karena itu memandangku yang lebih tinggi darinya. Ia lalu meletakkan beberapa lembar kertas laporan di tangannya itu di atas mejanya. Kemudian, ia melepas kacamatanya setelah sebelumnya mengusap sejenak pertengahan kedua matanya.

"Mau ngopi?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Udah jam setengah lima. Ini mau pulang aja bentar lagi."

"Tapi mata lu merah. Semalam begadang?" ia bertanya lagi, dengan pandangan cemasnya padaku.

Tidak, semalam aku tidak begadang. Tapi senin yang memuakkan seperti ini, membuatku ngantuk dan lelah. Kuteguk sebotol air mineralku yang bersebelahan dengan monitor komputerku.

"Ngopi bentar yah?" ajaknya, sudah siap-siap berdiri dan membereskan barangnya.

Rasanya tak enak kalau menolak, ingin berdiri tapi tiba-tiba saja seseorang datang dan langsung merangkul Mbak Dinda.

"Dinda!"

Mbak Dinda terkejut, melihat Nink sudah menarik lengannya.

"Ayo pulang!" ajak Nink yang kegirangan seperti anak kecil, membawa ransel Jansport merah mudanya.

Memang, akhir-akhir ini Mbak Dinda jadi supir dadakannya si Ningsih. Kemana-mana pun perginya diantar Mbak Dinda.

"Heetttt, bentar deh! Ini mau ngopi dulu!" omel Mbak Dinda.

"Hah? Topi?" tanya Nink, mulai nggak nyambung.

"Ngopiiii Ningsih, Ngopi napa ngopi??!! Minum kopi!"

Aku tertawa geli melihat Mbak Dinda yang gemes sama Nink karena sulit diajak bicara. Nink juga terlalu menggemaskan, padahal mukanya sudah kucel tapi dia masih ceria.

"Mbak Din, gue mau ngumpulin draft dulu ke Mbak Tya. Sekalian mau pulang. Lu duluan aja sama Ningsih." jelasku, pamitan.

Kubawa sling bag-ku dan beberapa draft di depan dadaku. Meninggalkan Mbak Dinda yang terlihat kebingungan karena aku pergi lebih dulu.

Sesuai niat, aku menuju ke bagian Mbak Tya. Membicarakan beberapa hal soal pekerjaanku yang berhubungan dengan tim kreatif.

Hampir lima belas menit konsultasi, aku pamit pada Mbak Tya untuk pulang lebih dulu.

"Nggak bareng, Mbak?" tanyaku, menawarinya tumpangan.

"Oh, ntar aku balik sama Mbak Dinda kayanya."

Aku heran, "Loh, sama Mbak Dinda juga?"

Mbak Tya ngangguk, "Iya. Sering banget bareng Mbak Dinda. Sama si Nink juga. Hehehe."

Aku tertawa, ternyata mereka sering bersama tanpa sepengetahuanku. Merasa buru-buru, aku bergegas ke basement untuk menuju mobilku. Harus cepat untuk jemput Veranda.

Baru saja kunyalakan mobil, suara ketukan terdengan dari jendela sampingku. Langsung kaget, melihat Mbak Dinda dengan ekspresi berbeda.

"Mbak Dinda!" pekikku kaget.

Langsung kuturunkan kaca mobilku, untuk melihat Mbak Dinda yang sedang membawa sebuah cup kopi hangat Starbucks.

"Kenapa Mbak? Kok ngos-ngosan gitu?" heranku.

Mbak Dinda senyum tipis, ia menyelipkan poninya yang telah memanjang ke belakang telinganya.

"Lu ngantuk berat, Nal. Minimal ngopi inian dulu. Hati-hati di jalan." ujarnya, menjulurkan cup kopi hangatnya padaku sambil senyum manis.

Kulihat ia berdiri mendekap kedua lengannya di depan dada usai memberikan kopinya untukku. Langsung kusesap dengan perlahan, supaya tidak kepanasan.

"Itu bekasnya si Boss loh, Nal."

Aku terbatuk, "Apa?!"

"Hahahaha! Bercanda!"

Baru saja kaget, akhirnya bisa tenang lagi. "Makasih, Mbak Dinda."

Wanita pendek itu tersenyum lembut. Dengan sorot mata yang berbeda. Angin sore di basement membelai rambut panjang tanggungnya. Kalau boleh jujur, kuakui sore ini, adalah momen paling manisnya Mbak Dinda dari sekian banyaknya tingkah urakannya.

Dalam perjalanan, aku termenung memandang jalan. Mengingat-ngingat perilaku Mbak Dinda selama ini.

Lamunanku putus saat aku sampai di kantor Veranda. Tepatnya lagi saat ia masuk. Veranda mengecup pipiku sambil senyum, kemudian ia memelukku cukup lama. Kangen katanya.

Tiba-tiba ia mendekatkan dirinya ke arah aku meletakkan kopi pemberian Mbak Dinda.

"Tadi sama Mbak Dinda?" tanya Veranda, menaikkan sebelah alisnya.

Aku mengerutkan keningku heran. Selama perjalanan aku memang memikirkan Mbak Dinda, bukan berarti bersamanya.

"Enggak." sahutku.

"Itu." Veranda menunjuk cup kopiku.

Aku baru sadar saat melihat cup kopi Starbucks pemberian Mbak Dinda tadi, diberi nama "Dinda" bukan namaku.

"Oh, itu... Tadi..."

Belum selesai bicara, ponselku bergetar. Veranda langsung mengambilnya dan melihat isi pesan WhatsApp yang masuk. Dari Mbak Dinda.

Aku tak tau apa isinya, tapi nanti biar kuintip. Tapi yang kutau, raut wajah Veranda berubah masam.

"Kamu tau? Aku rasanya mulai nggak suka sama Mbak Dinda."

Perasaanku tak enak. Langsung kulirik ponselku dan melihat pesan dari Mbak Dinda.

Dinda Assegaf :

"Nal, sorry. Ini kopinya kayanya ketuker. Di sini malah namanya Kinal. Di elu pasti namanya Dinda, kan? Hahahaha!"

Disertai sebuah foto kopi Mbak Dinda yang ada namaku di sana.

Veranda mendengus pelan. Ia menatapku dengan tatapan sulit diartikan.

"Kadang aku takut, sikap baik kamu  ke banyak orang, bisa bikin orang lain menaruh harapan lebih sama kamu. Dan kadang aku mikir, supaya kamu pindah dari situ. Aku tau aku kekanakan dengan semua pemikiran itu. Tapi aku cuma takut kehilangan kamu. Itu aja..."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang