129. Empty

2.1K 295 49
                                    

Hari Paskah tiba. Aku mungkin tidak akan ingat hari ini adalah hari Paskah kalau saja Veranda tidak pergi karena rasanya seperti hari minggu biasa, bukan layaknya hari libur nasional di awal pekan.

Tak ada hal spesial yang kulakukan. Aku tau, sendirian tinggal di apartemen membuatku kesepian. Tak punya partner untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan dilakukan berdua.

Aku bukan seseorang yang bisa dikategorikan sebagai manusia super introvert. Memang tak begitu suka jika terlalu banyak kebisingan, tapi untuk terlalu sendiri seperti ini rasanya sangat sulit. Tak ada energi positif yang bisa kurasakan.

Beda dengan Veranda yang sanggup melakukan apa-apa sendiri. Sejak dari pertama kali kenal, aku tau ia sosok yang sangat tertutup. Tidak sering main bersama teman-temannya. Sementara aku sendiri sebelum menjalin hubungan serius dengannya, hampir setiap hari main dengan teman kantor atau komunitas penyuka budaya Jepang.

Sejak bersama Veranda, hampir semua kegiatan kulakukan bersamanya. Main dengan teman pun mungkin akan mengajaknya sekalian. Aku tak pernah merasa terkekang, dia tidak menekanku untuk selalu bersamanya. Bahkan aku selalu sengaja mengajaknya untuk membangun kepercayaan yang lebih besar diantara kami berdua. Setidaknya agar dia tau aku berada di lingkup pergaulan yang baik.

Memikirkan tentangnya mungkin tak akan ada habisnya. Aku hanya menatap pemandangan langit cerah Jakarta di siang hari. Semalam aku tidur pukul tiga pagi, main game dengan Kyla dan Mas Roby. Sehingga membuatku bangun siang.

Terbangun dengan rasa sedikit resah karena aku tak melihat ada notifikasi panggilan atau pesan sama sekali dari Veranda. Hanya ada pesan Mbak Dinda yang mengingatkan bahwa jam satu siang aku harus ke kantor.

Hari ini Veranda mungkin sedang sangat sibuk. Beberapa hari lalu ia bilang bahwa dirinya akan mengabariku jika ia ingin dijemput.

Sampai di kantor, aku melihat Mbak Dinda duduk di cubicle dan memandang Macbook nya dengan serius. Pertanda bahwa ia sedang mematangkan sebuah konsep. Semua main idea dari project kami selalu ia simpan di Macbook.

"Mbak, udah lama?" sapaku, mengaitkan sling bag kerja pada sekat cubicle kami.

"Dari pagi sih gue. Tapi semalam kita kan mabar. Kayaknya lu nggak bakal bangun pagi. Nggak ada Veranda kan."

Aku terkekeh, "Kan lu bisa nelfon, Mbak? Bangunin aja lah kalau emang urgent harus ke kantor."

"Ya kan udah chat. Kalau nggak bangun sampai jam satu siang sih keterlaluan lu, Nal."

Baik-baik, Mbak Dinda sedang mode serius. Pekerjaan kami kali ini cukup menyita waktu. Hari minggu ke kantor untuk seorang staf utama itu sangatlah langka. Ini jadwal back up player untuk kerja.

"Gara-gara work from home harusnya kelar pas weekday malah nyerobot weekend." keluhnya.

Kami berjalan ke ruang editing. Di sana sudah ada Mbak Tya yang menunggu, membawakan print out laporan absen manual. Ia meminta kami untuk tanda tangan.

"Buat apa nih?" tanya Mbak Dinda yang mengeluarkan bolpoinnya untuk tanda tangan.

Cara Mbak Dinda menggigit tutup bolpoin lalu membiarkannya tetap menyangkut di gigitannya membuatku sedikit gemas. Ia tampak lucu dengan penampakannya yang seperti itu.

"Pak Surya bilang yang datang ke kantor pas weekend bakalan dihitung lembur." ujar Mbak Tya dengan senyumannya yang tulus.

Mbak Tya hari ini pakai seragam dinas kantor kami. Bedanya, dia tak pakai celana. Melainkan rok pendek di atas dengkul berwarna cream tua sewarna dengan celana pakain dinas kami. Tidak lupa boots Dr. Martens warna cream senada dengan roknya. Rambutnya dikuncir tinggi dengan beberapa helai yang dibiarkan menggantung di samping rahang wajahnya. Cantik banget!

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang