67. Accident

3.1K 391 13
                                    

"Ve, aku pergi dulu yah?" pamitku pada Veranda yang sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer di depan cermin.

Buru-buru aku merapikan sling bag hitamku, membawa ponsel, dompet, power bank, ear phone, charger, dan tab. Juga sebuah kamus bahasa inggris berukuran kecil, sering kubawa untuk dibaca saat senggang atau malas main handphone.

"Loh, emang mau pergi kemana? Mendadak banget?"

"Barusan temen-temen kantor bilang kalau mbak Dinda kecelakaan."

Veranda langsung menoleh, kaget dengan apa yang aku bicarakan. "Kok bisa?"

"Aku nggak tau. Katanya tabrak lari. Ditabrak pas lagi nyebrang."

"Astaga, aku ikut yah?" pinta Veranda yang langsung meletakkan hair dryer-nya.

Aku mengangguk menyetujui. Sudah tak peduli lagi walau nanti saat sampai di rumah sakit, akan banyak orang yang menanyakan sosok Veranda.

Siang ini juga pun aku langsung bergegas bersama Veranda menuju RSCM. Mbak Dinda dirawat di ruang VVIP setelah sebelumnya sempat ditempatkan di ruang ICU.

Entah kenapa jantungku berdebar-debar. Merasakan takut, khawatir dengan keadaan orang terdekatku di kantor. Belum pernah ada kejadian aneh selama kami berteman, dan kali ini memang bukan aneh, tapi mampu menakutiku.

"Duh, keadaan dia gimana sekarang?" tanya Veranda saat kami di dalam mobil menuju rumah sakit.

Aku menggeleng karena tak tau, "Coba cek grup WhatsApp kantor aku deh." kuberikan ponselku pada Veranda.

Ia memperhatikan lajur chat di grup kantorku. Sementara aku fokus menyetir. Mencoba mencari jalan paling efisien menuju rumah sakit.

"Ini katanya ditabrak motor pas mau ke parkiran. Badannya luka-luka." ujar Veranda, menoleh ke arahku.

"Ada fotonya gak?" tanyaku penasaran.

"Gak ada. Tapi temen-temen kamu baru nyampe juga kayanya."

Tak ingin penasaran lagi, aku langsung menancap gasku di jalan lengang yang baru saja kutemukan.

"Pelan-pelan, dari pada nggak selamat."

Perasaanku resah memang, tak senang mendengar kabar buruk pada siapa pun orang terdekatku. Beruntung semua rasa tak tenang itu sedikit berkurang saat kami sampai di parkiran RSCM. Beberapa teman sudah menunggu di lobby.

Mas Irsyad dan mbak Tya sudah menungguku. Mereka berdua yang mengabariku tentang kecelakaan Mbak Dinda.

"Mbak Dinda gimana?" tanyaku pada mereka.

"Tadi pas aku telfon kamu, dia udah sadar. Sekarang lagi sama keluarganya." sahut mbak Tya.

"Temen-temen yang lain baru otw, kita masuk duluan aja yuk." sambung mas Irsyad.

Aku pun menarik tangan Veranda untuk ikut bersama teman-teman kantorku. Kami menaiki lift menuju ruang perawatan mbak Dinda. Ia dirawat di ruang VVIP, kamar Bougainville 16A.

Dadaku berdebar lagi saat sampai di depan pintu. Seorang pria tinggi dengan hidung mancung dan bibir kemerahan yang menghiasi wajahnya membukakan pintu sambil tersenyum ramah, pria ini pasti kakaknya mbak Dinda.

Bang Vero namanya, alisnya tebal seperti orang Arab pada umumnya. Yang membuatnya amat mirip dengan mbak Dinda adalah mata dan bibir, mereka hanya beda alis karena alis bang Vero jauh lebih tebal.

"Temennya Dinda ya?" suaranya sangat nge-bass, dan aku hampir saja tetawa karena itu.

Kami berempat mengangguk pelan. Ia pun tersenyum lagi, mempersilahkan kami untuk mendekati mbak Dinda yang masih ditutupi tirai kamar perawatan.

Di sana, orang yang biasanya selalu berdiri tegar, malah terbaring lemah dengan infus tertancap di pergelangan tangan kanannya.

Hatiku mencelos, melihat ia terbaring lemah, untuk pertama kalinya. Langsung kudekati ia, dan kupegang erat tangannya.

"Mbak, jangan sakit gini bisa gak?"

"Yah, bego lu."

Senyumku terkembang mendengarnya mengataiku dengan kata-kata kasar seperti biasanya. Veranda juga ikut terkekeh di sampingku.

"Ajarin dia buat pinteran dikit kek, Ve. Biar gak bego terus selama ini. Percuma lulusan ITB, tapi oneng."

Aku menoleh pada Veranda yang tertawa lagi sambil mengangguk paham. Dalam kondisinya, mbak Dinda masih sempat bercanda.

"Mbak Dinda aja deh yang ngajarin, Kan udah Master di Harvard gitu. Hahaha..."

Mbak Dinda sudah tertawa lagi saja. Senang melihatnya bisa tersenyum meski dengan rentetan bekas luka di tubuhnya.

"Jangan gue, nanti bisa gue ajarin dia yang macem-macem loh. Hahaha."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang