BAB 68

5.2K 464 17
                                    

Langit tampak begitu kelam malam ini, hitam pekat tanpa ada bintang. Angin pun berhembus cukup kencang, menerpa rintik gerimis yang mulai turun, membuat suasana kian terasa melankolis.

Dirga tersenyum singkat dan begitu tipis, "I can't leave you alone, Yoana." Lalu diusapnya pelan wajahnya.

Satu jam, Dirga hanya terdiam di dalam mobil tanpa ada niatan untuk pulang, tidak tega untuk membiarkan Yoana menangis sendirian di dalam sana.

Dirga tau, Yoana menangis. Sia - sia kekasihnya itu menghindari tatapannya. Karena pada kenyataannya Dirga melihat semuanya, saat Yoana pikir Dirga pergi untuk mengambil ponselnya ke dalam kamar dan melihat Rafa, sebenarnya Dirga tidak benar-benar langsung pergi kedalam kamar Yoana. Ia sempat memperhatikan Yoana yang menangis diam-diam tanpa suara membelakanginya.

Itu sungguh menyakitkan, saat melihat seseorang yang kita cintai menangis dan kita tidak bisa melakukan apapun, bahkan sekedar untuk memeluknya.

Yoana sedang tidak dalam pikiran yang jernih, dan penyebabnya adalah dirinya. Maka dengan mendekati Yoana di waktu ini bukanlah keputusan yang tepat. Bukannya tenang, Yoana malah akan semakin tertekan. Dan karena itu, Dirga pikir akan lebih baik jika ia memberikan waktu kepada Yoana untuk menenangkan diri. Beberapa hari, Minggu, atau mungkin beberapa bulan? Dirga akan memberinya kepada Yoana.

Dirga menghela nafasnya, memejamkan mata sejenak, dan bertepatan saat ia membuka mata dilihatnya sebuah taksi berhenti tak jauh dari tempatnya sekarang.

Dirga menyipitkan mata mengamati seorang perempuan yang baru saja turun dari taksi itu. Tampak begitu familiar, pikirnya.

Dan ketika perempuan itu tak sengaja menoleh ke arah mobilnya, Dirga dapat melihat jelas wajah itu.

"Karina."

Dengan segera Dirga membuka pintu mobil dan keluar, melangkah lebar - lebar menghampiri Karina.

"Karina!" Panggilnya saat jaraknya sudah begitu dekat dengan perempuan itu, membuat Karina yang mendengar suara seseorang memanggil namanya menghentikan langkah dan memutar tubuh.

"Dirga? Ternyata lo masih disini?"

Dirga mengangguk, "Urusan lo dengan Axel sudah selesai?"

"Ya, pada akhirnya gue katakan yang sejujurnya. Gue bilang ke Axel kalau Rafa anak dia."

"Lalu?"

Karina mengendikan bahunya, "Gue juga bilang, gue nggak menuntut apapun ke dia. Gue hanya butuh dia untuk mengakui Rafa itu anaknya. Just it."

"Untuk kedepannya, i don't know. Kalau dia cerita ke istrinya dan istrinya bisa terima Rafa juga, itu akan lebih baik. Tapi kalaupun nggak, nggak masalah juga. Toh, gue nggak minta mereka untuk mengurus Rafa. I can do that by myself." Sambungnya.

Dirga menatap Karina kagum, ia akui Karina merupakan perempuan yang begitu tangguh. Ia juga yakin Karina bisa menghadapi masalahnya itu dengan baik. Ia harap, suatu hari nanti teman yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri itu akan mendapatkan laki-laki yang tepat, dan begitu mencintai Karina juga Rafa. Semoga saja.

"Ya, I know you can do that. You're a tough woman." Pujinya tak lupa menepuk puncak kepala Karina bangga.

"By the way, kenapa lo nggak masuk? Dan Yoana, ternyata dia perempuan yang Audrea maksud? Wow, gue nggak nyangka dunia sesempit ini." Ujar Karina menyuarakan beberapa pertanyaan dan pendapat yang sejak tadi bersarang di kepalanya.

Dirga mengangguk, "Ya, gue juga nggak nyangka. Dan untuk pertanyaan lo mengenai kenapa gue nggak masuk, well..." Dirga menjeda sesaat kalimatnya, lalu menggeleng, "For now, I can't. Karena itu apa gue boleh minta tolong ke lo satu hal?"

Oh La La LaaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang