49. Direct Message

3.5K 362 14
                                    

"Gila mbak, gue ngantuk banget. Parah!"

Aku memekik di tengah-tengah waktu kerjaku. Mbak Dinda yang mejanya tepat di depanku, hanya melirik sepintas.

Tanpa banyak bicara, ia beranjak dari kursinya. Kemudian menarik tanganku untuk meninggalkan cubicle kami.

"Oey, mau kemana?" salah seorang teman menegur kami.

"Nganter Kinal nih, katanya mau lahiran." sahut mbak Dinda dengan tampang datarnya.

"Yeh anjing." umpat pria itu karena menyesal telah bertanya pada orang seperti mbak Dinda.

Aku pun hanya terkekeh dan cuma bisa geleng-geleng kepala di belakang mbak Dinda yang masih setia menarik tanganku. Tidak biasanya dia begini. Ia sangat jarang melakukan kontak fisik secara langsung dengan siapa pun, termasuk aku. Tapi kali ini ia terlihat santai saja memegangiku.

"Mau ngopi apa sekalian makan siang? Makan siang aja kali ya. Biar cewe lu ga marah-marah lagi."

Belum kujawab, mbak Dinda tiba-tiba saja memberi keputusan. Wanita pendek ini mendekap lengannya di depan dada. Bisa kulihat wajah sampingnya yang terlihat natural seperti tanpa make up. Terlihat cantik dan manis memang.

"Kok lu bisa jomblo sih mbak?" tanyaku tanpa sengaja.

Mbak Dinda menolehkan wajahnya dan langsung mengangkat sebelah alisnya bingung.

Bukannya menjawab, dia hanya menggeleng pelan sambil tersenyum simpul. Jelas aku heran dengan reaksinya yang tidak biasa itu.

"Idih, gitu doang. Hahahah!" ujarku kemudian tertawa, mencoba menghilangkan canggung.

Dia malah ikut tertawa dan berjalan duluan meninggalkanku. Memasuki sebuah café yang satu gedung dengan kantorku.

"Dessert-dessert atau cake ala breakfast aja kali ya? Kalo ngantuk males makan berat kan?"

Aku mengangguk pelan mendengar pertanyaan mbak Dinda.

"Dih lu kayak Veranda aja jadinya. Sok-sok perhatian. Najis banget!"

"Astaghfirullah. Orang nih kalo diperhatiin makasih kek. Malah dinajisin ini. Kurang baik apa coba gue. Lu ngeluh ngantuk, gue ajak ngopi sama makan malah gue dinajisin. Bener-bener temen ter-naudzubillah lu yah."

"HAHAHAHA!" aku tergelak kencang melihat ekspresi wajahnya yang memelas sedih.

"Lagian tumben-tumbenan. Lagi sakit yah lo?" tanyaku pura-pura khawatir pada mbak Dinda, sengaja menempelkan punggung tanganku di keningnya.

"Oh iya, tadi lu nanya kan? Kok gue bisa jomblo? Nih pasti gegara kebanyakan ngurusin elu nih, makanya gue jomblo!"

"Lah anjir, malah gue yang disalahin!" protesku.

Kami berdua pun kembali ke rutinitas biasa kami yang penuh dengan senda dan gurau. Sampai makanan datang dan kami pun memulai makan siang kami.

Sejak Veranda pindah kantor, memang aku sangat jarang punya kesempatan makan siang bersama dengannya. Sesempat mungkin pun hanya bisa sekali dalam seminggu weekdays.

Jadi, akhir-akhir ini lebih sering menghabiskan waktu makan siang dengan mbak Dinda. Aku jadi sering mengobrol dengannya dan lebih terbuka. Banyak hal yang sebelumnya tak kuketahui tentangnya, sekarang aku tau.

"Trus, emang gak lagi ngincer orang gitu? Gak ada suka sama orang sama sekali?" tanyaku lagi.

Mbak Dinda mengkerutkan keningnya. Ia langsung menggeleng cepat. Tapi kemudian ia tersenyum lagi, memandang jauh pada arah luar dinding kaca café ini. Aneh...

"Lu ada trauma sama cowok yah?"

Ia menggeleng pelan. Kemudian lagi-lagi melemparkan senyuman aneh yang membuatku makin bertanya-tanya tentang ini padanya.

"Kepo lu, Nal."

Hendak mengelak ucapannya, aku justru dikejutkan oleh panggilan masuk dari Veranda. Memang biasanya dia akan menghubungiku saat makan siang, atau kadang video call. Tapi karena di waktu yang sedikit tidak tepat, aku jadi merasa kaget.

"Hai, kamu kenapa?"

alisku terangkat ketika mendengar sapaannya, "Hah? Kenapa apanya?"

"Yeeh, gimana sih. Tadi mbak Dinda mendadak dm aku. Ntar, liat nih."

Kulihat Veranda mengirim sebuah foto screenshot padaku.

Astaga, ini foto selfie beberapa hari lalu yang kuambil waktu iseng-iseng coba kamera ponsel baru mbak Dinda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Astaga, ini foto selfie beberapa hari lalu yang kuambil waktu iseng-iseng coba kamera ponsel baru mbak Dinda.

"Mbak din..." panggilku pada mbak Dinda yang pura-pura sok sibuk dengan Iphone X baru yang dia bela-bela pesan dari luar negeri.

"Halo, Nal?"

Bukannya menyahuti panggilan Veranda, aku malah melotot pada mbak Dinda yang sekarang cekikikan.

"Mampus!" bisiknya, kemudian menjulurkan lidahnya.

"Nal, kamu gapapa kan?"

Kuhela nafasku pelan, "Iyaa, gapapa kok. Usil aja kali itu mbak Dinda. By the way, kamu udah makan siang?"

"Hmm? Belum sih. Kenapa?"

"Aku kayanya lagi pengen makan orang nih. Tapi mendingan makan makanan aja kali yah. Tunggu di tempat biasa ya? Kita makan siang bareng."

"O-oh, yaudah kalo gitu. Ngga usah marah-marah lagi. See you ya..."

"Mmm..."

Sambungan telepon pun terputus. Kulirik tajam mbak Dinda yang nyengir-nyengir jelek.

"Apalo?!"

"Hahahaha! Makanya, jangan kepo. Gue kerjain kan lo. Hahahahah!"

Aku berdecak kesal melihat punggung mbak Dinda yang menjauh pergi meninggalkanku sendiri.

Kesal rasanya, tapi kemudian marahku melunak ketika mendapati kiriman foto lain dari Veranda.

Kesal rasanya, tapi kemudian marahku melunak ketika mendapati kiriman foto lain dari Veranda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ngga baik marah mulu. Senyum ='] 💙"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang