BAB 08

9.6K 823 9
                                    

"Ana! Ada telfon dari nyokap lo!" pekik Leona pada Yoana yang berada di dalam kamar mandi.

"Nggak usah teriak-teriak gue udah selesai." Ujar Yoana yang baru saja keluar dari kamar mandi masih dengan mengenakan bathrobe juga handuk yang menutupi rambutnya yang basah.

Mengambil ponselnya dari atas meja nakas, meninggalkan Leona yang asik menonton drama series favoritnya di dalam kamar.

Yoana membuka pintu menuju balkon apartemennya, lalu menggeser tombol hijau pada layar ponsel.

"Halo?"

Hening sejenak hingga akhirnya suara sang Ibunda terdengar menyapanya, "Kamu apa kabar, Nak?"

Yoana tersenyum tipis, walaupun percuma karena disana Ibunya juga tidak bisa melihatnya, "Aku baik. Ibu juga apa kabar? Ehm...dan Papa juga?"

"Kami baik. Kamu kapan mau mengunjungi kami? Sudah lama kamu nggak pulang ke Semarang."

Yoana terhenyak sejenak, kapan terakhir kali ia mengunjungi Ibunya di Semarang? Enam bulan yang lalu? Ah sepertinya lebih dari itu.

Bukannya Yoana tidak ingin mengunjungi kediaman keluarga Ibunya di Semarang. Hanya saja ia belum terbiasa, walaupun sudah bertahun tahun lamanya.

"Ya, nanti Yoana akan ke sana kalau ada waktu."

"Ajak seseorang,"

"Yoana akan ajak Leona. Kalau dia juga ada waktu."

Ibunya terkekeh kecil, Yoana bisa mendengarnya, tapi karena apa? Yoana sedang tidak melucu. Atau selera humor Ibunya saja yang—

"Bukan itu maksud Ibu."

Yoana mengerutkan dahinya, "Calon mu, Ana." Jelas sang Ibu yang berhasil membuat Yoana melunturkan senyumnya.

"Bu,"

"Ana, Ibu tau kamu perempuan mandiri. Ibu tau kamu juga bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi Ibu juga ingin melihat kamu menemukan sosok yang bisa membahagiakan kamu nantinya."

"Dari dulu kamu tidak pernah merepotkan Ibu. Bahkan kamu kuliah dari sarjana sampai melanjutkan kuliah mu di NUS pun kamu menggunakan uang mu sendiri. Padahal kala itu  Ibu juga masih punya simpanan untuk pendidikan putri Ibu satu-satunya ini."

Yoana jadi teringat tentang masa-masa itu. Ia memang seorang yang cukup beruntung karena bisa mendapatkan beasiswa selama masa kuliahnya, bahkan untuk melanjutkannya sampai selesai S2 di Singapura pun ia tidak pernah meminta uang dari Ibu atau Ayahnya sepeserpun.

Mau bagaimana lagi, ia tidak ingin merepotkan Ibunya, apalagi sang Ayah. Saat itu juga ia merasa sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri. Hingga akhirnya sampai saat ini Yoana merasa dirinya tidak membutuhkan siapa-siapa lagi.

Ya, Yoana tidak butuh bergantung pada orang lain. Buktinya sampai saat ini ia bisa melakukan segalanya sendiri kan?

"Jangan kamu sama ratakan semua laki-laki itu sama. Yang lalu biarkan saja, cukup jadikan sebagai pelajaran. Jangan sampai semua itu menghalangi masa depanmu, atau bahkan merusaknya. Ibu ingin melihat kamu bahagia, Ana."

Yoana mengeraskan rahangnya, meremat besi penghalang pada balkon dan menatap sendu langit malam yang tidak menampakkan satu pun bintang disana.

"Kebahagiaan Ana itu hanya Ibu."

"Tapi Ibu tidak akan selamanya bersama kamu." Sela sang Ibu yang berhasil membuat Yoana meloloskan satu tetes air mata yang tidak bisa lagi dibendungnya.

"Kamu juga kebahagiaan Ibu. Ibu sangat beruntung memiliki putri seperti kamu. Melihat kesuksesan yang selama ini kamu dapatkan atas hasil jerih payahmu sendiri membuat Ibu sangat bangga."

"Tapi Ibu akan lebih bahagia kalau Ibu juga melihat putri Ibu satu-satunya ini bisa bersama dengan laki-laki yang dicintainya."

"Open your heart, Ana. Jangan sia-siakan seseorang yang selama ini berusaha menggapai mu. Siapa tau dia orang yang tepat untuk kamu. Ya, Nak?"

Yoana terdiam, Ibunya juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Karena pada dasarnya Yoana memang seseorang yang tidak bisa dipaksa. Mau diceramahi seperti apapun, kalau sang putri sudah berkata tidak, sampai akhir pun hasilnya tetap tidak. Ibu Yoana sangat paham itu. Ia hanya berharap semoga putrinya itu bisa menemukan seseorang yang bisa meluluhkan hatinya yang sudah lama dibiarkan membeku.

Hanya terdengar suara hembusan nafas sang Ibu juga suara mobil yang berlalu-lalang dari bawah sana.

Yoana menyeka air matanya, berusaha kembali berbincang dengan Ibunya dan menahan suaranya agar tidak terdengar bergetar, "Keadaan butik bagaimana, Bu?"

"Ramai, banyak pengunjungnya. Ucapkan terimakasih untuk Leona, ini semua berkat dia yang sudah mempromosikan."

"Ya, nanti Yoana sampaikan."

"Sudah malam, sudah saatnya kamu istirahat. Ibu tutup ya, Nak?"

Yoana bergumam mengiyakan.

Walaupun sebenarnya Yoana masih ingin berbincang lebih lama dengan sang Ibu, namun Ia pikir Ibunya juga butuh waktu untuk beristirahat setelah seharian sibuk mengurus butik yang selalu ramai setiap harinya.

"Ya, Ibu jaga kesehatan. Jangan sampai kelelahan."

"Kamu juga, Nak."

-

Uh-oh, ada yang bisa nebak ada apa dengan kehidupan Yoana?

Part ini aku kasih tau sedikit gambaran gimana keluarga Yoana setelah kemarin aku juga udah ngasih tau sedikit gambaran tentang gimana keluarga dari Dirga.

Well, ya... part ini sampai sini dulu aja. See ya!

Info update atau spoiler cek,
ig: _raawwrr.rr

Oh La La LaaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang