Part 13

71 8 0
                                    

#CHPG
Ditulis oleh : Aras Anggoro

Tanah lapang ini sangat luas dan datar. Di atas sana bulan mengintip dari balik awan membagi sedikit cahayanya padaku yang tengah gemetar ketakutan. Kabut tipis bergerak pelan kesana kemari seakan mempunyai nyawa sendiri. Saat mataku mulai terbiasa, di kejauhan terlihat siluet hutan. Dari tempatku berdiri, bayangan pepohonan itu terlihat bagaikan barisan raksasa yang tengah diam menunggu.

Pelan aku bergerak, mengendap-endap. Dengan telapak tangan yang makin basah oleh keringat, kuraba bungkusan kain putih tadi di kantong celanaku. Terasa sedikit tonjolan di sana, dia masih ada di tempatnya.

Aku terus bergerak semakin jauh. Kabut mulai naik selutut, sepinggang, hingga akhirnya menyelubungiku. Kini dimana-mana hanya terlihat kabut kelabu. Wajahku pucat pasi, bagaimana caraku menemukan arah kembali di tengah kabut seperti ini?

Jarak pandang yang terpangkas membuatku lebih berhati-hati lagi dalam melangkah. Dalam kabut sepekat ini siapa yang tahu jika jurang sudah menganga di depanku. Tubuhku bergidik membayangkan kemungkinan itu.

Sesuatu pelan-pelan terlihat, awalnya hanya berupa siluet tak jelas. Aku berhenti untuk memeriksa situasi. Dari jarak sejauh ini siluet itu terlihat timbul tenggelam tertutup kabut yang terus bergerak, aku harus mendekat. Perutku terasa kaku dan telapak kakiku hampir kebas, pelan aku berjalan sambil menahan nafas. Keheningan ini sungguh-sungguh mencengkeram benakku, bahkan suara kerikil yang tak sengaja terinjak langsung membuat tegak seluruh bulu di tubuhku.

Semakin dekat, bayangan gelap itu semakin jelas terlihat, itu hanyalah sebuah gundukan tanah merah. Jantungku berdegup kencang, gundukan tanah itu benar-benar menyerupai bentuk kuburan. Lalu pandanganku tertumbuk pada sebuah benda yang tergeletak begitu saja di atas gundukan tanah itu. Perlahan kuseret kakiku untuk melihat lebih dekat dan aku langsung tersentak saat menyadari itulah benda laknat itu! Sumber dari semua kejadian ini!

Tanganku gemetar kala menarik kain putih kusam pemberian bapak tadi dari kantong celanaku, lalu kugenggam dengan erat di tangan kiriku. Dengan berhati-hati sekali kuseret kembali kakiku lebih mendekat. Mataku membelalak melihat darah merah gelap merembes membasahi tanah gundukan itu, dan tak hanya merembes, darah kental dan berbau anyir itu juga mengalir dengan lambat di sisi lain gundukan. Aku bergidik, dari mana datangnya darah sebanyak itu?! Aku makin dicekam kengerian kala menyadari pembalut itu seakan hidup, dia berdenyut-denyut!

Dengan menahan nafas dan jari yang tak mau berhenti gemetar, pelan kuangkat pembalut yang masih terus meneteskan darah itu. Dengan bergidik kuperhatikan pembalut bekasku itu, aku memang tak salah lihat, dia sungguh berdenyut. Dengan cepat kubungkus benda celaka itu dengan kain putih di tangan kiriku, mengikatnya lalu dengan setengah hati memasukkannya kembali ke kantong celanaku dan bersiap mundur kembali. Namun perhatianku teralihkan pada sebuah papan yang tergeletak begitu saja di ujung gundukan. Aku merinding, jika papan itu tertancap di tempatnya, tak salah lagi, gundukan ini memang sebuah kuburan. Saat papan itu kuangkat aku langsung memekik ketakutan, di sana tertulis dengan jelas nama Adi, lengkap dengan tanggal lahirnya! Aku makin ketakutan melihat tanggal kematian yang tertulis di sana adalah tanggal hari ini! Kubuang papan itu menjauh, aku bergidik ngeri. Kini tak hanya tanganku, seluruh tubuhku menggigil.

Apa-apaan ini? Jadi jenazah di dalam keranda tadi memang Adi? Dan sekarang dia sudah terbujur kaku di dalam kuburan ini?!

Mataku basah, air mataku mengucur deras. Dengan kedua tangan kugenggam tanah merah kuburan ini. Saat kubuka kembali, tanah merah itu berguguran dari telapak tanganku, jatuh dari sela-sela jariku. Jantungku terasa  diremas, rasanya sakit sekali. Ini sungguh nyata, ini bukan mimpi.

Lalu suara orang itu terngiang kembali di kepalaku. Kata-katanya melawan kenyataan di depan mataku, mana yang harus kupercaya? Dadaku berguncang, tangisanku tak dapat lagi kutahan. Namun diantara isak tangisku, telingaku mendengar suara lain tak jauh dari tempatku. Lalu mataku menangkap sebuah bayangan diantara kabut, lurus di depanku. Bulu kudukku meremang. Kenapa aku tak menyadarinya dari tadi?!

Tirai kabut menipis perlahan dan mataku terbelalak melihat apa yang kusaksikan. Tak jauh dari tempatku, sosok hitam tengah meringkuk di tanah. Jantungku berdegup tak terkendali, menyadari makhluk itu tengah menjilati darah yang menggenang dari pembalut bekasku tadi. Matanya yang kuning besar menatap tajam padaku!

Seluruh sendiku gemetar hebat, dengan sangat perlahan sekali kugeser tubuhku mundur. Berhati-hati untuk tak membuat gerakan mendadak. Mata makhluk itu terus menatapku yang tengah berusaha menjauh perlahan. Lidahnya terus menjilati darah yang menggenang di tanah dengan rakus. Aku terus mundur sambil berharap dia tak bangkit dan menerkamku. Sebuah bayangan hitam muncul di belakang makhluk itu, sepasang mata kuning miliknya juga tengah menatapku. Makhluk itu ada dua! Jantungku berderap makin tak terkendali, makhluk peminum darah pertama itu kini juga ikut berdiri!

Pemilik dua pasang mata yang tengah menatapku dari balik tirai kabut itu tetap diam di tempatnya, tak maju walau selangkah pun. Namun aku tahu, dengan tubuh sebesar itu, satu lompatan saja dia akan langsung berada tepat di depanku, siap menancapkan taringnya menembus leherku.

Lalu tiba-tiba gerak mundurku terhenti. Punggungku menabrak sesuatu. Perutku terasa mengejang. Lalu dengan leher kaku kuberanikan diri menengok ke belakang. Mataku langsung terbelalak lebar, suara jeritanku terkunci. Tepat di belakangku, berdiri seorang perempuan tua dengan rambut terurai panjang melewati kakinya. Wajahnya tak terlihat sama sekali karena tertutup kegelapan, tapi aku langsung mengenali.

Nyi Linggi!

Seluruh persendianku menggigil tak terkendali, tubuhku bagai tertancap di tanah tak sedikit pun mampu kugerakkan. Yang dapat kulakukan hanya menggerakkan bola mataku menghindari tatapannya yang sedingin es. Jubah hitamnya bergerak liar tertiup angin yang tiba-tiba berhembus. Dari balik jubah hitam itu pelan-pelan terulur tangan pucat dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Aku menatap jari-jari pucat yang bergerak mencoba meraihku dengan ketakutan. Aku masih tak mampu bergerak!

Bertepatan dengan jemarinya yang menyentuh pundakku dan rasa dingin yang tiba-tiba menjalariku, sebuah bayangan hitam diikuti suara kepakan sayap berkelebat di atasku. Aku tak tahu apa itu barusan, tapi aku menyadari tubuhku kembali dapat digerakkan. Dengan gemetar kuberanikan mundur menjauh, berbalik dan kabur secepat yang kumampu.

Entah ke arah mana aku berlari, aku tak peduli. Punggungku terasa dingin dan terus menerus bergidik, membayangkan setiap waktu perempuan itu akan menyusulku atau dua makhluk hitam itu menancapkan taringnya ke punggungku.

Kabut kelabu ini terus membekap dan seakan mengikutiku. Aku khawatir hanya berlari berputar-putar dalam kabut setebal ini. Lalu mendadak sebuah siluet kuburan muncul dengan cepat, aku tercekat, tak dapat lagi menghindar, aku jatuh terguling. Aku megap-megap kehabisan nafas, aku pasrah, tubuhku sudah terlampau lemas. Namun tak kulihat sosok itu dimana pun.

Butuh beberapa saat untukku menyadari ini bukanlah kuburan Adi, gundukan ini tempat yang berbeda. Nisan batu berdiri dengan kokoh di ujungnya. Dengan tubuh gemetar aku meringkuk mencoba menyembunyikan keberadaanku di bawah bayangannya.

Suara kepakan itu muncul lagi, lalu tiba-tiba seekor burung hitam muncul dari balik kabut dan mendarat tepat di batu nisan di atas kepalaku. Aku menjerit ketakutan. Suara jeritanku bergaung beberapa kali lalu hilang. Burung itu tetap berdiri di sana, tak peduli. Apakah ini burung yang sama yang tadi menuntunku ke sini? Leherku terasa kaku, tapi aku tak ingin mengalihkan pandanganku. Burung itu mengepakkan sayapnya lalu turun dan hinggap di atas pusara kuburan itu. Paruhnya yang tajam mulai memasuki lumut yang tumbuh subur di permukaan nisan.

Sesuatu melintas di benakku, dengan cepat aku bergeser ke arah depan nisan. Dengan tangan gemetar kucabuti lumut-lumut yang tampaknya tumbuh subur di sana bertahun-tahun tanpa pernah dibersihkan. Cahaya bulan terlampau lemah untuk membantuku membaca tulisan yang terpahat di nisan ini. Dengan jari gemetar aku coba membacanya dengan tanganku.

Huruf pertama yang terbaca adalah huruf M, berikutnya tanpa susah payah aku mengenali huruf O. Aku kesulitan mengenali huruf berikutnya, pahatannya sudah aus dan guratan hurufnya terasa samar, apakah huruf...K?

Sebuah tangan pucat tiba-tiba muncul dari belakang dan menarik tanganku dari nisan. Aku menjerit sejadi-jadinya. Lalu sebuah suara yang kukenal terdengar, suara orang yang terus menerus menemaniku malam ini.

"Hormatin orang yang udah mati.."

BERSAMBUNG

Kumpulan Cerita Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang