100. Heartbeat

2.2K 407 30
                                    

Menjelang larut malam, aku sampai di depan pintu apartemen. Niatku untuk mengetuk pintu, aku urungkan. Langsung kukeluarkan kunci yang tersimpan di saku jaket untuk membuka akses masuk pintu apartemen.

Pintu terbuka perlahan, dan yang kudapati adalah Veranda sedang duduk di ruang meja makan dapur dengan dua lengannya terlipat di atas meja. Dia mendongak, menatapku cemas.

"Ve..."

"Kinal."

Veranda beranjak dari kursi, lalu mendekat ke arahku. Sorot matanya sulit diartikan. Antara khawatir, marah, dan sedih. Aku kehilangan kata saat ia memandang lurus padaku.

"Kamu dari mana aja?" nada suaranya parau.

Jelas, ia khawatir. Aku tak menjawab panggilannya, tak membalas pesannya. Yang kulakukan hanya membisu disertai rasa bingung yang hampir mustahil lenyap untuk jangka waktu ke depannya.

Kupeluk Veranda erat-erat. Mencoba untuk mengumpulkan rasa bersyukur bahwa aku memilikinya dengan utuh hingga detik ini.

"Aku capek, Ve." gumamku resah.

Veranda tidak marah, aku tau ia menekan egonya sedalam mungkin untuk melenyapkan rasa lelahku dan memilih mengusap punggungku pelan.

"Ya udah, masuk. Istirahat ya?" bisiknya sembari melepas pelukan kami dan menarik tanganku ke dalam kamar.

Televisi di luar masih menyala. Acara talkshow favorit Veranda yang terputar. Aku diam memandangi Veranda sedang mengambilkan pakaian untukku di dalam lemari.

"Udah makan malam belum?" tanyanya saat membantuku melepas kemeja yang kukenakan.

"Udah, tadi sore udah makan."

Ia diam sejenak untuk memperhatikan ekspresi wajahku yang lesu, "Malamnya nggak mau makan lagi? Aku angetin makanannya ya, tadi aku masak tapi kayaknya sekarang udah dingin."

Kugelengkan kepalaku. Bukan tidak suka dengan masakan Veranda. Tapi perutku terasa kenyang, bahkan mual dan rasanya tak bisa dimasuki apapun.

Veranda melihat ekspresi lesu di wajahku. Aku yakin ia menangkap sesuatu yang tidak beres. Semuanya terlalu transparan untuknya. Veranda sangat tau bagaimana baik buruknya aku. Dia yang paling mengerti.

Hela napasnya terdengar saat ia beralih duduk di sampingku sembari mengusap lembut kedua tanganku.

"Aku sebenernya nggak pengen nanya. Nggak pengen makin ngerusak mood kamu. Aku tau kamu lagi nggak baik-baik aja sekarang. Dan yang aku pengen cuma bersikap sebaik mungkin sampai kamu ngomong sendiri, kamu kenapa begini." Veranda menghela napasnya lalu mengusap wajahku lembut,

"Tapi kamu tau, aku nggak bisa nahan diri. Aku nggak bisa lihat kamu gini. Kamu kenapa?" imbuhnya.

Baiklah. Veranda bertanya dan aku sedang tidak ingin banyak bicara. Jadi aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum padanya.

"Oke. Kamu nggak jemput aku ke kantor, telfon aku nggak diangkat, chat juga nggak dibales, diread aja enggak. Aku telfon Mbak Tya, dia nggak tau katanya kamu pergi. Aku hubungin Mbak Dinda malah yang angkat Mas Agung, katanya handphone-nya ketinggalan di kantor. Nggak ada yang tau. Kamu ke mana?"

Aku tersenyum lagi pada Veranda dan menatapnya sendu. Kami diam cukup lama. Dan aku menunjuk dadanya dengan jari telunjuk kananku.

"Ke sini."

Veranda menghembuskan napasnya lalu melirik telunjukku yang tepat menyentuh dadanya. Kemudian pandangannya beralih lagi pada mataku.

"Kalau kamu di sana, aku bakalan mastiin kamu nggak akan pernah bisa keluar dari sana sampai kapan pun." ujarnya sebelum meraih tanganku dan mendekatkan wajahnya untuk mendaratkan sebuah ciuman lembut pada bibirku.

Aku menutup mataku sejenak saat ia menciumku dengan hati-hati dan menatapnya saat kami melepas tautan bibir ini.

Detakan itu terasa menguat. Veranda tersenyum, dan sungguh itu menentramkan hatiku yang sempat gusar.

"Istirahat ya? Besok kerja." ungkapnya pelan.

Aku mengangguk dan mengganti pakaianku dengan segera. Veranda menyodorkan segelas air putih sebelum sempat aku tertidur.

Yang aku herankan adalah, setelah semua ini, mengapa aku baru merasa sangat takut kehilangan semua rasa keberuntunganku mempunyai seorang Veranda?

Dia menatapku lembut saat kami saling berhadapan sebelum tidur. Mata kami saling mengirim pesan, menyampaikan kekuatan yang sama besar. Cinta namanya.

"Apapun itu, jangan pernah kamu coba-coba untuk ngadepin sendirian. Bilang aku ya? Kalau ada apa-apa." tuturnya sembari menggenggam erat tanganku.

Dia mencium bibirku lagi sekilas sebelum tersenyum dan menarik selimut kami sebatas bahu.

"Good night, sayang!"

DrabblesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang