Di luar sana suara gaduh dari ranjang yang didorong dengan tergesa seolah tengah melarikan diri dari gelombang tsunami berhasil masuk indera pendengaran seorang Dirga. Yang kebetulan saat ini memang sedang berada ditempat dengan aroma obat yang menguar amat kuat, dengan dinding juga segala perabotannya yang berwarna putih menampilkan kesan bersih itu, rumah sakit.
Ditutupnya kembali sebuah koran harian yang beberapa waktu lalu diambilnya. Dibacanya guna untuk membunuh waktu selagi menunggu kehadiran seseorang. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah hampir setengah jam setelah pemeriksaan, namun Elang belum juga datang menemui. Padahal laki-laki termuda di gengnya itu sendiri yang mengatakan tidak akan lama, dan menyuruh Dirga untuk menunggu di ruangan miliknya.
Dirga menghela nafas, bersamaan dengan itu pintu yang tak jauh dari tempatnya akhirnya terbuka. Menampilkan sosok yang ditunggunya, Elang dengan jas putih kebesarannya.
"Maaf, tadi ada yang perlu gue urus dulu."
Dirga mengangguk memaklumi karena sekarang memang masih jam kerja.
"Jadi ada apa?" Tanya Dirga to the point. Pikirnya, seorang Elang pastilah tidak memiliki banyak waktu hanya sekedar untuk percakapan basa basi.
"Apa kata dokter?" Begitupun Elang, dokter spesialis bedah itu juga langsung mengungkapkan apa yang perlu ia tanyakan pada Dirga.
Dirga terkekeh kecil, sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, terlebih yang mengatakannya adalah seorang Elang, yang dikenalnya bukanlah seorang yang akan ikut ambil pusing dengan masalah sepele seperti ini.
"Thanks to you. Obat pemberian lo hari itu manjur. Dan dokter bilang gue nggak apa-apa. Hanya butuh mengurangi kafein."
Elang mengangguk, "Benar kata Audrea, lo memang sudah saatnya mencari istri. Lo terlihat...sorry, tidak terurus."
Dirga meringis mendengarnya, "Kalau lo mau melamar adik gue dalam waktu dekat, ya silakan. Gue ikhlas kok kalau di dahului." Lalu di tatapnya Elang yang kini mengulurkan segelas air putih padanya.
"Maaf hanya air putih."
"Dan sepertinya lo salah paham, Bang." Lanjut Elang setelah duduk menempati kursinya.
"Apa yang gue salah pahami? Bukankah kalian memang sudah dekat sejak kuliah." Ungkap Dirga.
Elang melepaskan jas putihnya, yang kemudian disampirkannya pada punggung kursi, "Memang kami dekat, tapi hanya sebatas itu. Bukan untuk konteks yang lain."
"Ah, I see." Dirga lalu bangkit dari sofa, membenarkan pakaian yang sedikit nampak kusut, mengancingkan kembali jasnya.
"Kalau begitu gue duluan. Gue nggak bisa lama-lama, tadi hanya izin sebentar untuk check up." Pamitnya kemudian.
"Jadi hari ini lo sudah kerja lagi?"
"As you can see. Gue nggak mungkin pakai jas hanya untuk check up ke dokter kan?"
"Calvin begitu,"
"Dia pengecualian, lemarinya kan memang jas semua isinya." Gurau Dirga.
"Gue titip Audrea ya, Lang." Ujar Dirga sebelum akhirnya keluar dari ruangan Elang.
***
"Maaf gue terlambat," ujar seseorang yang baru saja menghampiri Dirga.
Dirga tersenyum, lalu menegakkan tubuhnya yang sebelumnya bersandar pada badan mobil.
"No, it's okay. Gue juga belum lama sampai." diperhatikannya sejenak wajah perempuan yang berdiri di hadapannya kini.
"Jadi mau kemana?" Tanya Yoana setelah Dirga memasuki mobil dan saat ini tengah memasang sabuk pengaman. Berdoa, semoga saja Dirga tidak membawanya ke suatu tempat yang akan membuatnya terlihat salah kostum.
Menurut Yoana semuanya terlalu mendadak. Sore tadi Yoana yang tiba-tiba mendapatkan panggilan dari Dirga, laki-laki itu mengatakan kalau ingin mengajak Yoana untuk pergi keluar tanpa mengatakan kemana tujuannya. Jadi ketika bersiap Yoana memutuskan untuk memakai pakaian casual saja, pikirnya Dirga hanya ingin mengajaknya keliling kota dengan mobil. Mengingat saat ini adalah Jumat malam, dan besok hari libur. Siapa tau Dirga hanya ingin menghabiskan waktu untuk menyambut weekend.
"Any recommendations?" Acara malam ini memang Dirga khusus kan untuk membalas budi Yoana yang sudah mau merawatnya saat sakit. Dan juga... karena suatu hal.
"Sebelumnya, apa lo punya alergi?" Tanya Yoana memastikan, mengingat siapa sosok Dirga sebenarnya.
Dirga sudah bersiap melajukan mobilnya, diliriknya sebentar Yoana, sebelum mengembalikan fokusnya untuk memutar roda kemudi dengan satu tangannya, "Aman."
"Apa nggak apa-apa kalau gue menyarankan untuk makan di pedagang kaki lima? Angkringan, gue kangen suasana Jogja." Ungkap Yoana jujur.
Dirga mengangguk, "Ah, gue juga sudah lama nggak ke Jogja. Gue tau angkringan yang makanannya enak dan pastinya murah."
Jawaban Dirga sungguh diluar ekspektasi Yoana, "Lo sering makan di angkringan?"
"Nggak sesering itu. Waktu lagi pengen aja."
Ditolehnya lagi Yoana yang kini tengah menatapnya penuh selidik, "Apa? Heran gue suka jajan di angkringan?"
Yoana berdehem, "Ya, gue pikir lo hanya suka makan ke tempat yang, you know what I mean right?"
Dirga terkekeh lalu mengangguk, "Ya, gue paham. Kalau boleh jujur sebenarnya gue lebih suka jajan di warung makan pinggiran daripada di restoran mahal."
Ditolehnya lagi Yoana yang kini tengah menatap lurus pada jalanan yang mereka lalui. Tatapan mata yang sangat jarang Dirga dapati ada pada diri Yoana. Bahkan tidak pernah.
"Yoana, apa hingga saat ini lo masih menilai gue seperti waktu itu?" Tanyanya kemudian.
Yoana tau pemikirannya kala itu memang terlalu dangkal. Ia menyesal telah menyamaratakan Dirga seperti orang orang semacam itu—orang kaya yang sombong, dulu. Bahkan mungkin hingga saat ini tanpa ia sadari. Apalagi setelah mengetahui sedikit tentang latar belakang keluarga Dirga.
"Maaf, kalau gue menyinggung lo."
"No need to apologise, Ana. Yang terpenting sekarang lo tau gue seperti apa."
"Sekali lagi maaf, Dirga." Dirga tau Yoana tengah menahan tangisnya, dan ia tau alasannya bukan karena permintaan maaf untuknya, tapi karena satu hal.
Dirga menarik pelan sebelah tangan Yoana untuk digenggamnya, lalu diusapnya lembut dengan ibu jari.
"Hey, lo nggak salah. Jadi nggak usah minta maaf. Oke?" Yoana mengangguk.
"Jangan terlalu sering over thinking, Ana." Ucap Dirga setelah beberapa saat hanya ada keheningan.
Yoana mengerjapkan matanya beberapa saat. Apa sekentara itu? Apa Dirga sudah tau sesuatu tentangnya? Ditambah...
"Pendapat lo nggak salah. Katakan apa yang ingin lo katakan." Masih dengan tangan besarnya yang melingkupi tangan kecil Yoana.
Kalau apa yang Dirga katakan hanyalah tebakan semata, kenapa di telinga Yoana lebih terdengar seperti Dirga memang sudah mengetahui segalanya?
"Ada gue, Ana. Lo bisa bergantung pada gue. Jangan memendam semuanya sendiri."
"Marah, kalau lo ingin marah. Lo boleh menangis kalau lo memang ingin."
Satu hal yang kini Dirga ketahui tentang Yoana setelah sekian lama,
perempuan yang dulu dimatanya terlihat kuat, angkuh dan seolah tidak memiliki kelemahan,
sebenarnya adalah sosok yang rapuh, dengan banyak hal yang tersembunyi di pikirannya, tanpa ada seorang pun yang tau.
Dan Dirga harap ialah orang pertama yang Yoana cari untuk mendengar semua keluhan itu.
"You had me."ujar Dirga kembali, sebelum akhirnya melihat Yoana menangis, untuk pertama kalinya dihadapan orang lain, bahkan Ibunya sekalipun.
Ya, Dirga orang pertama yang melihat Yoana di titik terendahnya.
-
Apa disini ada yang suka nonton anime?Info update atau spoiler cek,
ig: _raawwrr.rr
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh La La Laa
General FictionGoddess series #1 ------------------------------ Please allow me Into your reality I'll approach you, so hold on to me.. Written in bahasa Start : Januari /26 /2021 End : Desember/14/2022