122. Faith

2.3K 275 66
                                    

"Pagi Adinda~"

Mas Agung mulai. Tiap pagi kebiasaannya adalah nyapa Mbak Dinda sambil senyum-senyum manis bikin mual. Untung aja dia ganteng.

"Mas, umur lu berapa deh?" tanyaku ceplas-ceplos sambil memegang mug isi teh hangat yang baru saja kubuat di pantry.

Sambil memperhatikan Mbak Dinda yang cuek dan mulai buka laptopnya, kami berdua ngobrol.

"Gue tiga puluh, Nal. Bulan depan tiga puluh satu. Yaaa, selisih sebulan doang lah tuaan Dinda."

Saat itu juga Mbak Dinda menoleh dan berlagak membuang ingusnya pada Mas Agung. Aku tertawa melihat tingkahnya yang aneh itu.

"Mas, cari yang lain aja. Nggak usah buang waktu sama orang yang ngelirik lu aja enggak."

Mas Agung tertawa, "Good things take time, Nal!"

Aku hanya tertawa sinis mendengarnya. Entah kenapa tingkah genit Mas Agung ke Mbak Dinda membuatku risih bukan kepalang. Sudah jelas-jelas Mbak Dinda selalu menolaknya, masih saja tingkahnya berlebihan.

Memang sih, cowok jomblo di kantor semua ngelirik Mbak Dinda yang notabene juga jomblo. Jomblo satu dekade katanya. Umur tiga puluhan, dimana-mana harusnya sudah bersuami statusnya. Minimal dah jadi janda lah, kayak Mbak Tya(?)

Iya, Mbak Dinda ulang tahun tepat di hari Valentine beberapa waktu lalu. Dia dapat dua hadiah di satu hari bersamaan. Dapat kado dan cokelat.

Mengingat Mbak Dinda manusia super tajir, aku jadi berpikir dua kali untuk memberinya kado. Bahkan putar otak dalam memilih hadiah. Sepertinya, apapun yang kuberikan semuanya bisa dia beli sendiri.

Jadilah kuberikan mesin pembuat kopi. Dia cukup senang dengan hadiahnya. Malah sangat amat senang karena selama ini tidak ada yang pernah memberinya kado itu. Baginya tidak ada yang memperhatikan bahwa ia sangat suka kopi.

Sebenarnya hadiah itu juga ia bisa beli sendiri. Tapi Mbak Dinda bilang,

"Gue suka banget kopi. Tapi gue lupa dan nggak sadar, kalau kado beginian ini salah satu yang seharusnya gue inginkan ya. Saking gue gak inget apapun yang gue sukai, jadi gini nih."

Ya, Mbak Dinda lebih sering memikirkan orang lain. Lebih sering baik sama orang lain. Dia lebih suka tiba-tiba membantu orang tanpa diminta. Sangat peka terhadap sekitarnya. Walaupun cuek dan dingin, tapi dia bisa tiba-tiba saja menghadirkan kejutan terhadap orang-orang yang sedang terpuruk.

Aku bisa menebak hal itu sejak ada Mbak Tya. Si janda kembang di kantor itu sangat lengket sama Mbak Dinda, seperti semua masalahnya selesai hanya dengan duduk bersama. Nink, yang dulu sering patah hati karena pacarnya juga bisa ceria kembali ketika dekat dengan Mbak Dinda. Dan sekarang Najwa, aku sendiri yang melihat dia menangis di basement, ia begitu dekat dengan Mbak Dinda sampai anak itu tampak ceria setiap hari.

Aku bertanya-tanya sebenarnya Mbak Dinda ini manusia dingin, tapi sanggup membawa kehangatan untuk orang-orang dengan cara bagaimana?

Jam makan siang, aku berniat ajak Mbak Dinda makan ketoprak di dekat gedung kantor. Tapi kebingungan mencarinya ke mana-mana. Saat kukelilingi gedung, rasa ingin buang air kecil tak tertahan. Aku menuju toilet dan di dekat koridor, aku tak sengaja melihat Mbak Dinda berdiri di depan Mas Agung yang terpojok pada dinding.

Mbak Dinda kecil, ia harus mendongak saat melihat Mas Agung yang sedikit lebih tinggi dariku.

"Lu nggak boleh bertingkah kayak gini, Gung. Gue tau lu paham semuanya, lu ngerti gue orang yang kayak gimana. Tapi bukan berarti lu bisa seenak lu bersikap."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang