BAB 73

17.1K 588 43
                                    

Entah kapan terakhir kali Yoana mengunjungi tempat yang ada di hadapannya ini. Tempat yang dulu ia anggap tempat ternyaman dan teraman, namun kenyataannya tempat yang ia anggap nyaman dan teraman inilah yang ternyata meninggalkan luka juga memori yang paling ia benci seumur hidup.

Dan kini Yoana akhirnya menginjakkan kakinya lagi disana setelah butuh waktu cukup lama untuk meyakinkan diri.

Dihelanya nafasnya yang terasa berat. Aroma bunga mawar dari kebun di samping rumah masih tidak berubah bahkan hingga sekarang.

Matanya perih, hatinya perih, ketika ingatan lamanya kembali mengusik.

"Sudah sampai?"

Yoana mendongak, tercekat, tubuhnya melemas, sosok laki-laki yang menjadi cinta pertamanya kini berdiri di hadapannya.

Laki-laki berkacamata yang masih nampak gagah itu memandangnya dengan tatapan yang begitu ia rindukan. Tatapan yang syarat akan kerinduan.

"Akhirnya kamu mau bertemu dengan ayah, Ana."

Direntangkannya kedua tangannya lebar-lebar, dengan harapan sang putri sudi untuk memeluknya barang sedetik.

Yoana meremat ujung bajunya, sedang tangan lainnya terasa gemetaran di dalam genggaman seseorang yang sedari tadi menyaksikan haru pertemuan dua orang yang sebenarnya saling menyayangi itu.

"Ga,"

Dirga mengangguk meyakinkan sang kekasih, "You miss him, don't you?"

Yoana menggigit bibirnya menahan tangis, lalu mengangguk. Dan sedetik kemudian berlari menghambur kedalam pelukan sang ayah, dengan tangis yang tak dapat terbendung lagi.

"Maafkan ayah ya, Nak."

"Maaf,"

"Maafkan ayah yang memilih meninggalkan kamu dan ibumu. Ayah memang pengecut."

"Maaf,"

Dan begitu seterusnya, sampai akhirnya Yoana melepaskan diri dari pelukan yang sudah begitu lama Yoana rindukan.

Ditatapnya mata dibalik kacamata itu. Mata yang sama, yang selalu memandangnya dengan sayang, yang kini sudah mulai nampak kerutan disana.

Yoana menggeleng, "Yoana yang seharusnya minta maaf. Selama ini Yoana terlalu kekanak-kanakan. Seharusnya Yoana nggak bertindak seperti ini."

Laki-laki berkacamata itu tersenyum terharu, mengusap wajah sang putri yang begitu ayu. Putrinya tumbuh dengan baik, Yoana kecilnya kini telah tumbuh menjadi perempuan dewasa yang sukses.  Bahkan sebentar lagi sang putri sudah akan menyandang status barunya menjadi istri dari seseorang yang sedari tadi berdiri gagah memperhatikan mereka dengan senyuman.

Dirga.

Laki-laki yang beberapa Minggu lalu mendatanginya, dan dengan tegas menyampaikan maksudnya untuk melamar sang putri.

Bagaskara tersenyum membalasnya, lalu mengangguk, "Terima kasih, Dirga." Ucapnya pelan tanpa suara yang dibalas Dirga dengan anggukan sopan.

Tanpa campur tangan Dirga, mungkin hingga sekarang ia tidak akan bisa bertemu dengan Yoana nya. Bahkan mungkin ia tidak akan bisa meghadiri hari bahagia sang putri yang akan berlangsung dalam waktu dekat.

***

Yoana tidak pernah bisa membenci ayahnya.

Hanya rasa gengsinya yang begitu tinggilah yang menyebabkan Yoana bersikap seperti itu kepada sang ayah.

Selama ini Yoana hanya kebingungan harus bersikap seperti apa, yang akhirnya berujung tenggelam dalam luka lama yang selalu ia jadikan pembenaran akan sikap kekanak-kanakannya itu.

Oh La La LaaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang