99. The Truth

2.8K 381 71
                                    

Beberapa waktu lalu, Veranda menyinggungku mengenai Mbak Dinda, yang menurutnya sudah mulai tidak ia sukai. Tapi setelahnya, Veranda menyesal karena menyadari fakta bahwa Mbak Dinda orang yang baik dan wajar bila ia bersikap perhatian pada temannya.

Namun, hal itu mengusik pikiranku sekarang. Mbak Dinda bersikap sedikit aneh saat aku kembali dari Bandung. Dia agak pendiam, khususnya padaku. Sejak pertama kali kusapa ia pagi ini di kantor, Mbak Dinda cuma diam dan sibuk dengan pekerjaannya.

Kutanya Mas Agung sih katanya Mbak Dinda sedikit stress karena beberapa pekerjaan dari para editor yang ia koordinasi, sedikit berantakan dan tidak sesuai dengan kemauan atasan.

"Aahh, ngantuk. Ngopi enak nih!" celetukku, pura-pura meregangkan otot-ototku yang kaku.

Biasanya, Mbak Dinda langsung menyahut atau paling tidak dia akan lempar kunci mobilnya untuk mengajakku jalan ke Starbucks untuk ngopi dan mencoba dessert baru.

Kali ini, dia cuek dan cuma berdecak sambil geleng-geleng kepala.

Asli. Dingin banget!

Mbak Dinda tak pernah sekacang ini terhadapku sebelumnya. Membuat aku penasaran karena dia pendiam.

Well, memang Mbak Dinda itu sangat cuek dan careless orangnya. Tapi semua tau, kalau di kantor ini, aku sudah jadi anak pungut dadakannya Mbak Dinda.

Diajak pergi ke mana-mana. Ditraktir makan ini-itu. Banyak hal pokoknya. Mbak Dinda selalu cerewet dan peduli tentangku. Kalau seperti ini, aku merasa kehilangan seorang teman terbaikku.

Walau memang sekarang dia dekat juga dengan Nink yang super manja. Dan Mbak Tya yang memang sudah jadi partner kerjanya Mbak Dinda di tim editorial.

Tapi, Mbak Dinda tak pernah lupa aku sebelumnya. Maksudku, tidak pernah sedingin ini padaku.

"Mbak, gue jajan dulu ke bawah ya. Ikut nggak?" tawarku, berusaha mencairkan suasana.

"Ntar. Lu duluan aja." sahutnya tanpa lepas pandangannya dari layar komputernya.

Sedikit kecewa rasanya karena ditolak oleh Mbak Dinda untuk pergi istirahat makan siang bersama. Tidak seperti biasanya, pikirku.

Sebenarnya, aku tak punya hasrat untuk makan atau sekedar minum. Tadi mengajak Mbak Dinda hanya untuk memancing pembicaraan di antara kami.

Jadinya, aku hanya berputar-putar di dalam gedung kantor, cari angin lah. Sesekali menyapa beberapa rekan kerja, dan melirik selebritis yang memang sering mampir ke kantorku untuk urusan pekerjaan.

Bosan, kulihat Nink yang lagi bersandar dekat lift. Iseng, aku mendekatinya dan coba curi perhatiannya.

"Ningsih!" panggilku.

Dia noleh dengan tampang polosnya itu. Menyenangkan melihat wajah-wajah begini di kantor. Setidaknya ada yang sedap dipandang daripada seabrek pekerjaan di depan layar komputerku.

"Ya?" dia cuma menyahut singkat.

Sudah bingung kalau ia begini karena tidak menemukan topik untuk bicara.

"Dating yuk!" dan yang keluar dari mulutku malah kata-kata bodoh. Sumpah, cuma iseng!

"Boleh." sahutnya mengangguk, "Tapi nanti Veranda nggak marah kan?" lanjutnya dengan tampang bodohnya yang khas.

"Yang begini nih, yang bikin elu diputusin sama mantan lu. Kelewat bego emang!" kutepuk dahiku sendiri menyadari betapa bodohnya Nink.

Dia cuma geleng-geleng sambil senyum manis. Script di tangannya ia baca lagi dengan teliti. Nink suka kerja baca script sambil jalan memang. Katanya biar bisa sekalian tanya-tanya sama karyawan lain kalau ada kata yang tidak ia mengerti.

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang