Bab 03

5.5K 233 39
                                    

"Masa kecilku memang tidak seindah dongeng. Tetapi, masa bersamanya, tinggal berdua dan saling mengasihi, adalah masa berharga melebihi apapun." Eline Herzone.

****
"Udara sore ini sedang tidak bersahabat." Steven menatap dres tipis yang membalut setengah tubuh gadis di hadapannya. "Kulit mulusmu itu tidak akan sanggup menahan udara dingin lebih lama." Dia mengatakannya dengan ekspresi khawatir yang semakin membuat Eline marah. "Bagaimana jika kita masuk dulu? Menyeruput secangkir teh hangat saat suasana seperti ini adalah ide yang bagus, bukan? Apa lagi jika ditambah aku yang memelukmu, pasti akan lebih menyenangkan." Steven menaik-naikan alis menggoda.


Brian menggeram. Jika dibiarkan semakin lama kakaknya akan menimbulkan masalah baru. "Ayo masuk! Aku akan mengantarmu pulang." Brian menggenggam tangan Eline yang terasa hangat dan menenangkan. Apa vampir juga memiliki pembulu darah? Atau vampir sekarang memiliki tekhnologi yang dapat menghangatkan tubuh? Tetapi untuk apa? Bukankah makhluk sepertinya tak akan merasa kedinginan atau kepanasan? Brian teringat sesuatu. Dia sering melihat Eline berada di bawah sinar matahari, tetapi dia tak pernah sama sekali melihat gadis itu menghindar.

Baru saja Steven berjalan beberapa langkah mendekati Eline hawa dingin menusuk tulang. Bukan seperti hawa dingin musim hujan atau salju. Ini jauh berkali-kali lipat lebih dingin dan menusuk.

Brian mendengus. Tetapi dia hanya terdiam sembari menggenggam tangan kanan Eline yang terkepal. Brian ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis ini pada kakaknya, tetapi dia tak sepenuh hati membiarkan Steven terluka.

'Berhenti bodoh!'

Steven mengabaikan mindlink dari adiknya bahkan pria itu juga mengabaikan hawa dingin yang tak wajar. Steven melangkah mantap mendekati Eline dengan senyum yang tak pernah luntur, biasanya sangat ampuh untuk meluluhkan hati para gadis.

"Mari biar aku antar kau pulang!" Brian masih berusaha membujuk Eline.

Steven menepis tangan Brian. "Bagaimana cantik? Lebih baik kau ikut bersamaku. Aku lebih bisa memuas ... "

Belum juga kalimat itu selesai secercah cahaya ungu melesat. Steven gesit menghindar. Sedetik saja dia lengah sudah dipastikan lengan kanannya akan terluka. Bukan serangan yang fatal! Tetapi mampu membuat luka dalam. "Kau ...."

Eline menatap pria di hadapannya meremehkan. "Jangan sembarang menilai orang! Aku masih berbaik hati hanya mengincar tanganmu. Tetapi bagaimana jika di lain waktu kepalamu yang akan menjadi incaranku?"

Brian melongo tak percaya. Bagaimana bisa gadis secantik Eline mampu mengeluarkan perkataan sekasar itu? Ah! Ametis. Hampir saja Brian melupakan fakta di depan mata.

Sedangkan Steven tergelak sama sekali tak tersinggung dengan perkataan Eline. "Kau bukan manusia, ternyata. Memangnya kau tidak takut mencelakai putra ... "

"Dari alpha terbengis yang pack-nya sangat disegani bangsa werewolf?"

Stiven kembali tergelak, lebih keras. Eline tak seperti apa yang dia kira. Tak ada getar ketakutan saat menatap dan berbicara mengenai keluarganya. "Aku tahu. Kau bukan dari bangsa kami. Steven menghentikan tawa. Pria itu memperhatikan Eline dengan tatapan penuh minat, percis seniman yang baru menemukan lukisan terlangka.

"Jangan kurang ajar! Aku bisa membunuhmu sekarang!"

Steven mengangkat pundak. "Adikku sangat pintar memilih pendamping. Oh, tapi bagaimana dengan mate yang sudah dipilihkan Moongoddes? Apa kau akan merijecknya?" Steven melirik Brian yang tampak kesal.

"Jangan berbicara melantur Kak!"

"Apa kau baru saja memberitahu kakakmu?"

"Ya. Sekarang aku memberitahumu agar kau lebih bisa menjaga mulut kotormu itu!"

Steven berdecih. Manik birunya mengilat menatap Brian. "Sudah merasa lebih hebat dariku kau?"

Eline memutar bola mata jengah. Berurusan dengan bangsa serigala hanya membuang-buang waktu. Dia berjalan menjauhi ke-dua saudara gila, putra dari Carl.

"Eline!" Brian berseru.

Kedua saudara itu konpak berlari menyusul, tetapi Eline langsung menghilang meninggalkan kabut tipis.

Steven mengendus jejak yang ditinggalkan, menerka-nerka kekuatan macam apa yang dimiliki gadis itu.

Jika mata manusia biasa yang melihatnya memang seperti tak ada apa-apa, hanya udara kosong. Tetapi tidak dengan Steven dan Brian, makhluk yang dianggap mitos. Makhluk yang dianugrahi penciuman dan penglihatan terbaik. Wujudnya seperti kabut tetapi warna dan bentuk kabut itu masih bisa terlihat walau samar.

Brian terpukau untuk kesekian kali pada Ametis! Dan untuk ke-dua kali pada kabut yang menyerupai benang. Tetapi yang dimiliki Eline lebih tipis dan cepat hilang, ketimbang generasi sebelumnya. Apa gadis itu lebih istimewa? Atau karena kekuatan gadis itu yang lebih besar?

*****

Eline baru saja keluar dari kamar mandi. Maniknya menatap gadis berambut pirang yang sedang asyik memainkan ponsel di atas kasur. "Perasaan pintu kamar sudah kukunci, tetapi mengapa masih ada yang bisa masuk?" Eline menyindir. Tangannya masih sibuk mengeringkan rambut menggunakan anduk kecil.

"Elie!" Reytasya merajuk.

Eline memutar bola mata jengah dan melesat mendekati meja rias.

"Pria yang baru sehari lalu kutinggalkan sudah memiliki gandengan baru." Reytasya mengadu dengan bibir yang mengerucut.

"Bukannya kau juga sudah memiliki gandengan baru?" Eline mencibir. Dia duduk dengan anggun sambil menatap ke-arah cermin.

"Tapi aku masih belum bosan dengannya."

Eline berdecak. "Kalau belum bosan mengapa kau tinggalkan?"

Reytasya bangkit duduk. Ponselnya dibiarkan begitu saja, tangannya memeluk boneka beruang dengan manik hitamnya yang menatap wajah Eline dari pantulan cermin. "Aku tidak meninggalkannya. Tetapi dia mengetahui aku menyelingkuhinya. Youn meminta putus ... "

"Lalu kau mengiyakannya?" Eline memotong.

"Aku belum ingin melepaskannya. Tetapi dia meminta putus lebih dulu." Reytasya semakin mengeratkan pelukan, mengingat perkataan Youn. "Aku tidak mungkin meminta maaf dan mengemis-ngemis seperti manusia bodoh di luaran sana."

Eline menggeleng heran. Dia meraih sisir yang tergeletak di atas meja rias. "Reytasya ... Reytasya. Kau sudah tua, sampai kapan kau terus bermain-main seperti itu? Kapan kau akan memberikan keturunan untuk Herzone?"

Reytasya mendengus. "Kau sama saja seperti petuah bau tanah! Selalu saja menanyakan prihal keturunan dan kekasih. Memangnya memiliki ikatan suci segampang membulak-balikan telapak tangan?" Setelah mengatakan itu Reytasya menghilang.

Eline tersenyum geli. Nungkin dia tak tahu rasanya didesak menikah, padahal belum membangun hubungan dengan orang lain. Mungkin dia tak tahu, ya, Eline memang tak pernah merasakannya. Saat itu Eline terlalu kecil, terlalu sibuk dengan perang, tak memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan putri bangsawan.

Pikiran menikah, jatuh cinta, mencari pasangan, dan memiliki anak lalu membesarkan bersama, tak pernah terlintas. Tak seperti kebanyakan putri yang kerjaannya hanya merias diri, belajar dan bersua.

Mungkin bagi kebanyakan putri, dianugrahkan kekuatan adalah sesuatu hal yang menyenangkan. Mereka bisa menunjukan kemampuan saat pementasan kerajaan, mereka bisa saling mengadu kekuatan dengan putri lain. Menganggap kekuatan adalah hiburan sekaligus pertahanan diri. Mereka berlatih dengan santay, belajar mengembangkan kekuatan hanya untuk melindungi diri sendiri.

Tidak perlu berlatih mati-matian bersama lelaki, tak perlu berjuang hidup mati, dan tak perlu berperang mempertaruhkan nyawa banyak orang. Tetapi Eline? Dia harus melakukannya, menjadikan kekuatan adalah teman, dan menjadikan luka adalah makanan.

****

Sudah direfisi! Koment jika ada typo atau kesalahan yang menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang