95. One Time

2.7K 439 51
                                    

Rencananya malam ini aku dan Veranda mau tidur cepat, supaya besok pagi bisa langsung berangkat ke Bandung. Kami sudah berkemas dan siap dengan barang bawaan kami.

"Terus, kurang apa lagi yah Ve?" tanyaku pada Veranda yang sedang asyik nonton TV.

"Semua baju udah aku masukin ke koper kok. Emang kamu mau bawa barang apa lagi? Make up juga udah aku simpen." ujar Veranda.

"Snack atau permen gitu. Sama obat anti mabuk. Gitu-gitu deh."

"Perlu emangnya?" tanya Veranda.

Aku mengangguk mantap, "Iya. Aku ke bawah dulu ya. Mau belanja dikit, perlu soalnya."

Veranda senyum tipis, ia ngangguk setuju. Lalu tiba-tiba berdiri, mengikutiku sampai pintu ke luar. Manja sekali, memelukku dari belakang sambil menggesekkan dagunya pada bahuku.

"Ikuuutttt~" gayanya centil, padahal dia cuma menggoda, bukan ingin ikut beneran.

Sampai di luar pintu, kami yang tertawa bersamaan langsung diam saat tak sengaja melihat dua orang perempuan tengah berdiri di depan pintu apartemennya sendiri.

Aku langsung melirik Veranda yang juga menatapku saat itu juga.

"Itu Ningsih bukannya?" tanya Veranda dengan suara pelan.

Kuanggukkan kepalaku untuk membenarkan pertanyaan Veranda. Lalu pandangan kami fokus pada Nink yang berdiri di depan seorang perempuan atau entahlah karena penampilannya menyerupai laki-laki. Rambutnya pendek, postur tubuhnya tegap dan bahkan dadanya bisa dibilang nyaris rata.

"Itu cewek, kan?" Veranda bertanya lagi.

"Gak tau deh. Kayanya iya." jawabku seadanya.

Kami diam lagi, berusaha mencoba curi dengar pembicaraan Nink dengan seseorang yang berdiri di depannya. Aku tak mengerti, Nink hanya menunduk dan sepertinya cuma dengarkan apa yang dikatakan lawan bicaranya.

Samar-samar kudengar orang itu berbicara bahasa Thailand. Dan aku sadar bahwa dari suaranya yang lembut, orang itu adalah seorang wanita.

"Cewek itu." gumamku.

Veranda mengangkat bahunya seakan setuju tapi tak mau peduli. Dia bilang mau masuk, dan menyuruhku untuk tidak ikut campur urusan Nink dan wanita itu.

Menuruti perintah Veranda, aku langsung menuju lift dan mulai mengingat-ingat kebutuhan yang harus kubeli di Indomaret bawah.

Mulai dari obat anti mabuk, minyak kayu putih, peralatan mandi, permen mint, dua kotak susu cokelat, dua kaleng minuman cola, snack kentang goreng, roti isi selai, dan cemilan kacang.

Belanjaanku cukup banyak, sampai memakai dua kantong plastik. Sebelah kiri berisi makanan, dan sisanya di kantong kanan.

Saat hendak memasuki lobby apartemen, aku berpapasan dengan wanita yang tadi menemui Nink. Dia memakai topi dan masker di wajahnya tapi aku masih bisa mengenalinya. Wanita itu sedikit lebih tinggi dariku, aku yakin kalau ia tak bicara, orang lain pasti menyangka bahwa ia adalah laki-laki.

"Berat banget kayanya, taruh sini aja satu biar ringan." tegur Mas Roby dari tempat resepsionis.

Aku cuma ketawa, lalu meletakkan satu kotak susu cokelat di mejanya.

"Yah, ini mah buat Kyla. Kalo saya mendingan kasih LA Mild aja, Mbak Kinal."

"Yeeeh, terserah yang ngasih dong."

Mas Roby tertawa, lalu tanpa ragu langsung mencoblos susu cokelat pemberianku dengan sedotannya.

"Makasih, Nal."

"Yoi."

Kulanjutkan langkahku menuju lift, tapi mandi saat dapati Nink duduk di dekat pintu, di samping tempat sampah lebih tepatnya.

Dia sedang terduduk di atas lantai dengan wajah yang tenggelam di atas kedua pahanya. Kudengar suara senggukan pelan. Kuyakini bahwa Nink sedang menangis. Perasaanku tak enak, mungkin ada hubungannya dengan orang yang tadi Nink temui.

"Nink?" sapaku.

Awalnya dia tak menjawab. Cuma sesenggukan sampai aku panggil berulangkali, Nink baru mendongakkan kepalanya.

Aku langsung melongo karena melihat wajah sembab Nink. Matanya merah berair.

"MashaAllah, Ningsih?!" kagetku.

Dia cuma mendongak dengan ekspresi sedih.

"Kenapa, Nink? Kok nangis di sini? Ayo berdiri, pindah-pindah. Jangan di sini, Nink. Duh, ya ampun..." gerutuku, merasa tak tega melihat kondisi Nink saat ini.

Baru aku berusaha bantu Nink untuk berdiri, pintu lift terbuka dengan Veranda yang muncul dari dalam. Dia ikutan kaget melihatku yang sedang dalam posisi meluk Nink untuk bantu berdiri.

"Loh, Ningsih?" heran Veranda.

Mungkin kaget karena lihat Nink yang nangis di pelukanku. Tapi dia cuma mendekat dan mengelap wajah basah Nink dengan tangannya.

"Ningsih kenapa?"

Malam itu, Nink cerita soal semuanya di ruang tunggu lobby, tepatnya di dekat kolam renang apartemen.

Aku dan Veranda baru tau kalau yang tadinya datang menemui Nink itu adalah pacarnya. Tapi sudah putus di malam itu juga karena pacarnya Nink merasa tidak bisa melanjutkan hubungan yang terlalu jauh. Nink juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya di Indonesia sesuai harapan pacarnya yang juga tak mau menunggu sampai Nink selesai kontrak.

Nink bilang itu adalah pertemuan pertama mereka sejak Nink tinggal di Indonesia, dan mungkin juga yang terakhir.

Tak enak rasanya untuk membiarkan Nink sendirian semalaman, jadinya Veranda mengizinkan Nink menginap di tempat kami sampai pagi nanti.

Tengah malamnya, Veranda terbangun untuk menemuiku yang tidur di sofa depan TV. Ia mengajakku berbincang sejenak.

"Maaf ya, jadinya kamu tidur di sofa. Aku kasihan sama Nink. Kondisinya sekarang pasti buruk banget. Aku tau rasanya."

Kunaikkan sebelah alisku, "Kenapa gitu?" tanyaku.

"Dia berharap banyak di pertemuan mereka setelah sempet kepisah lama. Aku tau, yang Ningsih ingin dengar dari pacarnya di waktu-waktu dan situasi seperti ini tuh cuma pernyataan saling percaya, atau keinginan bersama seterusnya, usaha masing-masing supaya bisa sering ketemu. Bukan salam selamat tinggal karena capek LDR." jelas Veranda.

Kutangkap sebuah sorot emosi sedih dari mata Veranda saat ia bercerita.

"Kamu pernah?" tanyaku.

Veranda mengangguk pelan sambil senyum miris.

"Dia ninggalin aku setelah aku berusaha temui dia yang tinggal di Bali waktu itu. Bahkan aku sempat terpikirkan untuk menetap di sana kalau aku selesaikan kontrakku di sini lebih cepat dengan syarat tertentu. Tapi, waktu ke sana, dia justru bilang untuk udahan."

Aku tersenyum tipis padanya, "Cinta banget ya?" kemudian bertanya dengan ekspresi menggoda.

Veranda mencubit lenganku, tapi langsung menutup mulutku sebelum aku menjerit kesakitan.

"Dulu. Sekarang udah enggak. Masa lalu yang kelam banget tuh." ungkap Veranda.

"Dia bego berarti. Padahal kamu udah kayak malaikat, malah dia sia-siain gitu aja."

"Gak papa. Kan waktu itu udah ada kamu yang selalu nemenin aku pas lagi sakit hati sama orang."

"Sakit hati sama aku, kapan?"

Veranda memelukku dan memberiku tatapan hangatnya. "Itu tergantung kamu sih, mau nyakitin hati akunya kapan. Ya kan?"

"Aku janji, pasti akan nyakitin hati kamu sekali seumur hidup."

"Loh, pasti pernah? Kirain gak bakalan pernah nyakitin aku?"

Kubelai lembut wajahnya sebelum mengecup keningnya pelan.

"Nanti, waktu aku mati lebih dulu dari kamu. Saat itu, aku akan nyakitin hati kamu. Cuma sekali seumur hidup."

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang