Bab 12

1.8K 98 22
                                    

"Apa Moongoddes masih memberikan kesempatan? Apa kesalahan besar bisa dihapuskan? Atau dia harus menitinya perlahan-lahan? Membiarkan alam bekerja semestinya?" Brian Carles.

****

Brian berdecih. Sekujur tubuhnya terasa sakit. "Sampai aku mati, aku tidak akan sudi mengatakan hal bodoh itu."

Alex melangkah mendekat dengan tatapan setajam belati. Dia mengikis jarak di antara ke-duanya, menyiarkan sirine bahaya di hati orang-orang yang melihat. "Ayo katakan!" Alex sedikit memaksa dengan tangan yang terkepal.

"Tidak akan."

Bugh!

Satu pukulan mendarat tepat di wajah Brian membuat wajah itu tertoleh ke-samping. "Ayo katakan!" Alex mendesak.

Brian meringis merasakan pusing teramat. Dia meludahkan darah dari dalam mulut. Brian mendengak kembali menatap wajah pria yang berdiri di hadapannya.

"Ayo katakan! Sebelum kesabaranku benar-benar habis!"

Brian menatap Alex berapi-api. Ingin sekali dia memukul wajah angkuh itu! Tetapi untuk menggerakan tangan saja dia sudah tak mampu. Brian merasakan semua anggota tubuhnya sakit, tenaganya juga terkuras habis.

Alex tertawa dengan tangan yang terkepal tepat di depan wajah.

Reytasya melotot. Dia tahu apa yang akan diperbuat pria gila macam Alex.

"Kau yang memilihnya."

Tepat setelah perkataan Alex keluar dengan mulus Reytasya berteriak. "Hentikan Alex!"

Bugh!

Sayangnya putra Emmy tidak mendengarkan teriakan Reytasya, dia melayangkan pukulan terakhir yang cukup keras.

Brian memuntahkan darah dari dalam mulut, kondisinya sungguh mengenaskan. Pukulan itu menghantam telak dada menciptakan sesak yang meremas.

Reytasya berlari mendekati ke-dua pria  dengan kondisi berbeda. Wajahnya menampilkan ekspresi khawatir yang hampir tak pernah ditunjukan sedangkan bola mata cantik yang selalu menyorot datar berkaca-kaca.

Semua orang yang melihat kejadian itu hanya mampu menahan nafas, berharap pria yang tergeletak tak sampai mati.

Reytasya berdiri diantara Alex dan Brian bimbang harus menolong siapa? Dia di hadapkan dengan pilihan sulit. Haruskah Reytasya menolong Alex yang satu bangsa dengannya? Atau dia harus menolong manusia serigala yang tergeletak tak berdaya? Reytasya melirik wajah Alex. Pria itu tampak baik-baik saja dengan sedikit darah di bibir. Reytasya beralih, menatap pria di bawah yang sedang menatap ke-arahnya dengan tatapan ... ya, tatapan apapun itu, mengandung sesuatu hal yang tak baik! Dan Reytasya tak menyukainya. "Maaf Lex." Reytasya bergumam dan berjongkok.

Alex yang melihat itu berdecih tak suka. "Apa kau sedang menghianati bangsamu?"

Reytasya bergeming. Dia sibuk mengelap darah yang keluar dari mulut pria di hadapannya menggunakan tangan kosong.

Alex melangkah menjauh terlalu malas melihat pemandangan yang disuguhkan.

"Apa kau baik-baik saja?"

Brian menatap wajah gadis di hadapannya. Ingin sekali dia berkata baik-baik saja, mendekap tubuh itu, menceritakan betapa hebat rindu yang dirasakan.

Rolf juga tak jauh berbeda. Tetapi serigala itu paham, sesuatu yang telah terjadi tak akan semudah itu dilupakan.

Reytasya menoleh ke-belakang. Dia menatap ke-dua orang yang juga menatapnya. "Kenapa kalian diam saja?"

Ke-dua pria yang ditegur saling melempar pandang sebelum berlari mendekat.

"Bantu bawa pria ini!"

Ke-dua pria itu adalah tukang kebun dan mahasiswa yang berniat melerai. Tetapi hanya niat! Nyali mereka tak cukup untuk mewujudkan niatnya. Mereka berkerja sama mengangkat tubuh besar Brian, memapahnya menuju ruang kesehatan.

****

Eline mengangkat kepala. Dia merasakan meja yang menjadi bantalan seperti sedang di pukul-pukul. Siapapun orang yang telah mengganggu istirahatnya, dia akan memberikan pelajaran.

"Eline!" Panggilan yang disertai ketukan, terdengar kembali.

Eline mendengakan wajah, berdecak malas. Pandangannya sedikit kabur akibat istirahat yang sebentar.

"Tidak sopan Eline!" seseorang menegur.

Eline mengenali suara itu. Dia mengucak-ngucak mata, mengembalikan kesadaran. Saat pandangannya sudah kembali, dia langsung melihat wajah galak wanita paruhbaya. Mata itu melotot ke-arahnya membuat kaca mata yang digunakan sedikit turun. "Maaf Maam. Saya ke-tiduran." Eline membenarkan posisi duduknya.

"Memangnya tadi malam kemana saja?"

Eline bungkam. Tadi malam dia asyik menonton film kesukaannya, dia tak tidur dan tak butuh tidur. Bagi makhluk seperti Eline hanya butuh sedikit istirahat saat tubuhnya benar-benar lelah. Tak perlu tidur yang berskala seperti wanita paruhbaya di depan.

"Kakakmu ke-mana?"

Eline yang mendapatkan pertanyaan tak terduga langsung mengangkat pundak.

Dosen yang melihat sikap Eline menggeretakan gigi-gigi, menahan kesal. "Apa kau tidak tahu sopan santun?"

"Apa?" Eline sepontan bertanya. Dia terlalu kaget sampai tak bisa menahan perkataan dan tingkah tubuhnya.

"Silahkan keluar!" Wanita paruhbaya itu menoleh ke-arah pintu, mengusir Eline, tak mengizinkan gadis itu mengikuti mata kuliahnya.

Eline mendengus. Dia belum sadar dengan apa yang terjadi.

Wanita itu membenarkan kaca matanya yang turun. Dia berkacak pinggang menghadap Eline yang kembali memejamkan mata. "Eline!"

Seruan keras itu bergema, menusuk tepat ke-dalam telinga Eline, membuat gadis itu sedikit tersentak. Untung saja Eline tak memiliki jantung! Pasti dia akan merasa tak nyaman ketika organ dalam itu berdetak kencang. "Ada apa Maam?"

"Ke ... lu ... ar!!!" Wanita paruhbaya itu kembali berseru, menggebu-gebu.

Eline bangkit dari kursinya. Dosen terkutuk itu sungguh tak berperasaan! Bagaimana dia tega menganggu Eline yang ke-lelahan? "Dasar tua bangka!" Eline menggerutu ketika sudah di luar. Bantingan pintu dari belakangnya, seperti ikut memarahi.

'Kakak, kau di mana?'

'Kakak!'

Eline mendengus, rambutnya berkibar terkena hembusan angin. Dia melangkahkan kaki menuju lift.

'Reytasya!'

Eline terus berusaha menghubungi kakaknya.

Alex memperhatikan gadis yang berjalan mendekat ke-arahnya. Gadis itu tertunduk lesu dengan wajah tertekuk percis bungkus gorengan. Alex menghentikan langkah tepat di depan pintu lift yang kembali tertutup.

Eline terus saja menggerutu, merasa kesal. Reytasya entah di mana sampai tak menjawab panggilannya. Sedangkan dosen sialan itu telah mengusiknya! Eline tak suka diperlakukan seperti itu! Kalau saja ini di tempatnya, dia akan memberikan pelajaran kepada wanita tua itu! Eline menghentikan langkah. Sepatu mengkilap di hadapannya menyadarkan sesuatu.

"Apa yang kau pikirkan Amour?" Alex bertanya setengah berbisik. Tangannya terlipat di depan tubuh, memandangi gadisnya lekat.

Eline memejamkan mata. Dia sedang malas menghadapi pria gila macam Alex! Selena, bisakah kau mengenyahkan makhluk yang satu ini?

****

Sudah direfisi! Koment jika masih ada typo atau kesalahan yang menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang